Ketika Para Ibu Sudah Turun ke Jalan

Publish

30 March 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
450
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ketika Para Ibu Sudah Turun ke Jalan  

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Anggota AJI Jakarta Biro Banten  

Pada tahun 1997, kekuasaan Soeharto tengah memasuki babak pamungkas. Aksi demonstrasi mahasiswa dan warga yang merasa semakin tidak lagi percaya kepada pemerintah mulai meluas. Meskipun saat itu aksi unjuk rasa akan dianggap sebagai tindakan makar, aparat keamanan tidak segan bertindak represif terhadap para pelakunya. Namun demikian, kekuatan para pendemo tidak pernah surut. Saat itu juga terjadi peristiwa PEMILU 1997, di mana mulai muncul bibit perlawanan dari para simpatisan PPP dan PDI terhadap dominasi Golkar.

Aspirasi warga yang diredam dengan sangat keras oleh aparat tidak sepenuhnya mampu membungkam perlawanan tersebut. Kebebasan pers sangat dibatasi. Jika ada yang membangkang, pasti akan dibredel. Pada 21 Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto membredel majalah Tempo, tabloid Editor, dan Detik, karena dianggap memberitakan kabar yang mengusik kekuasaan rezim Orde Baru.

Tekanan keras dari rezim Soeharto semakin menguat. Aksi penculikan, penangkapan dengan kekerasan, dan pemenjaraan terhadap mereka yang dianggap melawan pemerintah terus terjadi. Rumah tahanan banyak diisi oleh para pembangkang yang mereka sebut sebagai tahanan politik. Semakin keras tekanan pemerintah, semakin keras pula perlawanan yang muncul dari berbagai elemen warga. Alih-alih tekanan itu bisa membungkam, justru menumbuhkan kekuatan dan solidaritas antar mereka.

Pada tahun 1997 itu pula, situasi ekonomi Indonesia terus memburuk hingga terjadi krisis. Dampaknya luar biasa: harga kebutuhan pokok naik melambung, kerusuhan kerap terjadi. Harga susu untuk anak-anak melonjak hingga 400%. Kenaikan harga juga diikuti oleh langkanya beberapa jenis barang, seperti minyak goreng, gandum, hingga beras. Dampak sosial yang timbul juga semakin kompleks. Warga mulai resah, kegentingan mulai muncul di beberapa tempat.

Situasi ekonomi dan politik yang terus memburuk itu mencapai puncaknya pada kerusuhan massal di tahun 1998. Kekuatan Pemerintah Orde Baru yang dipersepsi tangguh itu ternyata sebaliknya, mereka lemah dan rapuh, hingga akhirnya tumbang setelah 32 tahun berkuasa.

Kebangkitan Kaum Ibu

Situasi negara yang limbung itu telah menggerakkan hati nurani kaum ibu untuk bangkit menyuarakan protes atas segala tindak kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Mereka juga menilai bahwa pemerintah telah gagal mengatasi masalah krisis ekonomi yang ditandai dengan naiknya harga-harga bahan pokok dan meluasnya kemiskinan.

Ketika itu, saya sudah bergabung di WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Ia menjadi salah satu markas yang sering dijadikan wahana konsolidasi antar mahasiswa, aktivis, dan warga yang terus mengobarkan perlawanan terhadap Orde Baru. Saya akhirnya bisa mengenal beberapa nama para penggerak Gerakan Perempuan Indonesia, antara lain: Myra Diarsi, Julia Suryakusuma, Robin Bush, Yuniyanti Chuzaifah, Tati Krisnawaty, Salma Safitri, Gadis Arivia, Karlina Supeli, Dina, Agung Putri, Riga Adiwongso, Toeti Heraty Noerhadi, Gayatri, Nursjahbani Kacasungkana, Ita F. Nadia, Kartini Sjahrir, Emmy Hafild, dan lainnya.

Suatu ketika, mereka bersepakat untuk melakukan aksi demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia. "Suara Ibu Peduli" (SIP) adalah nama yang mereka pilih. Awalnya, mereka memprotes kelangkaan susu dan bahan makanan pokok. Segala risiko yang akan diterima sudah diperhitungkan dengan matang, termasuk risiko kekerasan dan aksi tembak di tempat. Ketika itu, santer beredar rumor bahwa akan diberlakukan siaga satu, yaitu tembak di tempat bagi para pendemo.

Betul saja, saat melakukan aksi di Bundaran HI pada 23 Februari 1998, aparat bertindak cepat. Mereka menangkap tiga perempuan: Karlina Supeli, Gadis Arivia, dan Wiwil, lalu langsung mengangkutnya ke atas truk. Mereka digelandang ke kantor polisi dan ditahan selama satu malam. Ketiganya diinterogasi dan dicurigai telah "ditunggangi" oleh kaum oposisi. Entah siapa yang dimaksud dengan kaum oposisi pada saat itu. Mereka ditekan dengan pertanyaan: apakah mereka berkiblat pada ideologi komunis?

Ketiganya disidang di pengadilan pada 4 Maret. Tidak ada kata takut ataupun mundur. Mereka tegar dan siap menyampaikan pledoi. Meski akhirnya hakim menyatakan ketiganya bersalah, melanggar Pasal 510 KUHP tentang arak-arakan, dan didenda Rp 2.250,- atau kurungan 2 minggu. Keputusan hakim ditolak dengan tegas. Sayang, sidang selanjutnya tidak pernah terjadi karena Soeharto berhenti pada tanggal 21 Mei dan perkara tidak dilanjutkan.

Bisa dibayangkan betapa beraninya para ibu-ibu tersebut saat melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru yang kejam. Tekanan mental saat proses interogasi tidak menyurutkan keberanian mereka. Mereka dituduh bagian dari Gerakan Komunis. Tuduhan itu menandakan kegagapan aparat dalam membaca peta gerakan dan latar belakang para perempuan yang mereka tangkap.

Gerakan Ibu yang Kembali Bangkit

Jumat, 28 Maret 2025 lalu, para ibu-ibu dan mahasiswa kompak hadir mengenakan pakaian putih untuk berorasi melawan tindakan represif aparat terhadap anak bangsa yang menolak UU TNI. Sejumlah perempuan dari berbagai organisasi dan komunitas berkumpul di depan Sarinah, Jakarta Pusat. Mereka tergerak untuk menyuarakan protes atas berbagai peristiwa kekerasan yang kerap dilakukan oleh aparat dalam menangani aksi demonstrasi.

Mereka juga meminta agar Undang-Undang TNI dibatalkan. Mereka yakin gerakan ini akan meluas di berbagai daerah seperti Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Tekad mereka sama, yaitu melawan setiap aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat di era rezim Prabowo Subianto yang dinilai akan melegalkan kembalinya dwifungsi militer. Suara Ibu Indonesia tidak akan berhenti pada aksi demonstrasi. Mereka akan terus mengawal kebijakan yang berlawanan dengan agenda reformasi.

Pesan Penting 

Presiden Prabowo sebaiknya tidak mengabaikan tuntutan yang disampaikan oleh Gerakan Ibu-Ibu Peduli Indonesia ini. Pengabaian rezim Orde Baru yang pernah terjadi pada tahun 1998 hendaknya tidak terulang. Mengabaikan suara ibu-ibu dalam aksi demonstrasi justru akan sangat merugikan. 

Spirit dan nilai yang diperjuangkan oleh para ibu-ibu yang tergabung dalam Gerakan Suara Ibu Peduli di tahun 1997 dan Gerakan Suara Ibu Indonesia yang muncul saat ini memiliki bobot pesan dan nilai kemanusiaan yang sama. Pesan itu muncul dari kalangan ibu-ibu terdidik, cerdik pandai yang memiliki integritas. Tuntutan itu muncul dari kepekaan batin serta keprihatinan yang begitu dalam sebagai seorang ibu. Kepekaan batin apa yang bisa melebihi kepekaan seorang ibu terhadap anaknya? Begitulah gerakan itu lahir, baik di saat krisis ekonomi tahun 1997 maupun di era Indonesia gelap saat ini.

Tuntutan keprihatinan itu tidak muncul dari suara ibu-ibu sosialita yang gemar memamerkan kemewahan dari uang hasil korupsi suami. Gerakan itu muncul dari keprihatinan yang begitu dalam akibat luka dan tangis seorang ibu yang menyaksikan perilaku kekerasan terhadap anak bangsa. Mengabaikan peringatan seorang ibu, sama dengan menggali lubang kesengsaraan yang akan sangat dalam.

Ketika para ibu sudah turun ke jalan, itu bisa menjadi pertanda bahwa kita sedang berada pada fase kedaruratan yang cukup serius untuk segera ditangani. Mari kita sama-sama waspada.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Losing My Religion: Mengapa Generasi Muda Kehilangan Iman? Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu....

Suara Muhammadiyah

1 January 2025

Wawasan

Dinamika Gerakan Merintis AUM di Bidang Pendidikan Oleh: Noval Sahnitri, Ketua Bidang KDI PW IPM La....

Suara Muhammadiyah

25 January 2025

Wawasan

Jangan Biarkan Israel Hancurkan RS Indonesia di Gaza (29 November, Hari Solidaritas Terhadap Rakyat....

Suara Muhammadiyah

8 December 2023

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Kaluarga Sakinah (8)  Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiyana Saputra ....

Suara Muhammadiyah

26 October 2023

Wawasan

Kinerja Perbankan Syariah Relatif Lebih Menjanjikan Dibandingkan Perbankan Konvensional Oleh: Yadi ....

Suara Muhammadiyah

13 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah