YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Populasi anggrek endemik Gunung Merapi, Vanda tricolor, kian terancam. Ancaman ini tidak hanya datang dari aktivitas erupsi gunung yang terjadi secara berulang, tetapi juga dari ulah oknum yang mengeksploitasi keindahan bunga tersebut secara tidak bertanggung jawab. Akibatnya, habitat alami anggrek rusak dan populasinya menurun drastis. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin tanaman hias dengan ciri khas tiga gradasi warna ini akan mengalami kepunahan.
Merespons fenomena tersebut, dosen Program Studi Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Innaka Ageng Rineksane, S.P., M.P., Ph.D., mengembangkan metode percepatan pertumbuhan Vanda tricolor melalui inovasi kultur jaringan berbasis bahan alami.
“Vanda tricolor merupakan anggrek endemik Merapi yang memiliki kombinasi warna putih, ungu, dan merah kekuningan, serta aroma harum yang khas. Sayangnya, habitatnya terus menyusut karena dampak erupsi dan eksploitasi manusia,” ujar Innaka saat ditemui Humas UMY di Laboratorium Kultur In Vitro Program Studi Agroteknologi, Senin (23/3).
Pertumbuhan Vanda tricolor secara alami tergolong lambat. Anggrek ini umumnya berkembang biak hanya melalui biji yang jatuh atau tunas anakan. Sebagai langkah konservasi, Innaka memanfaatkan teknik kultur jaringan untuk memperbanyak anggrek secara ex-situ, yakni di luar habitat aslinya. Melalui teknik ini, bibit anggrek dapat diperbanyak di laboratorium hingga menjadi plantlet yang siap ditanam kembali di alam.
Namun, karena biaya kultur jaringan cenderung mahal akibat penggunaan bahan kimia impor, Innaka melakukan terobosan dengan mengganti bahan tersebut menggunakan alternatif lokal yang lebih murah dan ramah lingkungan.
“Kami mengganti bahan-bahan mahal seperti sitokinin benzilaminopurin dan media MS dengan air kelapa, pupuk daun, dan pupuk organik cair (POC). Hasilnya tetap efektif dalam merangsang pertumbuhan tunas Vanda tricolor di laboratorium,” jelasnya.
Inovasi ini telah diuji melalui program pengabdian masyarakat yang melibatkan petani pelestari anggrek di kawasan lereng Merapi. Selain mengenalkan media tanam alternatif, petani juga diajarkan penggunaan pupuk organik untuk mendukung keberhasilan perbanyakan anggrek di lapangan.
Menurut Innaka, apabila metode ini diterapkan secara luas, tidak hanya akan mendukung konservasi, tetapi juga membuka peluang peningkatan nilai ekonomi Vanda tricolor, mengingat tingginya permintaan pasar terhadap tanaman hias eksotis.
“Kalau kita bisa memperbanyak dan mengomersialkan anggrek ini, setidaknya bisa mengurangi eksploitasi dari alam liar. Jadi masyarakat tidak perlu mengambil langsung dari habitatnya di lereng Merapi. Biarkan populasi alami tetap lestari, dan kita jual hasil kultur dari laboratorium,” imbuhnya.
Meski perbanyakan bibit sudah berhasil, dan bahkan telah memperoleh hak paten dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum dan HAM RI, tantangan selanjutnya adalah mempercepat masa pertumbuhan hingga berbunga, yang secara alami memerlukan waktu cukup lama. Untuk itu, Innaka bersama tim kini tengah mengembangkan pupuk hayati berbasis bakteri menguntungkan.
“Pupuk ini mengandung bakteri yang membantu menyediakan nutrisi bagi anggrek. Saat ini kami sudah berhasil mengisolasi delapan jenis bakteri. Langkah selanjutnya adalah uji molekuler untuk memastikan identitas dan efektivitas bakteri tersebut terhadap pertumbuhan Vanda tricolor,” tutup Innaka. (Mut)