Penanganan Pengungsi Rohingya dan Kemanusiaan
Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim
Keadaan dan nasib pengungusi Rohingya dan yang lain misalnya dari Afghanistan di beberapa wilayah Indonesia sangat memprihatinkan. Baru-baru ini lebih dari seribu pengungsi Rohingya masuk di wilayah Aceh, menyusul para pengungsi lain yang telah terlebih dahulu masuk dan menetap sementara di Aceh. Mereka yang telah lama berada di Aceh dan kota-kota lain menghadapi masalah yang tidak ringan karena hingga saat ini belum ada penyelesaian yang benar-benar tuntas terhadap problem pengungsi.
Hampir dua tahun yang lalu, misalnya, sejumlah mereka ada yang menjahit mulut mereka dan bahkan ada yang bunuh diri dengan cara membakar diri. Ini dilakukan sebagai cara mereka untuk memprotes UNHCR yang tidak dengan segera mengirimkan mereka ke negara-negara penerima suaka politik. Tidak sedikit mereka yang sejak 10 tahun silam bahkan lebih ditampung untuk sementara di beberapa wilayah Indonesia.
Penampungan ini dilakukan karena Indonesia bukan negeri penerima suaka politik. Para pengungsi itu singgah di Indonesia sebelum benar-benar diijinkan oleh UNHCR masuk di wilayah penerima suaka politik, yaitu Australia misalnya. Selama dalam penampungan sementara inilah kehidupan sehari-sehari mereka mengandalkan kepada bantuan dan belas kasihan masyarakat Indonesia.
Mereka tidak bisa menjalani dan menikmati kehidupan secara normal sebagaimana warga yang lain. Tidak sedikit anak-anak mereka yang tidak bisa bersekolah. Mereka juga tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Menampung sementara dalam waktu yang berlama-lama, akan menimbulkan masalah-masalah sosial, psikologis, ekonomi dan bahkan juga ketertiban dan keamanan.
Penambahan pengungsi Rohingnya belum lama ini di Aceh tentu menambah beban masalah bagi semua pengungsi dan tentu bagi masyarakat Indonesia setempat, Terkait dengan ini, saya ingin menyampaikan beberapa catatan. Pertama, Komitmen bangsa Indonesia terhadap kemanusiaan tidak pernah diragukan dan selama ini telah ditunjukkan menangani berbagai masalah kemanusiaan antara lain tragedi kemanusiaan yang menimpa bangsa dan rakyat Palestina sebagai akibat genosida Israel hingga saat ini.
Baik pemerintah maupun kekuatan-kekuatan civil society termasuk ormas-ormas Islam, banyak lembaga filantropi dan para tokoh lintas agama telah secara kongkit memberikan perhatian kuat untuk program kemanusiaan ini. Hal yang sama juga ditunjukkan untuk para pengungsi Vietnam di Pulau Galang beberapa puluh tahun yang silam. Selama dalam penampungan ini, masyarakat Indonesia memperlakukan dengan baik dan memberikan bantuan untuk berbagai keperluan hidup sehari-hari.
Kedua, UNHCR sebagai lembaga dunia yang paling bertanggung jawab soal pengungsi ini harus bersegera menyelesaikan soal pengungsi yang sudah lama berada di beberapa wilayah di Indonesia termasuk Aceh. Jangan sampai tidak ada kepastian. Mereka memiliki hak hidup yang wajar dan karena itu hak-hak dasar mereka harus segera dipenuhi dengan cara-cara afirmatif segera mengirimkan ke negara-negara pemberi suaka politik. Membiarkan para pengungsi berlama-lama dalam ketidak pastian, sama saja membiarkan hak-hak hidup hidup dan martabat mereka terlanggar. Dan ini sama saja membunuh mereka secara perlahan-lahan; membunuh harapan dan masa depan mereka.
Ketiga, tidak berhentinya arus pengungsi ini karena problem politik di Mynmar belum terselesaikan semenjak kudeta militer terjadi. Karena itu, kepemimpinan ASEAN perlu melakukan pembicaraan yang lebih strategis dan taktis agar ada solusi yang baik dan supaya wilayah Asia Tenggara damai dan harmonis.
Keempat, penting dilakukan pembicaraan tuntas yang melibatkan Indonesia, UNHCR dan negeri pemberi suaka politik agar berbagai kendala yang selama ini dihadapi bisa diselesaikan secara komprehensif.
Kelima, MUI, ormas-ormas Islam dan seluruh komponen masyarakat civil society terutama di daerah-daerah di mana pengungsi berada perlu juga segera secara bersama-sama melakukan langkah antara lain membuat semacam gugus atau aliansi masyarakat Indonesia untuk pengungsi. Melalui aliansi inilah berbagai masalah yang timbul terkait dengan pengungsi bisa ditangani. Karena itu aliansi ini bisa memainkan peran-peran advokasi, edukasi, healing dan pemberdayaan bagi pengungsi. Peran-peran mediasi antara pengungsi dengan berbagai pihak juga bisa dilakukan oleh aliansi ini. Bersyukur karena Ormas Islam, misalnya, Muhammadiyah telah melalukam langkah-langkah kongkrit selama ini. Ini perlu dikapitalisasi dengan membentuk aliansi Masyarakat Indonesia untuk pengungsi ini.
Keenam, Pernyataan wakil presiden RI yang menawarkan Pulau Galang sebagai tempat penampungan juga merupakan satu solusi yang baik, Indonesia sudah sukses dengan program Pulau Galang ini. Akan tetapi, tentu perlu dipertimbangkan karena selama problem politik dan genosida terjadi di Myanmar, maka arus pengungsi akan terus terjadi dan kepadatan pengungsi di pulau Galang akan terjadi. Karena itu, Kordinasi pemerintah dengan kekuatan civil society perlu diperkuat.
Sudarnoto Abdul Hakim, Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional