Penyebab Orang Keluar dari Islam

Publish

18 March 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
3531
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Penyebab Orang Keluar dari Islam

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Ada hal-hal yang membuat seseorang menjauh atau keluar dari Islam, di antaranya syirik, kufur, dan nifaq. Tetapi juga ada hal-hal lain yang terkait dengan haram, halal, dan sebagainya. Bagaimana kita memahami ini?

Dalam Al-Qur`an ada perbedaan antara iman dan kekafiran. Ini sangat jelas dalam Al-Qur`an. Seseorang menjadi kafir ketika dia menolak atau tidak percaya kepada Allah. Syirik bermakna mempersekutukan atau memperserikatkan Allah dengan yang lainnya. Prilaku kufur atau syirik adalah dosa besar. Ia bukan hanya keseleo lidah atau sekadar pandangan seseorang. Sekali seseorang mengikuti keyakinan Islam, dia akan melakukan hal-hal yang diwajibkan Islam seperti shalat, puasa, bersedekah, dan sebagainya. Mereka adalah Muslim. Kategori ini adalah paradigma Al-Qur`an. 

Di antara kedua kelopok ini, ada orang-orang yang disebut munafik. Mereka mungkin berpura-pura menjadi Muslim, tetapi di dalam hati mereka sebenarnya bukan Muslim. Tapi lagi-lagi bukan kita untuk menilai. Hanya Allah yang mengenal mereka. Itulah kenapa para ulama enggan menyatakan atau mencap seseorang bukan Muslim atau keluar dari Islam. Dalam sejarah kita banyak kelompok yang suka mengafirkan sesama Muslim, bahkan ada kelompok yang dikenal sebagai Khawarij yang sangat keras menyatakan bahwa seseorang dianggap kafir atau bukan Muslim hanya lantaran perbedaan paham. 

Bagi kelompok ini, jika Anda tidak memutuskan berdasarkan Kitabullah, maka Anda bukan lagi seorang Muslim. Tetapi pandangan ala Khawarij ini bukan pandangan utama dalam Islam. Pandangan popular Islam mengklasifikasikan orang yang berbeda pendapat tetap bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang berarti orang-orang yang mengikuti Sunnah, mengikuti jalan hidup Nabi Muhammad. Gagasan Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini adalah gagasan inklusif. Kelompok ini ingin mempertahankan Muslim bersama sebanyak mungkin, bukan dengan mengucilkan. 

Ada kesulitan tersendiri untuk mengategorikan seseorang munafik. Kita tidak tahu apa yang ada di hati seseorang. Kita tidak bisa mengklasifikasikan seseorang atau orang tertentu sebagai orang munafik, misalnya ketika kita melihat orang itu bersenang-senang dengan musuh. Bisa saja orang itu melakukannya karena alasan yang baik. Mungkin dia berpikir dengan berteman dengan musuh, dia bisa membujuk musuh ini menerima kepercayaan Islam lebih baik atau mengurangi penindasan atau permusuhan yang mereka perbuat terhadap Muslim. Orang itu bisa saja melakukannya karena alasan yang baik, setidaknya dalam pikirannya sendiri. Lalu siapa kita untuk menilai? Kita tidak bisa.

Ada riwayat dalam sebuah hadits tentang pasukan musuh yang bertempur dengan pasukan Muslim. Saat seorang tentara musuh terdesak dan seorang prajurit Muslim sudah siap menusukkan tombak kepadanya, tiba-tiba tentara musuh ini mengucapkan dia kalimat syahadat—menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Nabi Allah. Namun si prajurit Muslim itu tetap membunuhnya.

Ketika kejadian ini sampai kepada Nabi SAW, beliau keberatan. Si prajurit Muslim ini berdalih bahwa si prajurit musuh itu menyatakan syahadatain untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Lalu Nabi SAW bertanya, “Apakah kamu memotong hatinya untuk melihat keimanan yang ada di hatinya?” Ini adalah pertanyaan retoris. Yang berarti bahwa siapa pun tidak bisa tahu apa yang ada di hati seseorang. Hanya Allah yang pantas menjadi hakim.

Kita perlu membedakan antara posisi kita dengan Allah dan posisi kita dengan sesama manusia. Posisi kita dengan Allah adalah bahwa jika kita dengan tulus memegang suatu posisi lewat studi, riset, dan sebagainya, kita dengan tulus memegang posisi itu, kecuali hal itu membuat kita jatuh ke dalam kufur dan syirik. Bila ini terjadi, maka bukan Muslim lagi. Jika kita memegang keyakinan yang bertentangan dengan apa yang diakui secara luas, itu tidak berarti posisi itu sendiri salah karena kebenaran sesuatu tidak selalu ditentukan oleh suara mayoritas.

Kita harus melihat posisi dan keyakinan itu berdasarkan pada apakah itu berdasarkan Al-Qur`an dan berdasarkan sesuatu yang dapat dipercayai berasal dari Nabi Muhammad. Jika seseorang mengatakan, “Keyakinan Anda salah. Anda seharusnya memegang keyakinan lain yang benar.“ Maka kita perlu bertanya, “Dari mana Anda mendapatkannya? Apakah itu dari Al-Qur            an atau Sunnah Nabi SAW. Apakah Anda mendengar Nabi mengatakan ini atau apakah seseorang memberitahu Anda bahwa dia mendengarnya bahwa Nabi mengatakan ini dan itu.

Ada ruang untuk diskusi. Kita perlu bersikap kritis bahkan skeptis sebelum mengambil posisi yang bertentangan dengan mayoritas. Kenapa? Karena mayoritas tidak akan sampai pada posisi itu hanya atas dasar keinginan belaka. Dibutuhkan waktu untuk mengembangkan kultur perdebatan dan dan diskusi sebelum sebuah sistem keyakinan atau pemikiran dapat diterima luas. Jadi kita tak perlu ragu untuk melawan atau mempertanyakan sesuatu. Tetapi melawan itu secara langsung bukan berarti seseorang telah melepaskan keimanannya atau meninggalkan kelompoknya secara keseluruhan.

Jika membaca buku-buku ulama masa lalu, kita akan menemukan begitu banyak keragaman. Tidak sedikit yang mengambil posisi tertentu, meskipun sekarang terlihat aneh. Sejarah Islam memperlihatkan lalu lintas diskusi antara orang-orang memegang posisi yang bertentangan. Kemudian salah satu dari posisi itu menjadi arus utama, diterima dan tersebar luas. Kemudian masyarakat melupakan pendapat yang bertentangan. Sering ditemui bahwa pendapat yang bertentangan itu sering didasarkan pada argumen yang baik dan bukti. Tetapi entah bagaimana, pendapat yang menjadi pemenang tidak selalu karena bukti yang lebih baik, terkadang karena dukungan politik.

Pendapat itu menjadi mainstream dan menempati posisi yang diterima secara luas. Jika ada yang berani melawannya, orang itu akan terlihat sangat aneh. Kalangan awam berpikir bahwa orang ini benar-benar melawan sesuatu yang sudah diterima secara luas. Dia pasti salah dan kalah. Dengan melacak sejarah, mungkin kita bakal melihat posisi itu aneh, bahkan lewat kacamata saat ini. Padahal pendapat itu didasarkan pada bukti yang baik dan dipegang oleh orang-orang baik dan terkemuka dalam sejarah kita.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Hadlarah

Mengenal Sisi Lain Kiai Dahlan Judul               : Lebih Dekat....

Suara Muhammadiyah

4 October 2024

Hadlarah

Makna Hijab Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Ketika kita berbic....

Suara Muhammadiyah

3 January 2024

Hadlarah

Model dalam Pemberdayaan Perempuan Judul               : Pengelo....

Suara Muhammadiyah

29 August 2024

Hadlarah

Judul : Dilema Purifikasi Muhammadiyah: Antara Progresivisme dan Konservatisme Penulis : Tafsir Pe....

Suara Muhammadiyah

22 July 2023

Hadlarah

Makna Filosofi Hidup dalam Islam Oleh: Dr. Rohmansyah, S.Th.I., M.Hum, Dosen UMY, Anggota MTT-PWM D....

Suara Muhammadiyah

25 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah