Refleksi Milad 59 dan Revitalisasi Fungsi Kokam
Oleh: Badru Rohman, Kokam Sukoharjo
Sejak awal berdirinya pada 18 November 1912, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang berperan besar mempertahankan kedaulatan bangsa. Menjaga hubungan baik dengan negara sudah sejak lama menjadi ikhtiar yang dilakukan Muhammadiyah untuk ikut berkontribusi menyelesaikan tiap-tiap permasalahan yang di hadapi bangsa. Gelora dakwah yang identik dengan amar ma’ruf nahi munkar menjadikan Muhammadiyah selalu terpanggil saat negara sedang membutuhkan dari pra kemerdekaan sampai saat ini.
Di antara semua organisasi otonom (ortom) yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, Kokam merupakan yang paling sedikit dikenal, begitu juga paling banyak disalahpahami. Hanya sedikit ulasan yang tersedia tentang Kokam, terutama karena periode eksistensi Kokam hanya pada 1965/66, kemudian tidak aktif selama beberapa dekade, dan muncul kembali menjelang runtuhnya Orde Baru tahun 1998. Dan, ulasan yang sedikit itupun fokus pada peranan Kokam sebagai salah satu organisasi yang bertanggung jawab atas pembersihan kaum komunis (misalnya Adam, 2009: 159; Jones et.al [eds.], 2009: 149).
Sejarah berdirinya Kokam adalah bagaimana mengamankan ideologi yang diyakini oleh Muhammadiyah terhindar dari ideologi komunis. Kondisi politik di kala itu sangat tidak stabil dan rentan terhadap gesekan dan benturan ideologi. Namun demikian, perkembangan politik dan keamanan pada saat ini mempengaruhi arah kebijakan secara organisatoris Kokam yang saat ini berada di bawah koordinasi Pemuda Muhammadiyah.
Di era reformasi ini pasca runtuhnya rezim orde baru, arah perjuangan Kokam berubah. Ketika beberapa elemen kritis di negeri ini mendorong terjadinya reformasi untuk demokrasi, tidak banyak dari mereka yang membayangkan bahwa perubahan ini akan membawa akibat yang sangat penting pada peran ormas (baca: Pemuda Muhammadiyah).. Fenomena tersebut jelas dapat merubah paradigma berpolitik.
Sekitar tahun 1998, Kokam menemukan momentumnya kembali dalam suksesi kepemimpinan nasional, dengan ikut serta mengawal Amien Rais yang merupakan tokoh Muhammadiyah. Semangat ber-Kokam bangkit kembali pada tahun 2016, ketika respon terhadap kasus Siyono di Klaten, yang diduga sebagai teroris oleh Densus 88. Melacak elit kepemimpinan Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjutak saat sambutan Sidang Pleno Tanwir 1 di Hotel Narita, Cipondoh, Tangerang 28 November 2016, beliau berpendapat bahwa Kokam jadi simbol amar ma’ruf nahi mungkarnya Muhammadiyah.
Mencermati dua periode kepemimpinan Pemuda Muhammadiyah akhir-akhir ini, rasanya sangat mengejutkan, di elit Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menjalankan roda organisasinya terkesan selayaknya sebagai sebuah organisasi parpol. Bagaimana tidak, 21 – 24 Februari di Kalimantan Timur, Saat audiensi kepada Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah mengusulkan pemberian julukan atau sebutan kepada Presiden Joko Widodo sebagai Presiden perintis Indonesia Maju yang akan menjadi warisan bangsa.
Usulan pemberian sebutan tersebut akan diberikan pada saat Presiden membuka secara resmi pelaksanaan Muktamar Pemuda Muhammadiyah XVIII di kota Balikpapan. Ketimbang menyebut Presiden Joko Widodo sebagai Bapak Infrastruktur, yang kemungkinan akan menjadi julukan yang stagnan, Sunanto menganggap sebutan Bapak perintis Indonesia maju lebih bernilai sebagai sebuah legacy yang dapat dilanjutkan oleh Presiden berikutnya.
Banyak komentar pro dan kontra atas pernyataan Sunanto tersebut. Bahkan tidak sedikit yang menyatakan dan menghujat secara terbuka statemen Sunanto tersebut. Terlebih, Sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto secara terbuka sudah menyatakan akan maju bertarung sebagai calon legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ini tentu menjadi keprihatinan kita bersama, di tengah semakin terpuruknya peran Pemuda Muhammadiyah dalam panggung politik tokoh muda Indonesia.
Jika dibandingkan dengan ormas kepemudaan lain, PM (baca : Pemuda Muhammadiyah) atau Kokam selayaknya sudah melahirkan gagasan-gagasan besar yang bahkan melahirkan tokoh-tokoh besar yang mewarnai NKRI. Namun demikian, faktanya PM telah kalah dengan organisasi serupa milik ormas lain. Misalnya hal demikian tergambar bahwa ormas NU punya kader di banyak stakeholder seperti KPU dan Kemenag. Dalam kondisi tersebut, yang pada akhirnya Kokam hanya menjadi pelengkap dalam seremoni keorganisasian belaka. Sementara PM malah berkutat dalam epicentrum politik.
Etika Kepemimpinan Pemuda Muhammadiyah
Secara teoritis, etika mengajarkan kemanfaatan universal (Tuhan, manusia, dan alam), sebagaimana utilitarianisme. Jika merujuk etika Muhammadiyah dalam dokumen resmi Muhammadiyah seperti Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), berisikan panduan etis universal dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, berbangsa-bernegara, pelestarian lingkungan, pengembangan ilmu pengetahuan-teknologi, dan seni-budaya, yang bersumberkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Ki Bagus Hadikusuma menyebut bahwa “aspek terpenting dari nilai etika moral Islam bagi Muhammadiyah adalah penegasannya pada implementasinya dalam amal kebajikan (ihsan)” yang memunculkan etos sosial dan menjadi identitas Muhammadiyah, yaitu: rasional, menerima perubahan, terbuka, kerja keras, tepat waktu, orientasi jangka panjang, jujur, selalu berpihak pada kebenaran, sabar, dan etos sosial lainnya.
Dalam konteks PM untuk menggerakkan roda organisasinya, tentu harus merujuk (ittiba’) pada nilai-nilai baku etis Muhammadiyah, yang salah satu aktualisasinya tidak akan pernah mau berkompromi dan berkolaborasi dengan kemungkaran. Mampu memahami dengan baik mana yang disebut dengan risywah (suap), ghanimah (harta rampasan), dan bisyarah (upah). Jangan sampai PM menganggap risywah sebagai ghanimah atau bisyarah. Rasanya memalukan, jika PM dalam menjalankan roda organisasi terjebak budaya organisasi khas partai politik.
Diubahnya aturan pemilihan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah dari pemilihan langsung oleh muktamirin berganti pemilihan Ketua Umum melalui formatur, sebenarnya dimaksudkan untuk meminimalkan ekses money politik dari perilaku politik transaksional. Namun, fenomena yang menyertai perjalanan menuju perhelatan Muktamar Balikpapan tersebut menunjukkan masih saja berlaku tradisi politik traksaksional. Dimana, para Kandidat Ketua Umum justru harus berjuang ekstra membangun koalisi besar untuk memenangkan mayoritas formatur. Dengan demikian, kandidat tersebut baru dapat memastikan kursi Ketua Umum bisa mereka rebut.
Dalam pidato ketua terpilih Muktamar XVIII Balikpapan, Dzulfikar Ahmad Tawalla menegaskan gagasan pemuda negarawan harus diteguhkan, sebagai sebuah kontinuitas ide dan gagasan, maka pemuda negarawan akan diteguhkan dengan 4 pilar pemuda negarawan sebagai identitas pemuda muhammadiyah : Pertama, Meneguhkan identitas Pemuda Muhammadiyah sebagai gerakan islam berkemajuan. Kedua, Meneguhkan identitas Pemuda Muhammadiyah sebagai gerakan sosial kewirausahaan (social entrepreneurship). Ketiga, Meneguhkan identitas Pemuda Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu. Keempat, Meneguhkan identitas Pemuda Muhammadiyah sebagai gerakan politik kebangsaan.
Dzulfikar dalam pidatonya menegaskan jika Pemuda Muhammadiyah ke depan harus memperteguh gagasan “Pemuda Negarawan” yang selama ini telah digaungkan oleh kepemimpinan periode Cak Nanto. Sebagai peneguhan, Dzulfikar mengajukan empat pilar pokok sebagaimana tersebut di atas. Gagasan pemuda negarawan salah satunya oleh munculnya politik identitas, sebagaimana pendapat Cak Nanto bahwa kemunculan politik identitas dalam perhelatan tahun politik dapat mengganggu cita-cita bangsa. Politik identitas berpotensi memicu polarisasi yang bisa menimbulkan perpecahan antar anak bangsa (Medcom.id, 29/10/22)
Uraian alenia terakhir menggambarkan bahwa sepak terjang Pemuda Muhamadiyah sebagai ormas kepemudaan bertindak selayaknya partai politik. Bagaimana tidak, istilah politik identitas lahir dari product partai politik. Kader akar rumputpun bertanya-tanya, ada apakah gerangan Pemuda Muhammadiyah? Dari memuji Gibran sebagai ambassador pemuda berprestasi, sampai pada menerbitkan surat inventarisasi data sebagai bahan membuat buku Jokowi melangkah bersama sang surya. Hal demikian yang membuat bias dan ketidakjelasan gerakan Kokam sebagai simbol amar ma’ruf nahi mungkar.
