Nabi Musa Ingin Melihat Allah

Publish

27 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
78
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Nabi Musa Ingin Melihat Allah 

Oleh: Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Magelang
 
Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada bulan Dzulqa’dah adalah berlangsungnya dialog antara Nabi Musa ‘alaihi salam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Peristiwa ini tercatat di dalam Al-Qur`an surat al-A’raf (7): 142. 

۞ وَوَٰعَدْنَا مُوسَىٰ ثَلَٰثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَٰهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَٰتُ رَبِّهِۦٓ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ۚ وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَٰرُونَ ٱخْلُفْنِى فِى قَوْمِى وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ ٱلْمُفْسِدِينَ

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya, yaitu Harun, "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan."

Dalam hal waktu 30 malam dan 10 malam sehingga menjadi 40 malam, para ahli tafsir mempunyai pendapat yang sama. Mereka berpendapat bahwa 30 malam merupakan waktu yang digunakan oleh Nabi Musa ‘alaihi salam bermunajat pada bulan Dzulqa’dah, sedangkan 10 malam adalah waktu yang digunakannya bermunajat pada bulan Zulhijjah. Pendapat tersebut merujuk kepada HR Ibnu Abbas yang berkenaan dengan makna “malam yang sepuluh” di dalam Al-Qur’an surat al-Fajr (89): 1-2

وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ

“Demi fajar. Dan (demi) malam yang sepuluh.” 

Dalam hubungannya dengan kedua ayat tersebut Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan

والليالي العشر : المراد بها عشر ذي الحجة ، كما قاله ابن عباسٍ وابن الزبير ومُجاهد وغير واحدٍ من السلف والخلف

“Yang dimaksud dengan ‘malam yang sepuluh’ adalah sepuluh hari pertama pada bulan Zulhijah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu az-Zubair, Mujahid, dan lainnya dari kalangan kaum salaf dan khalaf."

Penjelasan Ibnu Abbas tersebut menjadi dasar bagi para ahli tafsir bahwa munajat Nabi Musa ‘alaihi salam selama 30 malam berlangsung pada bulan Dzulqa’dah. Dengan demikian, disimpulkan bahwa pada bulan Dzulqa’dah terjadi dialog langsung antara Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beliau.  

Kemuliaan Nabi Musa ‘Alaihi Salam

Nabi Musa ‘alaihi salam memperoleh bermacam-macam kemuliaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Satu di antaranya adalah beliau dapat berdialog langsung dengan-Nya. Di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa (4):164 dijelaskan,

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنٰهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَّمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَۗ وَكَلَّمَ اللّٰهُ مُوْسٰى تَكْلِيْمًاۚ ۝١٦٤

“Ada beberapa rasul yang telah Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu sebelumnya dan ada (pula) beberapa rasul (lain) yang tidak Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu. Allah telah benar-benar berbicara kepada Musa (secara langsung).”

Peristiwa tersebut merupakan bagian kemuliaan yang diterima oleh Nabi Musa ‘alaihi salam yang membuatnya makin yakin akan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau makin yakin pula bahwa dirinya adalah hamba terpilih yang dicintai-Nya. 

Oleh karena itu, beliau pun ingin membalas cinta-Nya dengan cinta pula. Perasaan cintanya yang amat besar itulah yang menyebabkan beliau ingin melihat-Nya. Keinginannya itu dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat al-A’raf (7): 143

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِى وَلَٰكِنِ ٱنظُرْ إِلَى ٱلْجَبَلِ فَإِنِ ٱسْتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوْفَ تَرَىٰنِى ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُؤْمِنِينَ

"Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, "Ya, Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Oleh karena itu, setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."

Berkenaan dengan peristiwa sebagaimana diterangkan di dalam ayat tersebut, Hamka di dalam Tafsir Al-Azhar (hlm.2498-2499) menjelaskan bahwa keinginan Nabi Musa ‘alaihi salam dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala didasari oleh kecintaannya. Beliau sangat mencintai-Nya sehingga ingin dapat "bersemuka", tidak sekadar dapat berbicara langsung. Memang demikianlah wataknya. 

Perlu kita pahami secara utuh bahwa beliau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau merupakan teladan bagi umatnya, maka ketika sadar dari pingsannya, beliau berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” Beliau menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Suci dan menyatakan bahwa dirinya bertobat.

