Oleh: Sobirin Malian
Belum lagi tertangani secara hukum akun Fufufafa, muncul kasus baru yang lebih heboh yaitu pembubaran acara diskusi Forum Tanah Air oleh sekelompok preman yang mengaku Komando 58 di Hotel Kemang, Jakarta. Dua kasus terakhir ini benar-benar mencoreng wajah demokrasi dan negara hukum kita sekaligus mencoreng wajah kepolisian sebagai pihak yang bertanggungjawab menangani kasus-kasus semacam itu tetapi sangat lambat bertindak. Bahkan ada sinyalemen (isu) polisi ada di belakang kasus penyerbuan oleh preman ke acara diskusi Forum Tanah Air itu, karena dalam video yang beredar setelah mengobrak abrik ruangan, para pelaku berpelukan pada polisi. Ungkapan sukses membatalkan acara FTA. Isu keterlibatan pihak kepolisian selayaknya juga diusut kebenarannya.
Di Media Sosial sangat kencang desakan dari nitizen agar kepolisian segera mengusut kasus-kasus tersebut dan memprosesnya secara hukum sehingga kasusnya dapat terungkap dengan jelas.
Khusus kasus akun Fufufafa bahkan sejumlah ahli tata negara dan juga jagat dunia maya mendesak agar pelantikannya sebagai Wakil Presiden terpilih dibatalkan, jika memang akun itu terbukti adalah miliknya. Secara hukum, akun ini kontennya jelas telah melanggar hukum dengan pasal berlapis mulai dari hukum pornografi, pencemaran nama baik, penghinaan , penistaan agama termasuk hingga kebohongan publik.
Dari dua kasus ini saja jelas menjadi batu uji bagi kepolisian dan pemerintahan baru (Prabowo), apakah kasusnya dapat diselesaikan sehingga rakyat dapat menilai (dengan optimis) bagaimana arah penegakan hukum ke depan. Ataukah, jalannya penegakan hukum akan tetap ‘buram’ (stagnan) karena memang kelanjutan rezim sebelumnya dimana konfigurasi hukumnya hanya mengabdi pada kekuasaan.
Urgensi Perubahan
Dalam sistem negara hukum (rule of law), semua entitas dalam negara wajib menjunjung tinggi hukum dan tata nilai yang mengikatnya. Mengingat Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, bukan negara berdasarkan kekuasaan, maka pemerintah memiliki peranan penting untuk memastikan tegaknya negara hukum. Penegasan tentang negara hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Salah satu prinsip utama dalam negara hukum adalah pengakuan atas prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law). Prinsip itu secara tegas diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Lalu, dipertegas lagi dalam Pasal 28 Huruf d ayat (1) Konstitusi yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Prinsip ini menyiratkan makna, bahwa semua warga negara harus diperlakukan sama di muka hukum.
Dalam negara hukum, tentu tidak boleh dan tidak bisa ada diskriminasi dalam penerapan hukum yang bersifat publik, baik hukum formal maupun hukum materialnya. Semua warga negara, baik yang berprofesi sebagai tukang ojek, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), anggota TNI, anggota Polri, maupun presiden, memiliki hak dan kewajiban yang sama dihadapan hukum. Dalam konstruksi negara hukum itu, mekanisme peradilan mutlak bersifat independen, tak memihak dan tak dipengaruhi suatu kekuasaan atau kekuatan apa pun serta harus menjamin due process of law (proses hukum yang adil).
Pengakuan atas negara hukum dan prinsip persamaan hukum dalam konstitusi sudah sepatutnya menjadi landasan dasar bagi pemerintah untuk menyelesaikan kasus akun Fufufafa dan pembubaran acara diskusi Forum Tanah Air oleh sekelompok preman yang mengaku Komando 58 itu. Sesungguhnya, selalu ada segelintir “orang kuat” dalam politik yang disebut “para bos” dalam istilah Sidel (1999). Mereka ini bekerja menembus batas.
Persekongkolan Jahat
Dalam berbagai kejadian di negeri ini, sulit dibantah bahwa sebuah peristiwa katakanlah, pembubaran Forum Tanah Air adalah persekongkolan. Kekhasan dari sindikat atau persekongkolan jahat bisa diamati dalam masalah-masalah sederhana, seperti video yang beredar setelah kejadian itu (pelaku dan polisi berpelukan mirip teletubis). Dalam persekongkolan jahat, tak ada pengakuan atas “kelakuan-kelakuan yang salah, apalagi pengakuan kejahatan”, pun tak ada permintaan maaf karena dilakukan bersama-sama.
Jika banyak kasus kejahatan di negeri ini bukan sindikat, tak susah bagi kita untuk membongkarnya dan meminta mereka yang bersalah meminta maaf. Permasalahannya, sindikat begitu berjejaring (beralgoritma) merasuki semua institusi dan elit-elit. Celakanya, jika dilacak secara hukum mereka semua ibarat menepuk air didulang, mengenai muka sendiri. Itulah maka sindikat sulit dibongkar. Hal itu pula yang menyebabkan setiap kasus yang muncul kultur apologi menjadi mahal. Itulah perbedaan politik kita dengan negara-negara yang sudah berkeadaban.
Jepang bisa menjadi sekadar perbandingan. Negara ini berkelimpahan lembaga dan politisi, penegak hukum yang memiliki etika dan moralitas tinggi. Penyebabnya bukan semata pada tingkat keadaban personal, melainkan mereka sudah sampai pada keadaban institusional. Untuk itu dalam konteks Indonesia, dibutuhkan reformasi kelembagaan menyeluruh. Reformasi kelembagaan dimulai dari partai politik, legislatif, yudikatif, eksekutif hingga aparat keamanan (polisi).
Jantung reformasi dimulai dari mental dan akhlak. Semua kejahatan yang ada dasarnya karena mental dan akhlak kita sudah hancur lebur. Mereka para sindikat itu, tak merasa terbebani oleh kerusakan negara. Sungguh memprihatinkan !!! Benarlah keluhan Alex de Tocqueville dalam On Democracy, Revolution and Society (1980), saat melihat bangsa negaranya yang sedang tidak baik-baik saja menyatakan…bahwa Anda sekalian sedang menipu diri sendiri. Saya yakin, saat ini kita sedang tidur diatas gunung berapi… ada saatnya akan meledak. (Sob/Kiky)