Pemuda Muhammadiyah dan Politik
Berbicara relasi Muhammadiyah dan politik seakan tak ada habisnya, sejak Kelahirannya hingga saat ini selalu menarik untuk diperbincangkan. Dan perbincangan ini biasanya lebih menarik ketika jelang hingga pasca perhelatan-perhelatan politik, baik di lingkungan nasional maupun lokal. Tentu tidak salah membicarakan relasi Muhammadiyah dan politik, karena meskipun kelahiran Muhammadiyah tidak dikontruksikan sebagai organisasi politik atau partai politik, namun faktanya Muhamadiyah telah memposisikan diri sebagai “gerakan politik”.
Penyebutan tersebut sebenarnya hanya salah satu dari sekian banyak pelebelan yang disematkan pada Muhammadiyah. Namun demikian, Muhammadiyah sendiri tegas menyebut dirinya sebagai gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar, yang beraqidah Islam dan bersumber pada al-qur’an dan Sunah. Demikian juga terhadap ortum-ortom nya termasuk Pemuda Muhammadiyah.
Pemuda Muhammadiyah (selanjutnya ditulis PM) sendiri dalam Anggaran Dasarnya, pasal 6 ayat 2, membatasi pada 18-40 tahun (tanfidz PP PM 2018-2022). Isu batasan ini erat dengan usia produktif sumber daya suatu bangsa yang mempengaruhi standar dan pencapaian-pencapaian tujuan ekonomi, sosial, politik serta tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Ketika berbicara tentang pemuda, sebagai pemuda bagi penulis, pemuda merupakan tulang punggung pembangunan negara.
Mereka adalah generasi yang akan memimpin masa depan. Oleh karena itu, peran pemuda sangat penting dalam membangun politik yang berkualitas. Sedangkan politik, merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan suatu negara. Dalam politik, mengambil keputusan yang tepat untuk kebaikan bersama menjadi hal yang sangat esensial. Untuk mencapai politik yang berkualitas, peran pemuda sangatlah vital.
Politik adalah cara untuk menguatkan, mempersatukan, dan berjuang melunasi janji-janji kemerdekaan Republik Indonesia. Politik juga merupakan alat paling efektif untuk membuat sebuah perubahan dan kemajuan bagi negara. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari peran yang dilakukan pemuda-pemudi Indonesia, saat mengambil bagian dari perubahan. Partisipasi mereka sangat dibutuhkan.
Sebagai organisasi yang mengedepankan moral Islam bersumberkan Al-Qur’an dan sunnah, PM tentu diharap prioritaskan etika dalam menjalankan organisasi dan bersinergi dengan pihak lain. Kemampuan berdialog dengan realita dan mendialogkan nilai dengan tujuan internalisasinya adalah jihad wajib dan fakta untuk memajukan bangsa dan peradaban dengan modal ilmu dan pengetahuan yang luas, seperti tersebut dalam lirik mars PM.
Sebagai gerakan amar ma’ruf, diharapkan PM mampu menularkan etos kerja strategis profesional berorientasi utama pada keikhlasan. Sebagai gerakan nahi munkar, diharapkan PM tetap gigih dan menjadi “petarung” handal dalam bingkai hikmah dan mau’izhah hasanah. Ihsan dalam setiap dialog (QS. An-Nahl: 125) sebagai norma dalam dakwah penuh ketauladanan, bukan dengan jalan baku hantam atau kekerasan. Meski faktanya kini, bangsa kita sedang berproses dengan cara-cara di luar adab yang diajarkan disebabkan pengaruh liberalisme politik yang melahirkan penyakit pragmatis-materialis.
Model pragmatisme anak bangsa dalam bernegara sedikit banyak telah berpengaruh pada iklim organisasi Islam kepemudaan. Hal inilah yang sesungguhnya dikhawatirkan. Masyarakat Indonesia yang masih berakal suci tentu sangat berharap jika Muhammadiyah dan ortomnya (termasuk PM) menjadi benteng penyelamat, untuk tetap tegas dan lugas dalam menjaga Indonesia.
