Marwah Hakim
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Kabar tentang dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi menyeruak ke ruang publik. Langkah cepat diambil oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Dalam putusannya mereka sepakat untuk memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. Dia telah terbukti melanggar kode etik berat karena konflik kepentingan dalam perkara yang diperiksa dan diputuskan.
Majelis Hukum dan HAM, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai, bahwa pelanggaran etik berat seharusnya dijatuhi sangsi pemberhentian tidak dengan hormat Kepada Anwar Usman dari jabatan hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Kata Ketua MHH PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, Selasa (7/11/2023).
Membincangkan profesi hakim, saya teringat kisah Abu Nawas, penyair sastra Arab klasik yang sangat tersohor. Dia menolak diangkat menjadi hakim, setelah hakim istana kekkhalifahan Bani Abbasiyah wafat di Baghdad. Saat itu, dinasti kekhalifahan Islam sedang dipimpin oleh Sultan Harun Al Rasyid (786 – 803 M). Pemimpin yang sangat popular karena menjadikan Baghdad sebagai Kota 1001 Malam.
Singkat cerita, ketika Syeikh Maulana meninggal dunia, Sultan Harun Al Rasyid berniat mengangkat Abu Nawas untuk menggantikan ayahnya sebagai hakim istana. Semua syarat terpenuhi. Selain menjadi penyair masyhur, ia juga cerdas, jenaka, punya banyak gagasan aneh, dan memiliki ilmu pengetahuan luas di bidang hukum dan agama.
Mengetahui rencana sultan yang tidak boleh ditolak oleh siapapun yang menerima perintah, Abu Nawas berpikir keras agar niat tersebut gagal. Setelah acara penguburan jasad ayahnya selesai, Abu Nawas tiba-tiba mengambil sebatang pelepah pisang. Ia menungganginya sambil berlari-lari dari kuburan menuju rumahnya. Seolah ia sedang menaiki kuda dengan gembira.
Sultan Harun Al Rasyid dan para petinggi kerajaan sontak keheranan. Mereka mengira bahwa Abu Nawas telah gila, karena ditinggal wafat sang ayah. Meski demikian, Sultan tetap ingin mengangkatnya menjadi hakim (pemutus perkara).
Mendengar keteguhan sultan, Abu Nawas kembali berulah. Ia mengundang group orkes musik dan teman-temannya untuk bernyanyi, berjoget gembira di pusara sang ayah. Atas kejadian itu, para petinggi kerajaan menyimpulkan bahwa Abu Nawas telah benar-benar gila.
Mereka mengajukan calon pengganti hakim baru. Awalnya Sultan masih ragu dan menunggu selama 20 hari. Namun setelah satu bulan berlalu, Abu Nawas tetap berperilaku gila. Mengetahui hal itu, sultan akhirnya mengangkat orang lain sebagai hakim.
Wakil Tuhan yang Mulia
Hikmah yang terpetik dari cerita itu adalah, bahwa menjadi seorang hakim memang harus memiliki tingkat kewarasan paripurna. Itu bisa dibuktikan dari rekam jejak seseorang dari aspek kebijaksanaan dan kesesuaian antara ucapan dan lakunya. Di zaman sekarang, hal itu bisa dilakukan dengan cara yang lebih mudah. Sudah ada teknologi kedokteran yang canggih, berbasis computer yang bisa menilai secara akurat.
Menjadi hakim harus melalui jalan panjang. Ada berbagai tahapan untuk menguji kedalaman ilmu, sekaligus mengukur integritas dan kejujuran. Di dalamnya terinci dalam kualitas mental, karakter, sekaligus perilakunya. Hakim mendapat posisi terhormat di ruang pengadilan. Ia akan dipanggil "Yang Mulia".
Panggilan yang setara dengan orang-orang berdarah biru, tuan tanah, para kesatria yang memiliki garis keturunan bangsawan dan raja tempo dulu. Ketika para tuan tanah dan ksatria telah berganti panggilan menjadi ”Tuan atau Nyonya”, hakim tetap dipanggil yang mulia hingga sekarang.
Hakim, juga sering disebut sebagai "wakil Tuhan" di muka bumi ini. Meski sebutan itu sesungguhnya tidak pernah muncul dalam peraturan resmi mana pun. Mungkin, sebutan itu muncul atas pengaruh penerapan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Bahwa setiap putusan hakim wajib mencantumkan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Melalui penyebutan itu hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri, atau pencari keadilan. Lebih dari itu, hakim bertanggung jawab kepada Tuhan.
Dalam ajaran Islam, ada Hadist Bukhori yang menyatakan; "Bila seorang hakim hendak memutuskan perkara, lalu dia berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala. Dan bila dia hendak memutuskan perkara lalu berijtihad kemudian salah, maka baginya satu pahala". (HR. Bukhari).
Betapa muliannya profesi hakim itu. Bahkan ketika mereka keliru dalam memutus (dengan sungguh sungguh) suatu perkara, ALLAH tetap memberikan satu pahala. Kekeliruan dan kebenaran yang dimaksud tentu menurut penilaian ALLAH. Penilaian manusia, tidak berlaku dalam konteks ini. Mengapa? Karena keputusan pengadilan selalu akan dinilai berbeda oleh manusia. Benar menurut pihak yang menang, akan tetap salah menurut yang kalah.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan cerita lanjutan tentang mengapa Abu Nawas menolak menjadi hakim. Konon, ketika sang ayah sedang sakit parah menjelang wafat, ia meminta Abu Nawas untuk mencium telinga kanan dan telinga kiri ayahnya. Abu Nawas menuruti permintaan itu. Ketika mencium telinga kanan berbau harum. Tetapi ketika mencium telinga sebelah kiri, ternyata berbau sangat busuk.
Dengan suara terbata, sang ayah menyampaikan cerita. Bahwa: ”Suatu ketika, datang dua orang yang ingin mengadukan dua perkara kepadaku. Aku hanya mau mendengarkan salah satu perkara yang aku suka, lalu mengabaikan perkara kedua yang tidak aku suka. Inilah akibatnya”.
Mendengar pesan ayah, Abu Nawas semakin mantab dengan pilihannya untuk tidak bersedia menjadi seorang hakim. Meski ia akan disebut yang mulia, namun tetap memiliki pertaruhan dan resiko sangat besar dalam hidupnya. Baik di dunia maupun akherat kelak.
Ketika integritas, kejujuran, kemandirian dalam mengambil keputusan sudah dipenuhi, prasyarat menjadi paripurna, ketika seorang hakim masih bersikap malu ketika melakukan pelanggaran.
Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpimnan Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan