Pertentangan antara Dekolonisasi dan Modernisasi

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
405
KKB #1

KKB #1

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Belakangan ini dekolonisasi menjadi topik yang lumayan banyak diperbincangkan oleh kalangan akademisi, baik mereka yang berlatar belakang studi Islam, ilmu sosial humaniora, atau bahkan sains terapan. Dari bangku perkuliahan, gagasan ini kemudian menjelma sebuah gerakan intelektual yang sedikitnya memiliki dua tujuan utama. Pertama, meruntuhkan hegemoni universalisme dan monopoli epistimologis Barat. Kedua, memulihkan pengetahuan  pra kolonial yang tertimbun. 

Rofiq Muzakkir dalam acara bertajuk KKB (Klub Kajian Buku) Mazhab Ciputat menjelaskan bahwa dekolonisasi merupakan perlawanan terhadap segala bentuk manifestasi penjajahan epistemik. Penjajahan yang ia maksud bukan sekedar dalam aspek teritori politik dan ekonomi semata. Namun juga meluas ke ranah budaya dan pengetahuan. 

Bentuk keterjajahan umat Islam hari ini menurut Dosen UMY itu salah satunya tercermin dari anggapan bahwa penelitian yang ilmiah hanya datang dari jurnal yang diterbitkan oleh sarjana-sarjana Barat. Sedangkan penelitian yang diterbitkan oleh sarjana Muslim mereka anggap kurang kredibel. 

Maka tidak heran jika banyak dari kalangan sarjana Muslim yang kemudian merujuk kepada sarjana Barat dalam memandang Islam. Dengan merujuk ke Barat, seolah mereka telah menjadi modern. 

“Cara pandang kolonial yang sering menyelinap di pemikiran banyak sarjana Muslim adalah, semua akan menjadi Barat pada waktunya. Ini cukup mengganggu saya,” ungkap Rofiq dalam meeting zoom yang diikuti 100 peserta dari berbagai wilayah (5/8). 

Dalam hal ini Rafiq mencoba menghadirkan dua argumentasi berbeda dari dua tokoh penting dalam studi hukum Islam kontemporer. Keduanya adalah Wael Hallaq dan Khaled Abou El Fadl, yang mana keduanya memiliki pandangan berbeda mengenai medernisasi. 

Hallaq memandang modernisasi sebagai sesuatu yang merusak serta melumpuhkan hukum Islam. Sehingga melakukan pembaruan hukum Islam sama artinya dengan membaratkan hukum Islam. Ia pun memandang bahwa fikih tradisional bersifat tsawabit (prinsip ajaran Islam yang bersifat tetap, kokoh, dan tidak berubah oleh waktu dan kondisi). 

Berbeda dengan Hallaq, Abou El Fadl lebih terbuka terhadap gagasan reinterpretasi dan adaptasi hukum Islam dalam konteks modern. Menurutnya reformasi adalah gagasan yang genuin dari tradisi intelektual Islam. Karena baginya fikih terus mengalami perubahan seiring waktu dan kondisi zaman. (diko)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

SEMARANG, Suara Muhammadiyah – Perjalanan mudik sejauh 750 kilometer dari Tangerang menuju Ked....

Suara Muhammadiyah

30 March 2025

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (Uhamka) menggelar Pekan Ta'a....

Suara Muhammadiyah

15 September 2025

Berita

TUBABA, Suara Muhammadiyah - Kebanggaan besar dirasakan oleh keluarga besar SMK Muhammadiyah Tumijaj....

Suara Muhammadiyah

20 August 2025

Berita

Edukasi Olahan Pangan Berbasis B2SA  KUDUS, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Daerah ‘....

Suara Muhammadiyah

31 August 2025

Berita

KUDUS, Suara Muhammadiyah - Universitas Muhammadiyah Kudus(UMKU) menyalurkan ZIS (Zakat, Infaq, Shod....

Suara Muhammadiyah

6 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah