PIYUNGAN, Suara Muhammadiyah - Dunia semakin berubah. Pelbagai temuan teknologi bermunculan dengan aneka bentuk dan motifnya. Hal itu menjadi jalan kemudahan bagi kehidupan manusia modern. Oleh karenanya, perlu adanya paradigma baru dalam merespons perubahan yang kian tak terbendung ini.
“Paradigma merupakan realitas sosial yang dikonstruksi oleh cara pandang atau rasa ingin tahu yang tinggi, yang pada gilirannya akan menghasilkan cara mengetahui tertentu,” ujar Dewan Syariah Majelis Pendayagunaan Wakaf Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ari Anshori, Rabu (11/12) di Karangploso, Sitimulyo, Piyungan, Bantul.
Untuk menemukan cara pandang tersebut, kata Ari, manusia perlu mengembangkan jalan hidup yang seimbang (tawazun). Yakni jalan hidup dunia dan akhirat yang sedemikian rupa mesti ada batasannya dan tidak boleh berlebihan.
“Orang Muhammadiyah boleh kaya, tapi tidak boleh berlebihan terhadap dunia. Dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama tanpa melalaikan tanggung jawab duniawi,” tuturnya.
Ari mengingatkan, kehidupan duniawi sangat singkat. Paradigma yang mesti dihadirkan di sini dengan menempatkan dunia sebagai sarana, bukan tujuan. Namun, menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, yakni kehidupan yang hakiki.
“Manusia waktu di dunia begitu singkat apabila dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal. Jadi hidup manusia 1 jam di akhirat sama 1000 tahun di dunia. Oleh karena itu, tidak boleh main-main," tegasnya.
Selama hidup di dunia, manusia harus memenuhi amanah atau tujuan hidup sebaik-baiknya. “Tujuan hidup manusia adalah diarahkan untuk beribadah kepada Allah SWT,” katanya. Karena hal itu kemudian akan dimintai tanggung jawabnya di akhirat kelak. “Setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah,” sambungnya.
Di situlah peranan para mubaligh di dalam memberikan pencerahan kepada umat. Mubaligh dalam melaksanakan dakwah jangan hanya sekadar monoton dan kaku. Dakwahnya harus mengembangkan inovasi. Salah satu yang telah dilakukan dengan mengejawantahkan Pengajian Sabilu al-Dar al-Muqaamati.
“Program ini memanfaatkan content creator media sosial seperti tiktok, instagram, facebook, dan lain-lain. Sehingga dakwah yang dihasilkan menjadi efektif dan inklusif,” tutupnya. (Cris/Jan)