Pengumpulan dan Penulisan Hadits
Oleh: Donny Syofyan
Al-Qur’an memerintahkan kita mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Tapi Al-Qur’an secara khusus tidak menyebutkan istilah hadis sebagai referensi untuk hal-hal yang dikatakan dan dilakukan Nabi Muhammad SAW. Faktanya, kata ‘hadits’ dalam Al-Qur’an sebenarnya mengacu pada Al-Qur’an itu sendiri, “Maka apakah kamu menganggap remeh hadits [Al-Qur’an] ini? Kamu mengganti rizki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah.” (QS 56: 81-82)
Jadi Al-Qur’an menyebut dirinya hadits. Tapi ini tidak merujuk kepada apa yang secara umum dipahami sebagai hadits. Dalam satu riwayat dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menyampaikan beberapa informasi kepada salah satu istrinya yang disebut hadits. Tetapi gagasan bahwa hadits merupakan koleksi yang dibukukan yang akan diikuti oleh umat Islam kemudian hari adalah fenomena di kemudian hari. Ini tidak ada dalam Al-Qur’an sendiri. Dalam Al-Qur’an dinyatakan, “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Mengetahui” (QS 33: 34). Para istri Nabi SAW disuruh mengingat atau menyebutkan apa yang sedang dibacakan di rumah mereka. Mereka membaca Al-Qur’an di rumah mereka untuk diingat.
Al-Qur’an sangat tegas bahwa kita harus mengikuti Nabi Muhammad SAW. Dia adalah contoh hidup kita. Dia adalah orang yang mengajari kita detail Al-Qur’an. Al-Qur’an memberi tahu kita secara umum untuk shalat tetapi tidak menginformasikan semua detailnya. Tetapi umat Islam menyatukan keduanya. Kita shalat seperti Nabi shalat, melakukan haji dan membayarkan zakat lewat cara-cara yang dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi. Meskupun Al-Qur’an menyuruh kita mematuhi Nabi, tapi ia tidak menjelaskan buku tertentu yang mengutip perkataan atau ucapannya yang dibalut sebagai ucapan formal. Orang-orang hidup di zaman Nabi bisa mendengarnya sehingga mematuhi apa yang beliau katakan. Kita tahu bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
Tapi kemudian orang-orang melihat perbedaan antara apa yang sebenarnya diungkapkan oleh Nabi sebagai perintah Allah dan apa yang hanya pendapatnya sendiri. Dalam satu waktu, Nabi SAW menasihati seorang wanita untuk tetap mempertahankan pernikahannya. Saat wanita itu bertanya apakah ini berasal dari Allah atau pendapat Nabi sendiri, Nabi menjawab itu pendapatnya sendiri. Lantas si wanita terus terang membalas bahwa dia tidak membutuhkan pendapat Nabi.
Pada saat riwayat tentang Nabi dikumpulkan, suasana hati umat sudah berubah. Umat jauh lebih menghormati Nabi. Kita seringkali lebih menghormati seseorang saat dia sudah tiada atau tidak bersama kita. Selama Nabi hidup, ada saat-saat ketika orang bereaksi yang menunjukkan bahwa mereka mengenalinya sebagai manusia yang mengetahui wahyu Allah. Tetapi tentu ada cara lain di mana Tuhan membimbingnya. Kita mengikutinya, mematuhi perintah Tuhan dengan mengikuti dan mematuhi Nabi.
Tetapi pada saat yang sama, ada pengakuan bahwa Nabi telah mengatakan dan melakukan hal-hal tertentu berdasarkan waktu dan tempat di mana beliau tinggal. Umat ingin mengingat apa yang dikatakan Nabi. Mereka ingin mengkodifikasi informasi itu. Dari sanalah kita menyaksikan kemunculan koleksi hadits besar-besaran.
Selama masa Nabi, masyarakat Muslim tidak pernah berpikir untuk mengumpulkan perkataannya karena Nabi dapat diakses. Saat Nabi hidup, umat bisa langsung bertanya kepadanya. Mereka tidak perlu repot-repot mengingat ucapannya. Tidak perlu mengoleksi perkataan atau ucapannya.
