YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Politik internasional sedang memasuki fase baru, dimana konflik antar peradaban akan menjadi salah satu fase terkini dalam evolusi konflik di sistem politik internasional modern. Dalam skala internasional, perkembangan peradaban dari berbagai bangsa selalu dianggap wajar ketika menghasilkan kebudayaan yang mewujudkan perdamaian. Padahal, menurut Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di bidang politik internasional dan diplomasi kebudayaan Prof. Dr. Tulus Warsito, M.Si., dinamika politik internasional seperti konflik juga dapat dikategorikan sebagai titik balik peradaban.
Gagasan ini dikemukakan Tulus dalam orasi ilmiahnya yang bertajuk ‘Titik Balik Peradaban Dalam Hubungan Internasional’ pada Sabtu (4/11). Menurut Tulus, titik balik ini didasari dengan adanya isu benturan peradaban yang mulai mencuat tidak lama setelah perang dingin. “Walaupun isu benturan peradaban mendapatkan kritikan keras dari berbagai kalangan, isu ini terbukti berpengaruh terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat,” ujarnya. Tulus juga menekankan bahwa benturan peradaban akan mendominasi politik internasional.
“Jika peradaban dianggap sebagai gabungan dari berbagai puncak kebudayaan, maka setiap puncak itu ada ‘ongkos’-nya, yang seringkali berupa dampak buruk dari peradaban. Dampak buruk inilah yang seringkali hanya dianggap sebagai tumbal peradaban, padahal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pencapaian puncak kebudayaan,” imbuh Tulus. Ini sekaligus menegaskan bahwa sumber utama dari konflik di dunia baru tidak lagi hanya berasal dari ideologi atau ekonomi. Namun juga berasal dari benturan peradaban yang telah berevolusi.
Tulus yang menjadi dosen di program studi S3 Politik Islam dan S1 Hubungan Internasional UMY juga beranggapan jika identitas dari peradaban di masa depan akan semakin penting dan dunia akan dibentuk secara masif oleh interaksi antara tujuh atau delapan peradaban besar. “Ini termasuk peradaban yang berasal dari Barat, Konghucu, Jepang, Islam, Hindu, Slavia-Ortodoks, Amerika Latin, dan mungkin dari Afrika,” ungkapnya. Benturan peradaban yang melahirkan konflik dapat terjadi sepanjang adanya garis patahan budaya yang memisahkan seluruh peradaban ini.
“Konflik yang berasal dari benturan peradaban dapat terjadi salah satunya karena adanya perbedaan antar peradaban yang tidak hanya nyata, namun juga mendasar. Ini mencakup perbedaan sejarah, bahasa, budaya, tradisi, termasuk agama. Seluruh perbedaan ini jauh lebih mendasar daripada perbedaan ideologi dan rezim politik. Perbedaan memang tidak selalu berarti konflik, dan konflik tidak selalu berarti perang. Namun selama beberapa abad, perbedaan antar peradaban telah menghasilkan konflik yang bahkan menjadi yang paling panjang dan penuh kekerasan,” jelas Tulus.
Walaupun beberapa ahli beranggapan bahwa tidak ada benturan peradaban dalam hubungan internasional, namun Tulus berpendapat jika benturan peradaban telah memberikan dampak yang besar terhadap dinamika politik internasional, termasuk memengaruhi kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat. Orasi ilmiah yang disampaikan Tulus hari ini sekaligus menjadi tanda telah sampai pada purna tugas setelah pengabdiannya menjadi dosen di UMY sejak tahun 1990. (ID)