Panduan Islam Bermedia Sosial
M. Husnaini, Ph.D., Dosen FAI UII, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM DI Yogyakarta
Beberapa waktu lalu, saya diundang berbicara di sebuah stasiun radio di Yogyakarta dengan tema media sosial. Membincang media sosial penting, mengingat media satu ini telah menjadi gaya hidup, bahkan kebutuhan bagi masyarakat modern. Diperkirakan, separuh lebih penduduk Indonesia adalah pengguna aktif media sosial, mulai dari Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, hingga WhatsApp.
Karena itu, pendidikan terkait penggunaan media sosial sangat penting. Tujuannya, masyarakat Indonesia tidak terjerumus pada fenomena high tech low touch, yakni menggunakan teknologi canggih namun dengan moralitas yang rendah. Jangan sampai pula smartphone berada di tangan manusia yang justru tidak smart, seperti orang berkendara tetapi sambil live atau selfie.
Media sosial itu media, alat, dan saluran komunikasi canggih. Ia dapat menyebarkan informasi di sini dan saat ini. Karena itu, memanfaatkan media sosial sebijak mungkin adalah keniscayaan. Ada banyak contoh pengguna media sosial yang cerdas dan bijak. Seorang guru besar dan rektor di sebuah perguruan tinggi negeri menulis artikel setiap hari di Facebook sampai mendapatkan penghargaan atau rekor MURI sebanyak dua kali.
Di negara tetangga, Malaysia, seorang mahasiswi master begitu kreatif membuat peta konsep atau bagan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan diunggah di Facebook. Membaca bagan-bagan tersebut, kita menjadi paham tafsir, disertai refleksi ringan dan bagaimana mengamalkan ayat-ayat yang sedang diangkat. Ada lagi penggiat Instagram yang rajin membuat meme berisikan petuah atau ajaran ulama Nusantara. Bahkan, ada ibu-ibu yang berbagi kiat-kiat praktis diet melalui TikTok. Ada pula sekelompok mahasiswa yang membikin grup WhatsApp untuk menyediakan jasa transporter bagi sesama anggota grup. Hingga, ada grup WhatsApp yang membantu dengan sangat intens dan detail step demi step penyembuhan para penderita diabetes.
Poinnya adalah media sosial harus dimanfaatkan untuk berbagai sesuatu yang penting, menarik, dan bermanfaat. Tentu sesuai kapasitas dan kapabilitas masing-masing. Yang harus dipahami, postingan kita adalah jariah dan kepribadian kita, tetapi postingan kita juga bisa menjadi harimau kita. Bukankah sudah banyak kasus pidana yang bermula dari status atau komentar negatif di media sosial?
Yang menyedihkan adalah laporan Microsoft ketika mengumumkan tingkat kesopanan digital sepanjang 2020 lalu. Dalam laporan bertajuk Digital Civility Index (DCI) tersebut, rupanya masyarakat kita disebut sebagai pengguna internet yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Padahal, Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas beragama Islam.
Bagaimana panduan Islam dalam bermedia sosial? “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,” tutur Rasulullah dalam riwayat Bukhari, “hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.” Dalam konteks media sosial, hadis ini dapat dimaknai: Tahanlah jari-jemarimu dengan tidak mengunggah status atau komentar, kecuali yang baik dan jelas-jelas mengandung maslahat.
Panduan lebih detail lagi ada pada tiga ayat dalam surah Al-Hujurat [49]. Di ayat ke-6, Allah menyuruh orang-orang beriman untuk meneliti kebenaran sebuah berita alias bertabayun. Jangan sampai mencelakakan pihak lain akibat kecerobohan kita sendiri, yang akhirnya menimbulkan penyesalan. Ingat, hoaks biasanya diciptakan oleh orang pintar yang jahat kemudian disebarkan oleh orang bodoh yang baik.
Selanjutnya, dalam surah Al-Hujurat secara berturutan dari ayat 11-13, insan beriman dilarang saling merendahkan di antara sesama, serta juga tidak boleh melakukan bullying dan menggelari saudara sesama dengan gelar yang mengandung ejekan. Kemudian, Allah juga memerintahkan hamba-hamba beriman menjauhi purbasangka dan kebiasaan menguliti keburukan sesama. Sebaliknya, di ayat ke-13, kita disuruh saling mengenal. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi sarana canggih untuk menjalin relasi atau jaringan guna berbagi inspirasi dan informasi yang positif.