Mengapa Allah berbicara sebagai Orang Ketiga dalam Al-Qur`an?
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mengapa Allah berbicara sebagai orang ketiga dalam Al-Qur`an? Meskipun Dia juga mengatakan 'Aku adalah Allah dan Al-Qur`an adalah firman-Ku’ tetapi kata ganti orang ketiga tetap digunakan pada banyak kesempatan dalam Al-Qur`an. Bagaimana kita memahaminya?
Ada beberapa misteri tentang Al-Qur`an. Kita tidak tahu cerita lengkap di balik aspek-aspek tertentu dari Al-Qur`an. Sebagai contoh, beberapa sarjana Muslim klasik mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah kata-kata dari Malaikat Jibril yang diberikan kepada Nabi Muhammad. Ia datang sebagai wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril, dan Jibril menyampaikan pesan-pesan Tuhan ini lewat kata-katanya sendiri.
Tidak semua sarjana Muslim menyetujui pendapat ini. Menurut mereka, jika malaikat Jibril benar-benar sebagai Ruh Al-Amin (Ruh yang Dapat Dipercaya) [QS 26: 192], maka dia seharusnya menyampaikan kata-kata Allah sebagaimana adanya; kata demi kata dan tidak memparafrasekannya. Sehingga teori yang menyatakan bahwa Al-Qur`an adalah kata-kata dari Malaikat Jibril harus ditolak.
Lalu bagaimana kita memahami kata ganti orang ketiga yang digunakan oleh Tuhan dalam Kitabullah? Apakah ada manfaatnya? Atau jangan-jangan ini mengundang kebingungan bagi para pembacanya? Profesor Neil Robinson dalam bukunya berjudul Discovering the Qur`an membahas pertanyaan ini secara langsung. Dia mengutip pendapat Roman Jakobson, seorang linguis asal Rusia, yang menulis tentang puisi (poetics) dan wacana (discourse).
Jacobson berbicara secara lebih umum, bukan tentang Al-Qur`an secara khusus. Dia mengatakan bahwa ada tiga tingkat wacana. Pertama adalah ekspresif, yakni manakala seseorang berbicara sebagai orang pertama. Dia mengekspresikan pikirannya sendiri. Kemudian adalah kognitif yang berbicara dari sudut pandang pendengar. Di sini ada penggunaan 'kamu’ untuk memberitahukan sesuatu kepada pendengar. Adapun tingkat ketiga adalah kognitif. Dalam hal ini kita menyampaikan pernyataan tentang fakta-fakta universal. Ia tidak bergantung pada pembicara dan pendengar.
Profesor Robinson menyebutkan ketiganya ada di dalam Al-Qur`an. Ia digunakan bolak-balik. Suatu waktu Al-Qur`an berbicara tentang Tuhan sebagai orang pertama, seperti saat Allah berfirman “Aku adalah Allah dan tiada Tuhan selain Aku” (QS 20: 14) atau
“Masuklah ke dalam surga-Ku” (QS 89: 30) di sini ada penggunaan kata ‘Aku.’ Adakalanya Tuhan berbicara kepada kita dalam bentuk tunggal dan terkadang dalam bentuk jamak. Tuhan juga berbicara kepada pendengar, semisal “Akulah Tuhan kamu yang paling tinggi." (QS 79: 24). Ini bisa dilihat dari sudut pandang pendengar. Sehingga pendengar dapat menempatkan diri dalam wacana dan berkata, “Ya Engkau adalah Tuhanku.”
Berbicara tentang Tuhan dalam diri orang ketiga, menurut Profesor Robinson itu adalah pernyataan kebenaran universal. Ia tidak melibatkan kita sebagai pendengar, sebab ia hanya menyatakan fakta universal, sebagai contoh huwallaahu ladzii laa ilaaha illaa huwa (Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia) [QS 59: 23]. Menyatakan pengajaran dan kebenaran universal di sini tidak bergantung pada kita. Ini adalah kata-kata Al-Qur`an yang mengekspresikan pernyataan dengan cara universal.
Jadi masing-masing memiliki manfaatnya. Suatu ketika Allah berbicara kepada kita lewat kata ‘kamu’ guna menarik kita ke dalam wacana. Ketika Allah berbicara sebagai orang pertama, di sini kita dapat melihat dunia dari sudut pandang Tuhan. Dan lain waktu kita menemukan pernyataan universal di mana Tuhan diungkapkan sebagai orang ketiga atau dibicarakan sebagai orang ketiga, yang juga memiliki manfaat yang dapat kita kutip itu tanpa harus ada perkenalan.