Tetapi ada orang yang datang dari jauh mengunjunginya. Mereka biasanya berasal dari daerah terpencil. Pelbagai riwayat menunjukkan bahwa orang-orang ini ingin memahami Al-Qur’an langsung Nabi SAW. Pada satu kesempatan, seseorang yang bernama Abu Shah datang kepada Rasulullah. Dia berasal dari daerah terpencil. Dia berkata kepada Nabi, "Aku tidak ingat semua ajaran-mu ini. Bisakah engkau menuliskannya untukku?" Lalu Nabi memerintahkan seorang sahabatnya untuk menuliskannya, "Tuliskan untuk Abu Shah." Pada kesempatan lain juga diriwayatkan bahwa Nabi meminta Ali bin Abi Thalib untuk menulis apa yang beliau ucapkan untuk kemudian disampaikan kepada umat. Jadi ada dokumen tertulis di sini.
Lewat riwayat ini, umat punya perspektif bahwa hadits sampai batas tertentu boleh ditulis. Tapi pada saat yang sama kita juga menyaksikan semacam fenomena di mana satu hadits mengatakan satu hal dan hadits lainnya mengatakan sebaliknya. Kemudian juga ditemukan hadits-hadits lain yang mencoba menjembatani kesenjangan antara dua opsi hadits yang tampak bertentangan.
Mengapa kita menemukan dua riwayat yang berbeda? Suatu waktu dikatakan dan kemudian dibatalkan? Ini lagi-lagi persoalan waktu dan faktor-faktor lainnya. Di satu sisi disebutkan bahwa Nabi melarang siapa pun menulis apa pun kecuali Al-Qur’an. Beliau bersabda, “Jangan tulis untuk-ku apapun kecuali Al-Qur’an. Jika Engkau telah tulis sesuatu maka hapuslah.”
Lalu bagaimana sarjana Muslim menjelaskan hal ini? Mereka menegaskan bahwa Nabi awalnya tidak ingin Al-Qur’an bercampur aduk dengan hal lain. Beliau hanya ingin satu hal yang ditulis, Al-Qur’an. Tak ada kebingungan. Tetapi setelah umat Islam mulai paham dan jelas apa dan bagaimana Al-Qur’an, kemudian beliau membolehkan menulis ucapannya, seperti perintah menulis untuk Abu Shah atau instruksi kepada Ali untuk disampaikan kepada masyarakat Muslim. Artinya menulis hadits diperkenankan. Namu demikian, alasan ini tidak sepenuhnya dapat diterima oleh kalangan lain. Menurut mereka, jika Nabi benar-benar ingin ucapannya ditulis, beliau bisa membuat ketentuan atau garis pembatas yang tegas; beberapa sahabat menuliskan Al-Qur’an dan sejumlah sahabat lainnya menuliskan hadits. Jadi, tak perlu ada kebingungan.
Al-Qur’an adalah sumber dan dokumen utama. Adapun hadits ada yang diingat, diterapkan, atau dilupakan. Tapi Muslim akan mengingat hal-hal terpenting, seperti bagaimana Nabi shalat, menunaikan haji, berpuasa dan berzakat, dan sebagainya. Hal-hal lain yang agaknya tidak begitu penting dan mungkin dilupakan. Tapi itu bukan akhir dunia karena Al-Qur’an akan membimbing kita kembali kepada yang asli dan apa yang menjadi dasar keimanan kita. Al-Qur’an ditulis selama masa Nabi dan juga dihafal. Catatan berbagai sahabat tentang ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dan disusun ke dalam mushaf Al-Qur’an yang kita miliki dan baca sekarang, meskipun beberapa kritikus menantang beberapa aspek dari kompilasi ini.
Nabi tidak punya niat ucapannya disusun dalam volume besar seperti yang kita miliki sekarang. Hadits-hadits Rasulullah SAW dikompilasi jauh kemudian. Koleksi yang kita miliki sekarang, setidaknya kitab yang enam (kitâbus sittah), berasal dari abad ketiga hijriah dan beberapa waktu kemudian. Imam Bukhari (wafat pada 256H/870M) menulis magnum opus-nya menjelang akhir hidupnya di tahun dua ratus hijriah, yang berarti pada abad ketiga hijriah. Ia diikuti oleh para penulis hadits lainnya—Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasa'i. Bahkan Nasa'i wafat pada tahun 303H, yakni memasuki abad keempat. Bahkan Muwaththa’ Imam Malik disusun lebih dahulu. Imam Malik meninggal pada tahun 179H, dan bukunya disusun satu dekade sebelum itu.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas