Perceraian Sah Lewat Pengadilan Agama dan Kewajiban Adanya Surat Cerai

Publish

21 October 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
2806
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Perceraian Sah Lewat Pengadilan Agama dan Kewajiban Adanya Surat Cerai

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Saya Ahmad Zamroni dari Bantul, Yogyakarta, mau bertanya apakah perceraian itu baru dinyatakan sah di pengadilan atau boleh hanya dengan kata-kata suami saja? Apakah wajib si perempuan yang sudah dicerai untuk memiliki surat cerai dan boleh menikah lagi dengan orang lain?

Terima kasih atas jawabannya.

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr.wb.

Terlebih dahulu kami ucapkan jazakumullahu khairan atas pertanyaannya Bapak Ahmad Zamroni. Semoga jawaban ini bisa memberikan pencerahan.

Masalah yang serupa pernah dibahas dalam buku Fatwa-fatwa Tarjih, Tanya Jawab Agama Jilid 8 halaman 41-45 terbitan Suara Muhammadiyah. Dalam pembahasan sebelumnya, disimpulkan bahwa perceraian itu harus dilakukan melalui proses pengadilan. Cerai talak dilakukan dengan cara suami mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. Sehingga perceraian di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah. Adapun dasar yang digunakan terdapat dalam Pasal 39 Undang-Undang (UU) Nomor 1/1974 tentang Perkawinan dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 9/1989 tentang Peradilan Agama, bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dalam ijtihad hukum Islam modern di Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada Pasal 115 menyebutkan, “mewajibkan prosedur perceraian itu melalui pengadilan”, dan Pasal 123 “bahwa perceraian terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan”.

Dalam nas al-Qur’an maupun hadis Nabi saw memang tidak dijelaskan mengenai permasalahan cerai di depan sidang pengadilan ini, namum demi mewujudkan kemaslahatan, di antaranya sebagai upaya mendamaikan kedua belah pihak, maka di sini ada perubahan hukum dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan pun dan di mana pun menjadi keharusan menjatuhkan talak di depan sidang Pengadilan. Perubahan hukum ini sah karena sesuai dengan kaidah fiqhiyah berikut ini,

لاَ يَنْكِرُ تَغَيُّرُالحُكْمِ بِتَغَيُّرِالأَزْمَانِ 

Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.

Ibnu al-Qayyim juga menyatakan: 

تَغَيُّرُ الفَتْوَى وَ اخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ الأَزْمِنَةِ وَ الأَمْكِنَةِ وَ الأَحْوَالِ وَ النِّيَاتِ وَ العَوَائِدِ
Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan adat istiadat.

Para filsuf syariat juga telah menyepakati bahwa tujuan syariat adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Menurut asy-Syatibi hal ini didasarkan pada Q.S. al-Anbiya’ (21) ayat 107,

وَ مَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

Mengenai masalah ini K.H. Ahmad Azhar Basyir, mantan Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menyatakan bahwa, “Perceraian yang dilakukan di muka pengadilan lebih menjamin persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang perceraian, sebab sebelum ada keputusan terlebih dahulu diadakan penelitian tentang apakah alasan-alasannya cukup kuat untuk terjadi perceraian antara suami-istri. Kecuali itu, dimungkinkan  pula pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum mengambil keputusan bercerai antara suami dan istri”. Beliau menjelaskan lebih lanjut “Untuk menjaga agar perceraian jangan terlalu mudah terjadi, dengan pertimbangan “maslahat mursalah” tidak ada keberatannya apabila diambil ketentuan dengan jalan undang-undang bahwa setiap perceraian apa pun bentuknya diharuskan melalui pengadilan”.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa penjatuhan talak di luar sidang pengadilan, mengingat berpotensi besar menimbulkan mudarat, harus dilarang dan dinyatakan tidak sah berdasarkan prinsip sadd az-zari’ah (menutup pintu yang membawa kemudaratan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian dianggap tidak sah jika dilakukan di luar sidang pengadilan. Dengan kata lain, perceraian belum terjadi meskipun suami sudah ada talak dari suami tetapi dilakukan di luar sidang pengadilan.

Hanya saja, suami tetap tidak boleh main-main atau bermudah-mudahan dalam hal pengucapan talak ini, karena talak merupakan salah satu hal yang tidak boleh diucapkan sembarangan atau secara main-main sebab antara main-main dan sungguh-sungguhnya adalah sama. Disebutkan dalam sebuah hadis,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) ia berkata; Rasulullah saw bersabda: Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya menjadi sungguh dan senda guraunya menjadi sungguh-sungguh; yaitu nikah, talaq dan rujuk. [H.R. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Menurut Ibnu Majah hadis ini adalah hasan garib].

Kemudian, apakah mantan istri yang telah diceraikan wajib memiliki surat cerai sebelum menikah lagi? Dalam hal ini, terdapat aturan yang tertera pada Pasal 8 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu, “Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak”. Berdasarkan Pasal 8 KHI tersebut, dapat diketahui bahwa seorang perempuan yang ingin menikah lagi setelah bercerai wajib menunjukkan surat cerai terlebih dahulu. Hal ini untuk menunjukkan status asli perempuan itu. Apakah benar dia sudah menjanda atau masih berstatus menjadi istri seseorang, sudah habis masa idahnya atau belum, dan lain sebagainya. Mengingat bahwa selama masa idah (talak raj’i) hubungan perkawinan belum sungguh-sungguh terputus karena sang suami masih mempunyai hak untuk rujuk pada istri tanpa melalui akad perkawinan dan selama masa idah itu juga jika salah satu dari suami atau istri meninggal masih saling mewarisi. Dengan adanya surat cerai tersebut, bisa dijadikan dasar perhitungan memulai masa idahnya. Adapun masa idah bagi talak raj’i adalah tiga kali quru’ sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 228,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَترَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قرُوءٍ

Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru'.

Adapun dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 (b) menyebutkan bahwa, “Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari”. Dalam KHI Pasal 153 ayat 2 (b) juga dinyatakan demikian. Oleh karena itu, semenjak habis masa idah itulah hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sudah benar-benar putus dan perempuan sebagai mantan istri diperbolehkan untuk menikah dengan laki-laki lain.

Pasal 8 Kompilasi Hukum Islam tersebut juga dikuatkan dengan Pasal 131 ayat 5 yang menyebutkan, “Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama”.

Meskipun kewajiban untuk membuat dan memiliki surat cerai ini memang sebenarnya tidak terdapat dalam literatur kitab-kitab fikih terdahulu, namun dengan adanya peraturan dalam KHI ini serta berdasarkan maslahah mursalah, maka keberadaan kewajiban pembuatan surat cerai dapat diterima dan dibenarkan.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan memberi pencerahan.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 23 Tahun 2021 dengan judul Perceraian Sah Jika Dilakukan di Depan Sidang Pengadilan Agama dan Kewajiban Adanya Surat Cerai


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Tanya Jawab Agama

Satu Sapi Untuk Lebih dari Tujuh Orang, Kurban atau Sedekah Biasa? Pertanyaan:  Assalamu &lsq....

Suara Muhammadiyah

31 May 2024

Tanya Jawab Agama

Pernikahan Anak Hasil Zina Pertanyaan: Setelah pernikahan anaknya lebih dari 5 tahun, ibu (mertua)....

Suara Muhammadiyah

4 October 2024

Tanya Jawab Agama

Hukum Jual Beli Tanah Bekas Kuburan Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wr. wb. Bolehkah membeli ....

Suara Muhammadiyah

29 August 2024

Tanya Jawab Agama

Ketentuan Shalat Saat Safar Dilakukan Berjamaah Bersama Imam Mukim Pertanyaan: Assalamu ‘ala....

Suara Muhammadiyah

27 December 2023

Tanya Jawab Agama

Guru Non Muslim Mengajar di Sekolah Muhammadiyah Tidak Berbusana Muslimah Pertanyaan: Assalamu &ls....

Suara Muhammadiyah

26 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah