Perdebatan Etika dalam Islam
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Saya hendak membahas etika dalam Islam, terutama terkait dengan isu eutanasia yang kian gencar dibahas dan dilegalkan di sejumlah negara, terutama di Eropa. Bagaimana sikap Islam terhadap isu yang relatif kontroversial ini, berbeda dengan agama Kristen dan Yahudi yang secara terang menggugat praktik eutanasia?
Dalam pandangan Islam, aksi menyudahi hidup seseorang secara aktif, seperti euthanasia, bukanlah prerogatif manusia. Keputusan tentang hidup dan mati sejatinya hak prerogatif Tuhan. Manusia tidak mempunyai otoritas untuk mengambil alih wewenang Allah dalam menentukan kesudahan hidup seseorang.
Namun demikian, Islam membedakan antara tindakan aktif menyudahi hidup dan aksi pasif semisal menyudahi pengobatan yang tidak lagu bermanfaat atau memberikan perawatan paliatif guna memperkecil penderitaan pasien yang sakit parah. Aksi pasif ini dibenarkan dalam prinsip-prinsip Islam, karena tidak ada kewajiban untuk melanjutkan pengobatan yang sia-sia dan tidak menyuguhkan asa kesembuhan buat pasien. Dalam konteks ini, menghentikan pengobatan yang tidak bermanfaat dinilai sebagai wujud penghormatan terhadap kehendak Tuhan dan pengakuan atas keterbatasan manusia dalam mengontrol kehidupan dan kematian.
Salah satu contoh dilema etika yang timbul adalah peristiwa bencana, seperti banjir yang menghancurkan fasilitas kesehatan. Tanpa listrik dan obat-obatan, belum lagi cuaca panas ekstrem, banyak pasien yang terancam meninggal karena dehidrasi, sebuah kematian yang sangat menyakitkan. Dalam situasi kritis ini, lahir pertanyaan etis: bolehkah memberikan obat penghilang rasa sakit yang berpotensi mempercepat kematian, dengan maksud mengurangi penderitaan pasien?
Meskipun dalam kasus individual, memberikan obat penghilang rasa sakit yang berpotensi mempercepat kematian pada pasien yang menderita sakit parah mungkin terlihat sebagai tindakan belas kasihan yang dapat dibenarkan, namun dalam konteks masyarakat yang lebih luas, tindakan ini dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat berbahaya. Apa yang awalnya dianggap sebagai tindakan untuk mengurangi penderitaan pasien dapat disalahgunakan dan diterapkan secara luas tanpa kontrol yang ketat.
Hal ini dapat mengarah pada normalisasi praktik eutanasia, bahkan dalam situasi di mana kondisi pasien tidak begitu parah atau prognosisnya tidak jelas. Akibatnya, batasan antara meredakan penderitaan dan mempercepat kematian menjadi kabur, dan nilai kehidupan manusia bisa terdegradasi. Keputusan mengakhiri hidup seseorang bisa diambil dengan mudah, tanpa pertimbangan yang matang dan tanpa memperhatikan nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi.
Bagaimana pandangan Islam mengenai legalisasi narkoba? Meskipun legalisasi mungkin terlihat sebagai solusi untuk mengurangi penyalahgunaan dan kekerasan terkait narkoba, Islam memiliki perspektif yang berbeda. Islam menolak gagasan bahwa sesuatu yang umum dilakukan otomatis menjadi benar atau dapat diterima.
Masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, karena itulah yang menjadi pembeda utama antara manusia dengan binatang. Manusia dianugerahi akal budi dan hati nurani yang memungkinkan kita untuk membedakan antara tindakan yang baik dan buruk, benar dan salah. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh binatang, yang hanya bertindak berdasarkan naluri dan dorongan biologis mereka.
Jika manusia hanya mengikuti keinginan dan kesenangan semata, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral dan etika, maka kita tidak akan berbeda dengan binatang yang hanya mengejar pemenuhan kebutuhan fisik semata. Manusia memiliki dimensi spiritual, moral, dan etika yang lebih tinggi, yang membedakan kita dari makhluk hidup lainnya. Prinsip-prinsip luhur inilah yang membimbing kita untuk mencapai kehidupan yang lebih bermakna, bermartabat, dan bermanfaat bagi sesama manusia serta lingkungan sekitar.
Namun, jika kita meninggalkan prinsip-prinsip moral dan hanya mengikuti naluri hewani, kita merendahkan diri menjadi makhluk yang tidak berbeda dengan binatang. Manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai luhur agar tidak terjerumus dalam tindakan yang merusak diri sendiri dan masyarakat.
Tantangan dalam menegakkan nilai-nilai moral juga sering muncul. Contohnya adalah isu prostitusi yang marak di beberapa negara Muslim. Argumen yang sering digunakan adalah sulitnya memberantas praktik ini karena menyangkut nasib para pelakunya. Namun, apakah argumen ini dapat diterima dalam perspektif Islam?
Dalam perspektif Islam, argumen yang menyatakan bahwa prostitusi tidak dapat diberantas karena alasan sosial dan ekonomi tidak dapat diterima. Islam memandang prostitusi sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap nilai-nilai moral yang luhur dan prinsip-prinsip agama yang fundamental, terutama terkait dengan larangan perzinahan yang sangat tegas. Oleh karena itu, upaya rehabilitasi bagi para pelaku prostitusi dan pemberantasan praktik ini secara menyeluruh merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam dan seluruh elemen masyarakat, meskipun mungkin membutuhkan pendekatan yang bertahap dan komprehensif untuk mengatasi akar permasalahan yang kompleks ini.
Islam tidak membenarkan sikap pasrah terhadap kemungkaran yang sudah mengakar, termasuk prostitusi. Sebaliknya, dibutuhkan upaya aktif dan berkelanjutan untuk memberantasnya, dengan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, tokoh agama, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat. Pendekatan ini harus mempertimbangkan solusi yang paling efektif dan realistis, termasuk rehabilitasi bagi para pekerja seks, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku perdagangan manusia, serta edukasi dan penyadaran masyarakat tentang bahaya prostitusi.