Rasio Dokter Indonesia Disebut Jauh dari Standar WHO

Publish

3 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
228
Foto Istimewa

Foto Istimewa

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Ketersediaan tenaga medis di fasilitas kesehatan dasar masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa terdapat 454 puskesmas yang belum memiliki dokter umum dan 2.375 puskesmas tanpa dokter gigi. Kondisi ini berdampak langsung terhadap kualitas layanan primer dan memperbesar beban pembiayaan negara, terutama sejak implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. dr. Arlina Dewi, M.Kes., AAK, menjelaskan bahwa minimnya tenaga medis di level primer membuat puskesmas tidak dapat menjalankan fungsi strategisnya sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat. Padahal dalam sistem JKN, dokter umum berperan sebagai gatekeeper yang menentukan alur layanan.

“Kalau gatekeeper tidak berfungsi, alur sistem kesehatan menjadi berantakan. Rumah sakit menerima pasien yang seharusnya ditangani di layanan primer, sementara kasus yang semestinya ditangani dokter spesialis justru tertunda. Ini bukan hanya soal jumlah dokter, tetapi juga distribusi yang tidak merata,” ujar dr. Arlina dalam sesi daring, Senin (1/12).

Peningkatan jumlah rujukan berimbas pada naiknya beban biaya negara. Layanan kesehatan yang seharusnya dapat diselesaikan oleh dokter primer akhirnya ditangani oleh dokter spesialis di rumah sakit, yang biayanya jauh lebih tinggi.

Situasi ini kian berat karena ketersediaan dokter Indonesia masih jauh dari standar ideal. WHO menetapkan rasio satu dokter untuk setiap 1.000 penduduk. Dengan populasi Indonesia mencapai 278 juta jiwa, idealnya dibutuhkan sedikitnya 278 ribu dokter. Namun hingga saat ini, jumlah dokter umum baru berada di kisaran 180 ribu, sedangkan dokter gigi hanya sekitar 43 ribu.

“Jumlah dokter kita memang belum mencukupi. Dokter gigi lebih sedikit lagi, dan distribusinya sangat timpang. Banyak dokter memilih bertugas di kota besar karena fasilitas lebih lengkap, sementara di daerah 3T puskesmas bahkan tidak memiliki satu dokter pun,” tambahnya.

Melihat kondisi tersebut, dr. Arlina menekankan bahwa puskesmas dan klinik seharusnya mampu menyelesaikan sebagian besar kasus penyakit umum agar rumah sakit dapat fokus pada penanganan kasus berat.

“Jika layanan primer berjalan optimal, lebih dari 70 persen kasus sebenarnya bisa selesai di puskesmas atau klinik. Karena itu, keberadaan dokter di level pertama sangat krusial. Tanpa dokter di puskesmas, sistem rujukan akan terus membengkak, biaya negara meningkat, dan masyarakat yang paling dirugikan karena akses layanan dasar tidak terpenuhi,” pungkasnya. (NF)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

SURAKARTA, Suara Muhammadiyah - Lebih dari dua ribu warga Muhammadiyah hadir dalam acara tabligh akb....

Suara Muhammadiyah

5 December 2023

Berita

Simbol Kekuatan Ukhuwah dan Syiar Dakwah MAKASSAR, Suara Muhammadiyah - Ratusan warga dan simpatisa....

Suara Muhammadiyah

5 December 2025

Berita

SOLO, Suara Muhammadiyah - Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Teng....

Suara Muhammadiyah

16 December 2023

Berita

KEBUMEN, Suara Muhammadiyah – Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat (MPM PP) Muhammad....

Suara Muhammadiyah

19 March 2025

Berita

MALAYSIA, Suara Muhammadiyah – Bulan suci Ramadhan akan lebih bermakna jika diisi dengan berba....

Suara Muhammadiyah

17 March 2025