BOGOR, Suara Muhammadiyah - Dalam upaya memperkuat peran dai sebagai pembawa pesan kebaikan dan rahmat bagi semesta, ID Humanity Dompet Dhuafa menggelar Pelatihan Dai Transformatif di Papyrus Hotel, Bogor, Jawa Barat, Rabu (29/10). Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kapasitas para dai agar mampu berdakwah secara solutif, inklusif, dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.
Selama lebih dari tiga dekade, Dompet Dhuafa telah menjadi lembaga filantropi Islam yang konsisten menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) untuk kesejahteraan masyarakat. Melalui berbagai program ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, dan dakwah, Dompet Dhuafa terus menebarkan nilai-nilai Islam yang mencerahkan dan menumbuhkan semangat kemanusiaan.
Dalam sesi Diskusi Panel bertema “Eksistensi Dai yang Rahmatan lil ‘Alamin”, hadir Muchamad Arifin, M.Ag., Ketua Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebagai narasumber dan motivator dakwah. Dalam paparannya, ia menyampaikan bahwa seorang dai sejatinya adalah pembawa misi Allah — menghadirkan pesan wahyu dengan ketulusan, keilmuan, dan akhlak yang meneduhkan.
“Seorang dai tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga menghadirkannya dengan wajah yang ramah, senyum yang menyejukkan, dan tutur yang mendamaikan. Dakwah itu harus mampu menenangkan hati, bukan menegangkan. Harus mengajak, bukan menghakimi,” tuturnya.
Menurutnya, dakwah yang diterima masyarakat bukan sekadar karena isi ceramah, tetapi karena kehadiran dai yang membawa keteladanan. Senyum, keramahan, dan kesediaan untuk memahami kondisi masyarakat menjadi kunci diterimanya pesan-pesan agama.
“Kita tidak bisa masuk ke hati manusia dengan amarah. Kita hanya bisa mengetuknya dengan kasih sayang,” ujarnya.
Muchamad Arifin juga menyinggung tantangan dakwah di wilayah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) yang selama ini digeluti para dai LDK Muhammadiyah. Ia menggambarkan bagaimana para dai di pedalaman Banten, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua harus menempuh perjalanan berat, menghadapi keterbatasan fasilitas, serta hidup di tengah masyarakat dengan budaya dan adat yang sangat beragam.
Namun di balik semua itu, lanjutnya, justru di sanalah esensi dakwah sejati teruji. Di daerah 3T, para dai tidak hanya berdiri di mimbar, tetapi juga hadir dalam kehidupan masyarakat — membantu mereka belajar, berobat, bercocok tanam, bahkan menenangkan hati di kala bencana dan kesulitan datang.
“Dakwah bukan sekadar menyampaikan ayat, tetapi menghadirkan kasih sayang Allah melalui tindakan nyata. Dai sejati adalah mereka yang diterima karena kehadirannya membawa kedamaian,” tandasnya.


