Peringatan Hari Anti Korupsi Bukan Hanya Sehari
Oleh: Royyan Mahmuda Al Arisyi Daulay, S.H.,M.H., Dosen Tutor Universitas Siber Muhammadiayh Yogyakarta & ASN Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
09 Desember adalah peringatan hari anti korupsi sedunia. Namun apabila melihat realitas saat ini bukankah peringatan hari Anti Korupsi hanya menjadi omong kosong penuh dusta, kepercayaan yang dikhianati, serta janti yang tak tertepati? Mengingat banyaknya tindakan koruptif yang dilakukan baik oleh kalangan swasta maupun birokrat.
Sudah bukan rahasia memang jika birokrasi identik dengan perilaku korupsi. Bahkan berbagai upaya reformasi telah banyak dilakukan, mulai dari rekruitmen yang transparan, mutasi jabatan yang terbuka bagi siapa saja hingga pembangunan zona integritas wilayah bebas korups (WBK)i dan wilayah bersih dan birokrasi melayani di setiap instansi pemerintah (WBBM).
Namun, nyatanya masih saja banyak ditemukan kasus korupsi di tubuh birokrasi. Ditangkapnya pejabat ataupun birokrat medioker oleh KPK merupakan buktinya bahwa korupsi harus direformasi. Maka muncul pertanyaan menggelitik, mengapa budaya korupsi masih merajai meski telah direformasi tanpa henti?. Atau jangan-jangan upaya reformasi masih sebatas pencitraan diri setiap instansi kepada publik. Apa mungkin slogannya jauhi korupsi, tetapi hati masih mengingkari. Entahlah, pasti korupsi adalah penyakit akut bagi Negeri ini.
Alasan Korupsi
Menurut beberapa penelitian, alasan tindakan korupsi masih dilakukan aparat birokrasi karena, pertama, korupsi terkait dengan kebutuhan atau tuntutan dari pemberi atau penyedia layanan. Sudah barang tentu tuntutan ini diperkuat dengan ancaman kerugian kepada pengguna jasa, seperti keterlambatan penyelesaian urusan, sanksi biaya atau dipersulit berbagai prosedurnya.
Kedua, imbalan yang didapatkan dari hasil korupsi atau suap biasanya tidak akan dikembalikan kepada lembaga pemerintah atau pihak pemberi suap. Ketiga, ketika subsidi pemerintah dapat dimanfaatkan untuk proyek-proyek publik, baik yang ditetapkan dengan penunjukan langsung maupun yang ditetapkan secara terbuka melalui tender.
Keempat, apabila bagian atau divisi tertentu dari birokrasi pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah tanpa adanya pengawasan eksternal dari luar birokrasi. Kelima, jika pemerintah membiarkan penggunaan pengaruh politik dan kedudukan seorang dalam proses penetapan pelaku bisnis swasta yang diperbolehkan memasuki industri publik tertentu, seperti pertambangan, televisi, dan jasa angkutan umum.
Keenam, kebijakan pemerintah yang membiarkan kontrak besar berisi pensyaratan-pensyaratan yang mudah dibelokkan dan menguntungkan para kontraktor swasta. Selain alasan sebagaimana penjelasan di atas, budaya korupsi birokrasi tidak bisa lepas dari budaya patronage yang telah mengakar kuat sejak dahulu kala.
Menurut James C. Scott (1972) budaya patronage adalah hubungan timbal balik antara dua orang (yang memiliki perbedaan status sosial ekonomi) yang dijalin secara khusus atau dengan dasar saling menguntungkan, serta saling memberi dan menerima, dimana status sosial yang lebih tinggi (patron) dengan adanya sumber daya yang dimiliki memberikan perlindungan serta keuntungan kepada orang dengan status sosial lebih rendah (klien).
Dalam konteks ini, birokrat adalah manifestasi dari patron yang memiliki status dan kewenangan lebih tinggi. Sedangkan publik adalah klien yang dirasa lebih rendah daripada birokrat. Pemahaman seperti inilah yang membuat para birokrat kita semena-mena dalam pelayanan kepada masyarakat. Padahal adanya birokrasi adalah cara negara melayani rakyatnya untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian.
Zona Integritas
Maka, saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya untuk mencanangkan pembangunan zona integritas di setiap instansi, baik pusat maupun daerah. Karena ini adalah langkah kongkrit yang bisa mengurangi penyimpanan pelayanan dan menekan perilaku korupsi yang sudah merajalela. Paling tidak ada enam area perubahan yang menjadi sasaran utama.
Pertama, Manajemen perubahan bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan konsisten mekanisme kerja, pola pikir (mind set), serta budaya kerja (culture set) individu pada unit kerja yang dibangun, menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan zona integritas.
Kedua, Penataan tatalaksana bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem, proses, dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, dan terukur pada Zona Integritas Menuju WBK/WBBM. Ketiga, Penataan sistem manajemen SDM aparatur bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme SDM aparatur pada Zona Integritas Menuju WBK/WBBM.
Keempat, Akuntabilitas kinerja adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan program dan kegiatan dalam mencapai misi dan tujuan organisasi. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
Kelima, Penguatan pengawasan bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada masing-masing instansi pemerintah. Keenam, Peningkatan kualitas pelayanan publik merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas dan inovasi pelayanan publik pada masing-masing instansi pemerintah secara berkala sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat.
Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik dilakukan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pelayanan publik dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menjadikan keluhan masyarakat sebagai sarana untuk melakukan perbaikan pelayanan publik.
Memang ini bukanlah jaminan akan lenyapnya korupsi dari negeri ini. Namun paling tidak ada upaya nyata untuk menghentikan maraknya budaya korup yang melanda. Asalkan semua itu didasarkan pada komitmen kuat, bukan sekadar retorika semata. Atau bahkan pencitraan akan eksistensi penguasa.