Perspektif Kontemporer tentang Hukum Waris
Oleh; Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Kita masih membahas ayat-ayat Al-Qur`an yang sering disalahpahami, baik secara historis maupun saat ini. Kali ini, fokus kita adalah Surah An-Nisa ayat 11 yang berbunyi, "Mengenai (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, Allah memerintahkan supaya bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
Ayat ini sering disalahpahami sebagai aturan baku bahwa pria selalu mendapatkan warisan dua kali lipat dari wanita. Padahal, ayat tersebut sebenarnya mengatur pembagian warisan dalam kasus-kasus umum, di mana anak laki-laki memang mendapatkan dua bagian
dibandingkan anak perempuan.
Para ulama telah mengkaji berbagai skenario pembagian warisan yang lebih kompleks, dan ternyata ada kasus-kasus di mana seorang wanita bisa mendapatkan warisan lebih banyak daripada pria yang setara dengannya. Namun, kasus-kasus tersebut cenderung jarang terjadi dan tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur`an. Ayat 11 dan 12 dari Surah An-Nisa lebih fokus pada aturan umum pembagian warisan, di mana anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari anak perempuan.
Kesalahpahaman muncul karena banyak yang menganggap ayat ini sebagai aturan mutlak dan abadi. Mereka berpikir, karena ini tertulis dalam Al-Qur`an, firman Tuhan yang kekal, maka harus diterapkan secara harfiah sepanjang masa, hingga akhir zaman.
Bahkan, sejumlah ulama Muslim pun terjebak dalam pemahaman yang sama, menganggap bahwa karena begitulah bunyi ayatnya, maka harus ditafsirkan secara literal dan diterapkan tanpa pengecualian.
Namun, kita perlu memahami bahwa meskipun Al-Qur`an adalah pedoman abadi, cara penerapan ayat-ayatnya bisa berbeda-beda tergantung konteks dan zaman. Umat Muslim pada umumnya mungkin tidak menyadari hal ini, tetapi para ulama memahami bahwa tidak semua ayat Al-Qur`an harus dipahami secara harfiah.
Ada ayat-ayat yang membutuhkan interpretasi dan penerapan yang fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pada suatu masa. Inilah yang disebut dengan ijtihad, yaitu upaya sungguh-sungguh para ulama dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan perkembangan zaman.
Banyak ayat dalam Al-Qur`an yang tidak bisa dipahami secara harfiah. Para ulama sepakat bahwa interpretasi dan penerapan hukum-hukum Islam harus mempertimbangkan konteks dan perubahan zaman. Dengan kata lain, meskipun Al-Qur`an adalah pedoman abadi, cara kita memahaminya harus fleksibel dan adaptif.
Pada masa turunnya Al-Qur`an, hukum-hukum yang ditetapkan sesuai dengan kondisi sosial saat itu. Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan keadaan, penyesuaian atau reinterpretasi terhadap hukum-hukum tersebut mungkin diperlukan.
Dalam konteks ayat tentang warisan, kita perlu memahami bahwa pada masa itu, perempuan umumnya tidak memiliki kekuasaan dan hak yang sama dengan laki-laki. Aturan pembagian warisan yang memberikan porsi lebih besar kepada laki-laki mencerminkan realitas sosial tersebut.
Namun, dunia telah berubah. Meskipun ketidaksetaraan gender masih ada, secara konseptual kita bergerak menuju masyarakat yang lebih egaliter, di mana perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang setara dengan laki-laki. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meninjau kembali interpretasi dan penerapan hukum-hukum Islam, termasuk hukum waris, agar sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan di zaman modern.
Di masa lalu, ketika Al-Qur`an diturunkan, peran gender sangat berbeda dengan zaman sekarang. Laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama, bertanggung jawab atas kesejahteraan istri, ibu, anak perempuan, keponakan perempuan, dan bibi mereka. Bahkan
jika seorang wanita memiliki harta sendiri, laki-laki tetap berkewajiban memastikan kebutuhannya terpenuhi karena mereka dianggap sebagai pelindung dan penanggung jawab.
Oleh karena itu, dalam konteks pembagian warisan, laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari wanita. Ini bukan semata-mata karena diskriminasi gender, tetapi juga karena laki-laki diharapkan menggunakan sebagian warisannya untuk mendukung kerabat perempuannya yang juga berhak atas warisan tersebut. Misalnya, jika seorang saudara laki-laki dan perempuan mewarisi harta orang tua mereka, saudara laki-laki mendapatkan dua bagian sementara saudara perempuan mendapatkan satu bagian. Namun, saudara laki-laki tersebut diharapkan menggunakan sebagian warisannya untuk membantu memenuhi kebutuhan saudara perempuannya.
Selain itu, laki-laki juga memiliki tanggung jawab tambahan dalam hal pernikahan dan keluarga. Mereka harus membiayai istri dan anak-anak mereka. Sementara itu, jika seorang wanita memiliki harta sendiri, tanggung jawab untuk membiayai anak-anaknya tetap berada
di pundak suaminya.
Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, pembagian warisan yang memberikan porsi lebih besar kepada laki-laki dianggap adil pada masa itu. Namun, penting untuk diingat bahwa konteks sosial dan ekonomi telah berubah secara signifikan sejak saat itu. Tentu saja, pembagian warisan yang tidak setara ini mempertahankan dinamika kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan pada masa itu. Namun, Al-Qur`an tetap membawa kemajuan signifikan dibandingkan kitab suci sebelumnya, di mana perempuan umumnya tidak memiliki hak waris sama sekali.
Dalam kitab suci sebelumnya, ada kisah tentang putri-putri Zelophehad yang memohon kepada Musa agar diizinkan mewarisi harta ayah mereka karena tidak memiliki saudara laki-laki. Musa kemudian berkonsultasi dengan Tuhan dan mengabulkan permintaan mereka, dengan syarat mereka tidak menikah di luar suku mereka. Hal ini menunjukkan kekhawatiran akan hilangnya kekayaan suku jika perempuan menikah dengan pria dari suku lain.
Al-Qur`an diturunkan dalam konteks sosial yang masih dipengaruhi oleh pandangan-pandangan kuno tersebut. Oleh karena itu, aturan pembagian warisan yang memberikan porsi lebih besar kepada laki-laki dapat dipahami sebagai upaya untuk mengakomodasi realitas
sosial saat itu.
Namun, dunia telah berubah. Kini, perempuan semakin diberdayakan dan memiliki akses yang lebih luas terhadap pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan harta. Mereka tidak lagi hanya bergantung pada laki-laki untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, perempuan mungkin memiliki penghasilan yang lebih tinggi daripada pasangan mereka.
Dalam konteks masyarakat modern yang lebih egaliter ini, aturan pembagian warisan yang tidak setara tersebut perlu ditinjau kembali. Kita perlu mencari interpretasi dan penerapan hukum waris yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan gender.
Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki menjalankan peran sebagai pelindung dan pencari nafkah bagi perempuan dalam keluarga mereka. Bahkan dalam masyarakat Muslim, meskipun secara teori laki-laki memiliki tanggung jawab tersebut, kenyataannya seringkali berbeda.
Meskipun para ulama di masjid mungkin mengingatkan laki-laki tentang kewajiban mereka terhadap perempuan, praktiknya di rumah bisa jadi jauh dari ideal. Banyak perempuan yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, bahkan mungkin menjadi tulang punggung keluarga.
Dengan perubahan kondisi sosial dan ekonomi yang signifikan ini, sudah saatnya para ulama Muslim meninjau kembali interpretasi dan penerapan hukum-hukum terkait, termasuk hukum waris. Meskipun Al-Qur`an adalah pedoman abadi, kita perlu memahami bahwa beberapa ayatnya mungkin terikat pada konteks zaman tertentu.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menerapkan ajaran Al-Qur`an dengan cara yang tetap menjaga semangat keadilan dan kesetaraan, terutama bagi perempuan, di era modern ini. Terkadang, ini berarti kita perlu melakukan modifikasi atau penyesuaian terhadap hukum-hukum yang ada, agar tetap relevan dan adil bagi semua pihak.