JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Dalam rangka Peringatan Hari Ibu 2023, PSIPP atau Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta menggelar diskusi yang bertajuk “Kampusku Kampus Inklusif, Bebas Kekerasan Seksual, Islami dan DKM Baitul Izzah untuk Dana Korban,” pada Selasa (5/12) di ruangan Sjahrir Nurut yang juga disiarkan secara daring. Kegiatan ini menandai dibukanya Pekan Agama dan Perempaun yang akan dihelat selama tujuh hari di berbagai daerah di Indonesia.
Ketua PSIPP ITB-AD Jakarta Yulianti Muthmainnah dalam laporannya menyampaikan tentang bagaimana peran nyata PSIPP dalam mengadvokasi berbagai persoalan kekerasan seksual selama ini. Meskipun berbasis di kampus, kata Yulianti, namun PSIPP turut terlibat aktif dalam mendorong Kota Tangerang Selatan untuk mengoptimalkan dana zakat bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Dalam sambutannya sekaligus membuka acara, Rektor ITB-AD Jakarta Yayat Sujatna mengapresiasi agenda yang diinisiasi oleh PSIPP ini. Ia menilai PSIPP di bawah komando Yulianti telah memberikan warna baru bagi kampus terutama dalam rangka advokasi dan kajian tentang isu-isu perempuan.
“Atas nama pimpinan ITB Ahmad Dahlan Jakarta, kami menyambut baik acara ini. Insya Allah di enam tempat berikutnya, juga acara ini dapat berjalan dengan lancar dan tujuan serta targetnya tercapai sesuai dengan apa yang kita harapkan bersama,” ujar Rektor ITB-AD Jakarta.
Nur Dewi Natrini dalam paparannya mengatakan bahwa terjadinya kasus kekerasan seksual tidak bisa hanya semata-mata dilihat dengan menggunakan rumus matematika. Dalam pengamatannya, sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa kekerasan seksual terjadi karena si korban memakai pakaian yang kurang sopan.
“Tidak ada hubungannya antara kekerasan seksual dengan baju/pakaian. Sebab, 95% kasus kekerasan seksual yang kita (Kemendikbud) tangani, 100% bajunya sopan.” tegas Auditor Pertama Inspektorat Investigasi ini.
Menurutnya, persoalan kekerasan adalah hal yang kompleks. Di lingkungan kampus, sambung Dewi, titik-titik rawan harus menjadi perhatian tidak hanya oleh pimpinan kampus, tetapi juga segenap warga kampus. Ia menyebut terdapat beberapa titik rawan di kampus yang kerap menjadi lokasi terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual, yang di antaranya: laboratorium, lokasi kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, saat atau tempat bimbingan (penelitian, pengabdian, dan sejenisnya), asrama, dan sebagainya.
“Pahami titik rawannya untuk memitigasi risiko. Kalau kita mengenali titik rawan, kita bisa tahu kebijakan apa yang nantinya akan diambil. Bahwa perguruan tinggi yang tidak melakukan penanganan kekerasan seksual maupun dia tidak melakukan pencegahan, maka akan dilakukan sanksi, yaitu penghentian bantuan keuangan dan penurunan tingkat akreditasi,” bebernya.
Dalam konteks pendidikan inklusif, Roos Diana Iskandar mengungkapkan bahwa ada empat ragam jenis disabilitas, yakni fisik, intelektual, mental, dan sensorik. Menurutnya, seseorang dapat mengalami disabilitas ganda atau disabilitasnya lebih dari satu jenis. Dengan kata lain, para penyandang disabilitas termasuk ke dalam kelompok yang rentan mengalami tindakan kekerasan.
“Kondisi penyandang disabilitas di Indonesia itu diperkirakan hampir 23 juta orang. Itu paling banyak adalah disabilitas sensorik. Kekerasan yang berbasis gender terhadap perempuan dengan disabilitas, itu konon kabarnya dari data UNFPA itu bahwa perempuan disabilitas itu 10 kali lebih rentan mengalami kekerasan berbasis gender.” ujar Asdep Pemberdayaan Disabilitas dan Lanjut Usia Kemenko PMK ini.
“Kita penting untuk berupaya mewujudkan hak dan keadilan bagi penyandang disabilitas termasuk dalam layanan pendidikan. Hal ini bukan semata-mata karena keharusan atau amanat dari peraturan perundang-undangan yang ada, melainkan juga kewajiban keagamaan dan kemanusiaan. Jadi, perguruan tinggi inklusif itu harus memaknai bahwa kampus itu memberikan akses pada masing-masing orang untuk dapat menghadiri, mengikuti, berpartisipasi, dan berprestasi di tempat dia menjalani pendidikan tanpa diskriminasi sekaligus aksesnya juga tersedia,” sambungnya.
Adapun Sarli Amri selaku Kepala AIK ITB Ahmad Dahlan Jakarta memberikan penekanan dari sudut pandang Islam terkait zakat untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menurutnya, pemahaman terhadap istilah kunci dalam zakat seperti riqab dan fakir mesti dimaknai secara kontekstual. Dengan pemaknaan semacam itu, lanjutnya, maka korban kekerasan termasuk ke dalam kelompok penerima zakat.
“Pentingnya melakukan suatu ijtihad yang segar atau fresh ijtihad terhadap Al-Qur’an. Dengan fresh ijitihad, maka riqab mengalami perluasan atau perkembangan makna yang kontekstual dengan mereka yang menjadi korban kekerasan seksual,” ujarnya.
Sarli menilai bahwa setiap hukum atau sanksi yang diberikan dalam Islam bertujuan dan bermuara pada prinsip Al-Ma’un, yakni pembebasan dan keberpihakan kepada kaum yang terpinggir atau mustad’afin.
Acara ini diakhiri dengan penyerahan SK Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau Satgas PPKS oleh Yayat Sujatna selaku Rektor kepada Satgas PPKS ITB Ahmad Dahlan Jakarta.