MALANG, Suara Muhammadiyah - Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melalui Pusat Studi Islam Berkemajuan (PSIB) kembali menegaskan perannya sebagai pusat kajian Islam progresif dengan melangsungkan kuliah internasional bertajuk “Muhammadiyah dalam Perspektif Pemikiran Melayu Progresif”, Senin 19 Mei 2025. Acara ini menghadirkan Azhar Ibrahim Alwee, Ph.D., dosen Department of Malay Studies National University of Singapore, sebagai pemateri utama. Kegiatan ini menjadi ruang refleksi kritis atas posisi Muhammadiyah di kancah pemikiran Islam Asia Tenggara, khususnya dalam relasi dengan masyarakat Melayu di Malaysia dan Singapura.
Dalam pemaparannya, Azhar Ibrahim menggarisbawahi bahwa Muhammadiyah telah lama menjadi pusat perhatian intelektual di kawasan Melayu. Ia mengatakan lebih dari satu dekade meneliti dinamika wacana Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah, meski bukan peneliti khusus organisasi tersebut.
“Minat saya terarah pada tawaran-tawaran intelektual Muhammadiyah, mulai dari Buya Hamka, Syafi’i Ma’arif, hingga Kuntowijoyo. Mereka memberi warna tersendiri dalam diskursus keagamaan di Asia Tenggara,” kata Azhar.
Azhar menyoroti dikotomi klasik antara ‘kaum muda’ dan ‘kaum tua’ dalam masyarakat Melayu. Muhammadiyah menurutnya, sering diasosiasikan dengan kaum muda yang membawa semangat pembaruan dan rasionalitas, berbeda dengan kaum tua yang cenderung mempertahankan tradisi. Namun, ia menekankan, penerimaan terhadap pemikiran Muhammadiyah di Malaysia dan Singapura tidak semudah di Indonesia.
“Majelis agama di Malaysia, yang didominasi kaum tua dan dilantik oleh Sultan, cenderung mempertahankan status quo dan membatasi masuknya gagasan-gagasan progresif seperti yang diusung Muhammadiyah,” ucap Azhar.
Lebih jauh, Azhar mengkritisi fenomena politik diskursus di Malaysia, di mana karya-karya Buya Hamka yang dulu dianggap progresif kini justru digunakan kelompok konservatif untuk menahan laju wacana Islam kontemporer dari Indonesia. Menurutnya bacaan atas Hamka di Malaysia lebih sebagai reaksi konservatif, bukan sebagai jembatan ke pemikiran progresif. Ini menunjukkan politik wacana sangat menentukan arah perkembangan pemikiran Islam di kawasan.
“Kiprah Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang sukses di Indonesia, dengan jaringan rumah sakit, panti asuhan, dan kampus. Dapat dinilai dengan kekaguman masyarakat Melayu terhadap Muhammadiyah lebih pada keberhasilan kelembagaan, bukan pada adopsi pemikiran progresifnya. Di ranah Melayu, belum ada organisasi Islam yang mampu menandingi Muhammadiyah dalam hal manajemen sosial dan pendidikan,” ujarnya menegaskan.
Di sisi lain, Ketua PSIB UMM, Zaenal Abidin, M.Si.juga menegaskan pentingnya forum semacam ini untuk memperluas wawasan dan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. Ia mengatakan acara ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin agar pemikiran Islam berkemajuan benar-benar menjadi solusi kebuntuan sosial dan keagamaan di Indonesia.
“Saya berharap acara ini tidak hanya memperkaya khazanah intelektual civitas akademika UMM, tetapi juga menjadi refleksi kritis atas tantangan dan peluang penyebaran pemikiran Islam progresif di kawasan Melayu,” pungkasnya. (diko)