Berbeda halnya kaumnya. Di antara mereka ada yang ingin melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala secara bersemuka karena ingin menentang Nabi Musa ‘alaihi salam. Berkenaan dengan perilaku mereka itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah petir halilintar agar membelah bumi. Akibatnya, mereka bergelimpangan mati dan pingsan.

Pada zaman sekarang pun ada orang yang menista Rasul Allah Subḥanahu wa Ta'ala,  bahkan, menantang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara mereka ada yang diperingatkan lalu sadar dan bertobat. Namun, ada pula di antara mereka yang sampai meninggal pun tidak diberi kesempatan bertobat. Tentu semua itu harus dapat kita ambil pelajarannya.

Butir-Butir Pelajaran

Ada pelajaran sangat berharga yang harus kita petik dari keinginan Nabi Musa ‘alaihi salam melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pertama, Nabi Musa ‘alaihi salam ingin melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi tidak dapat. Apalagi kita manusia biasa! Oleh karena itu, cukuplah kita di dunia sampai pada ‘ilmul yaqin dan haqqul yaqin, sedangkan ‘ainul yaqin kita rasakan di akhirat. 

Sementara itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak kita temukan ayat atau hadis yang menjelaskan bahwa beliau ketika peristiwa mi’raj misalnya dapat melihat-Nya (Hamka di dalam Tafsir Al-Azhar hlm.2499). Namun, muslim mukmin yang senantiasa beramal saleh di dunia, dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di akhirat dapat melihat-Nya sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Qiyamah (75): 22-23

وُجُوهُُ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.”

Di dalam surat Yunus (10): 26 dijelaskan bahwa muslim mukmin yang berbuat baik di dunia sehingga menjadi penghuni surga memperoleh hadiah dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنٰى وَزِيَادَةٌ ۗوَلَا يَرْهَقُ وُجُوْهَهُمْ قَتَرٌ وَّلَا ذِلَّةٌ ۗاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

“Bagi orang-orang yang berbuat baik (ada pahala) yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Wajah-wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula diliputi) kehinaan. Mereka itulah para penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.”

Sementara itu, di dalam HR Muslim berikut ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa penghuni surga dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala."

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، قَالَ : يَقُوْلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : تُرِيْدُوْنَ شَيْئًا أَزِيْدُكُمْ؟ فَيَقُولُوْنَ : أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوْهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ قَالَ : فَيُكْشَفُ الْحِجَابُ فَمَا أُعْطُوْا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ .

“Apabila penghuni surga telah masuk surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ”Apakah kalian menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan?” Mereka menjawab, "Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami putih berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Nabi bersabda, ”Maka, disingkapkanlah tabir penutup sehingga tidaklah mereka dianugerahi sesuatu yang lebih mereka senangi dibandingkan anugerah melihat Rabb mereka Azza wa Jalla.” 
 
Kedua, berdoa dan berikhtiar untuk istikamah mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya merupakan jalan.yang terbaik agar kita meninggal dalam keadaan berislam.dan beriman.

Ketiga, jika ada orang yang mengaku dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita tidak boleh mempercayainya. Penolakan terhadap pengakuan tersebut merujuk kepada peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa ‘alaihi salam ketika berdialog langsung dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mi’raj. Mereka adalah orang mulia pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetapi tidak dapat melihat-Nya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Berkah Literasi: Ramadhan dan Buku Oleh: Fathan Faris Saputro Ramadhan, bulan penuh berkah bagi um....

Suara Muhammadiyah

12 March 2024

Wawasan

Dzikir, Tazkiyatun Nafs, Tasawuf, dan Muhammadiyah Oleh: Kumara Adji Kusuma, Dosen Universitas Muha....

Suara Muhammadiyah

20 January 2025

Wawasan

Ibrah dari Perang Badar (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Ma....

Suara Muhammadiyah

4 September 2024

Wawasan

Pentingnya Menjaga Kesehatan Jiwa Mahasiswa Oleh: Ratna Yunita Setiyani Subardjo, S.Psi., M.Psi., P....

Suara Muhammadiyah

10 October 2023

Wawasan

Insan Rabbani Episentrum Perubahan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Oleh: Agusliadi Massere Saya,....

Suara Muhammadiyah

7 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah