JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Irwan Akib mengatakan, ‘Aisyiyah sendiri hadir pada 19 Mei 1917 diawali dengan pengajian Sopo Tresno pada tahun 1914, pengajian khusus perempuan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Melalui pengajian ini, sambung Irwan, merupakan manifestasi dari pemberdayaan pendidikan.
“Menurut saya Kiai Ahmad Dahlan melihat bahwa sesungguhnya melalui pendidikan inilah perempuan akan bangkit, perempuan akan berdaya. Dan ketika perempuan bangkit, maka Indonesia akan bangkit,” jelasnya saat Seminar Peluncuran Gerakan Sejuta Guru TalentDNA” PP Aisyiyah bersama Majelis Dikdasmen dan PNF PP Muhammadiyah, Selasa (20/5) di Menara 165 TB Simatupang, Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Melihat sarat kesejarahan tinggi, Irwan mengusulkan agar 19 Mei dijadikan sebagai hari kebangkitan perempuan. “Saya kemarin menyampaikan ke Bu Ketum ‘Aisyiyah (Salmah Orbayyinah), harusnya dijadikan 19 Mei sebagai Hari Kebangkitan Perempuan. Ini harus diperjuangkan,” tegasnya.
Irwan menyingkap, pengusulan itu bukan retorika semata. Tetapi fakta sejarah terlukis secara jelas. Bahwa pergerakkan ‘Aisyiyah sampai hari ini tidak pernah berhenti berkiprah untuk kepentingan bangsa, negara, dan kemanusiaan secara universal.
“Aisyiyah sejak 1917 sampai hari ini Insyaallah sampai ke depan itu, akan terus berkiprah untuk kepentingan perjuangan perempuan, perjuangan bangsa, negara, dan terus hadir mendidik anak-anak kita,” bebernya.
‘Aisyiyah mendidik lewat pelayanan pendidikan dengan mendirikan 20.000 lebih lembaga pendidikan anak-anak (PAUD). “Dasar pendidikan kita ada di PAUD,” katanya. Irwan sangat takjub dengan ‘Aisyiyah yang bergerak dalam dakwah lewat layanan pendidikan, termasuk juga di dalamnya layanan kesehatan.
“Kalau ‘Aisyiyah tidak hadir dengan 20.000 PAUD, tidak tahu bagaimana medidik anak-anak kita. Pemerintah tidak sanggup mengurus semuanya, maka ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah hadir di tempat-tempat Pemerintah belum hadir di situ,” sebutnya.
Guru Besar Pendidikan Ilmu Matematika Universitas Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan ini mendorong dengan basis utama pendidikan ada di PAUD, maka perlu diperkuat. Kalau bisa, dikembangkan lebih baik dan maksimal lagi.
“Kalau TK/PAUD lumayan sudah bagus, dasarnya bagus, kemudian SD bagus, Insyaallah perguruan tinggi (menjadi mahasiswa) aman. Tapi kalau dari bawahnya sudah rusak, mau di apakan juga (tidak akan berpengaruh),” ungkapnya.
Di situlah letak dari perjuangan guru. Guru PAUD, lebih-lebih, sebut Irwan, jauh berat daripada guru-guru yang lain. Karena mendidik anak-anak usia dini jelas memerlukan energi dan kesabaran tinggi, termasuk juga keterampilan khusus agar proses mendidiknya bisa berhasil.
“Guru TK semuanya diurus. Pokoknya diurusi semua. Betapa sabarnya guru-guru PAUD itu. Kita harus memperjuangkan bagaimana guru PAUD ini tidak dihitung sebagai pendidikan non-formal. Saya kira ini yang perlu kita perjuangkan bersama-sama,” tandasnya. (Cris)