JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Salah satu tugas pemerintah yang diamanatkan oleh konstitusi adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kemampuan pemerintah untuk melaksanakan tugas tersebut sendiri sangat terbatas. Oleh karena itu, kehadiran sekolah-sekolah swasta, baik pada tingkat SD, SLTP, SLTA, hingga perguruan tinggi (PTS), sangat diharapkan sebagai mitra.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), pada tahun 2022 jumlah mahasiswa di perguruan tinggi swasta (PTS) mencapai 4,49 juta orang, sementara di perguruan tinggi negeri (PTN) ada sebanyak 3,37 juta mahasiswa. Pada tahun perkuliahan 2023 dan 2024, PTN tampak memperbesar daya tampungnya secara signifikan, bahkan ada yang merekrut mahasiswa baru dua hingga tiga kali lipat dari jumlah tahun-tahun sebelumnya.
Kebijakan ini disambut baik oleh masyarakat, terutama karena anak-anak mereka bisa kuliah di kampus negeri. Namun, dampak negatif juga dirasakan oleh PTS. Dengan semakin besarnya daya tampung PTN, jumlah mahasiswa baru yang dapat direkrut oleh PTS menjadi berkurang. Jika tren ini terus berlangsung, kampus-kampus swasta berisiko kehilangan pendapatan akibat berkurangnya jumlah mahasiswa.
"Jika total biaya operasional PTS masih di bawah total pendapatan, maka tidak akan ada masalah. Namun, jika biaya operasional lebih besar daripada pendapatan, PTS bisa mengalami kerugian hingga terancam tutup," ujar Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ia menambahkan, jika hal ini terjadi, PTN tidak akan mampu menampung seluruh calon mahasiswa baru. Kondisi ini berpotensi menimbulkan masalah bagi lulusan SMA yang ingin melanjutkan kuliah.
Anwar Abbas menekankan perlunya pemerintah membatasi secara ketat jumlah mahasiswa baru yang dapat direkrut oleh PTN, agar PTS tetap dapat tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, misi suci pemerintah untuk mencerdaskan bangsa dapat terlaksana dengan baik melalui kolaborasi antara PTN dan PTS tanpa ada yang dirugikan.