Sebagai mitra strategis bangsa, PM berkewajiban terdepan memberi kritik dan masukan jika penyelenggara negara dalam operasionalisasinya melenceng dari kiblat dasar dan cita para pendiri bangsa. Para pendiri bangsa yang salah satu komponennya kaum santri dengan keislaman mendalam, integritas melangit, dan tulus cinta terhadap negara, memilih berjuang memerdekakan walau hidup sulit menderita, dibanding memilih fasilitas dunia atau tawaran kolaboratif penjajah. Mereka adalah tauladan otentik tanpa rekayasa dan setting pencitraan dalam ketulusannya.
Pada dasarnya, untuk menghadapi tahun politik, tidak melulu bicara dukung siapa dan dapat apa. Jika bicara terkait dukung siapa, otomatis nanti terjebak sebagai mana politik praktis layaknya parpol. Bagi penulis bicara soal tahun politik dipandang dari demokrasi lebih luas dari pada persoalan tersebut, yakni berbicara bagaimana sistem demokrasi subtantif melalui pemilu menghasilkan kedaulatan rakyat. Demokrasi subtantif bisa dimaknai sebagai sikap dan tindakan demokratis seperti mampu menghargai perbedaan dan pluralitas, kebebasan pribadi (berpendapat dan berekspresi), kesamaan hak dan keadilan dijunjung tinggi dalam semua segi kehidupan.
Aktualisasi peranan yang bisa dilakukan angkatan muda muhammadiyah sebagai organisasi gerakan civil society diantaranya, memanfaatkan ruang publik sebagai medium memproduksi opini masyarakat yang kritis dan rasionalitas untuk memberikan gelombang (tekanan) kepada para pemimpin negeri. Posisi dimaksimalkan terus-menerus mendialogkan kepentingan-kepentingan kedaulatan masyarakat.
”Dalam bahasa gramci, mampu mendemokratisasikan, memoderasikan negara dalam rangka menegakan pluralitas dan menghargai multikulturalitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keadaban dalam proses kehidupan bersama.” (Zakiyuddin,Azaki.2017:439). Tujuan dari pada itu tentu untuk menjaga stabilitas kepemimpinan dan tetap tegaknya aturan hukum ynag berlaku untuk kepentingan bersama.
Angkatan muda muhammadiyah (AMM) menjadi bagian penting dalam menumbuhkan spirit peradaban dan kesadaran berdemokrasi. Kehadirannya di tahun politik menjadi sebuah momentum untuk andil mengambil peranan yang strategis atas nama kepentingan kedaulatan rakyat, bukan kepentingan pribadi. Selain daripada memanfaatkan perananan ruang publik. Anak muda Muhammadiyah perlu menjaga keutuhan ideologi agar tetap menjadi prinsip atau pegangan dalam mengambil keputusan.
Setiap individu kader Muhamamdiyah tidak boleh arogan, gegabah, sombong merasa memiliki power (memobilisasi masa) dan menghalalkan berbagai cara merebut kekuasaan. Semua sifat itu sama sekali bukan karakter dari kader Muhammadiyah. Maka penting internalisasi ideologi Muhammadiyah untuk diresepi dan dipahami betul agar tidak ternodai sifat-sifat tersebut yang bisa merugikan diri sendiri ataupun organisasi.
Kemampuan Pemuda Muhammadiyah memobilisasi massa kepemudaan dari basis Muhammadiyah tentu selalu menarik berbagai kepentingan kekuatan politik di negeri ini. Pemuda Muhammadiyah dianggap memiliki nilai jual yang tinggi sebagai lokomotif utama kepemudaan Muhammadiyah di kancah politik. Faktor inilah yang kemudian dibidik oleh para aktivis Pemuda Muhammadiyah.
Oleh mereka yang memiliki syahwat dan nyali besar untuk melanjutkan pertarungan di ranah politik nasional. Yang patut disayangkan tentu saja apabila di kemudian hari mereka sengaja menjadikan gerbong Pemuda Muhammadiyah hanya sebagai batu loncatan politik saja. Diantara para aktivis Pemuda Muhammadiyah, isu politik dan pemberdayaan ekonomi menjadi isu yang paling memikat perhatian mereka
Revitalisasi Kokam: Dari Pasukan Antikomunis Hingga Penjaga Aset Muhammadiyah
Muhammadiyah menganggap pelaku G 30 S adalah pihak yang sama dengan pelaku kudeta tahun 1948, yakni PKI dan ormas-ormasnya. Pada 17 Oktober, Ketum PP Muhammadiyah KH A Badawi bertemu dengan Sukarno, dan memintanya untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya karena bagi Muhammadiyah tindakan pembubaran ini dianggap sebagai “ibadah”. Sesudah bertemu presiden, Badawi berbicara dengan Panglima Kopkamtib, Mayjen Suharto. Mereka berdua sepakat bahwa Muhammadiyah dan ABRI akan bekerjasama untuk memulihkan keamanan akibat G 30 S.
Di tengah situasi ini, pembentukan Kokam ditujukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan keluarga Muhammadiyah, Aisyiyah, dan organisasi lainnya di bawah Muhammadiyah. KH A Badawi menyebut tugas Kokam sebagai “ibadah jihad fi sabilillah”. Pasca peristiwa Muhammadiyah di Jakarta kemudian Kokam digiatkan aktivitasnya dan disebarluaskan ke berbagai tempat, terutama di tingkat Daerah dan Cabang. Per Juli 1966, dari catatan yang ada, Kokam eksis di Jakarta, Yogyakarta, Muntilan, Klaten, Solo, Malang, bahkan Menado.
Pasca reda urusan pemberantasan PKI, fungsi Kokam juga lebih banyak bersifat internal (menjaga aset-aset Muhammadiyah) dan seremonial (latihan baris berbaris dan pawai keliling kota). Kokam Sulut, berpusat di Menado, contohnya, mendapatkan bantuan dari pihak militer setempat, terutama Panglima Kodam XIII Merdeka/Pepelrada Sulut, Brigjen Sudarmono. Kokam Sulut pada September 1966 berlatih militer Angkatan I untuk 1 Batalion Kokam Sulut. Mereka berlatih di lapangan Sarie, Menado.
Untuk memahami perlawanan Kokam terhadap kaum komunis diperlukan pemahaman atas prakondisi yang melatarbelakangi kelahirannya, yakni berbagai macam tindakan kekerasan, baik verbal maupun fisik, yang ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam, khususnya Muhammadiyah. Pecahnya G 30 S dengan PKI dan loyalisnya sebagai salah satu pelaku utamanya memberikan jalan pada munculnya Kokam sebagai tameng bagi Muhammadiyah menghadapi serangan lanjutan kaum komunis.
Meski Kokam adalah badan “ad hoc” untuk melawan komunis, namun fungsinya rupanya jauh melampaui perlawanan terhadap komunis semata, karena mereka juga berfungsi sebagai penjaga keamanan bagi aset Muhammadiyah serta kekuatan penekan melalui berbagai aksi show of force. Kokam merepresentasikan suatu masa di mana terjalin hubungan yang erat dan kerja sama yang kuat antara pemerintah, alat keamanan negara (tentara dan polisi) serta aktor non-negara, dalam hal ini Muhammadiyah, dalam menghadapi suatu musuh bersama.
Dalam hal relasi kenegaraan, Muhammadiyah menempati posisi sebagai pengontrol kekuasaan dengan melontarkan kritik yang bersifat konstruktif dan korektif serta menawarkan solusi atas problematika yang sedang dihadapi bangsa. Bukan malah justru menciptakan slogan Pemuda Negarawan Harmoni dalam negeri yang paradoks.
Kokam didirikan untuk mencegah yang mungkar dan menyokong yang ma’ruf, oleh karenanya tidak bisa ditempatkan pada posisi oposisi kepada pemerintah, pun demikian tidak pula bagian dari pemerintah. Loyalitas mutlak Kokam sebagai organisasi agama atau civil society adalah kepada Persyarikatan dan kepada negara, sedangkan kepada penyelenggara negara dan Muhammadiyah bersifat partisipasif kritis.
Revitalisasi Kokam adalah implementasi dari Jiwa Perjuangan Kokam Melawan Intervensi. Karena setiap intervensi akan berakibat buruk pada perjuangan, diantaranya: Pertama, melahirkan pemimpin yang tak tahu arah karena akan diarahkan. Kedua, hilangnya kemandirian padahal kemandirian merupakan syarat mutlak (conditio sine quanon) untuk terselenggaranya amar ma’ruf nahi munkar.
Ketiga, Intervensi dapat menggeser ideologi ( aqidah syari’ah) menjadi ideologi pelangi yang pasti melemahkan keimanan serta menggeser toleransi antar agama menjadi pluralisme teologis. Keempat, Intervensi menciptakan polarisasi konflik intern organisasi sehingga lemah dan melelahkan. Biasanya, intervensi dilakukan melalui power sharing, finance, black mail dan devide et impera. Dan tata laksananya melalui teknis dan deregulasi aturan organisasi.
Setelah melawan intervensi, selebihnya arah gerak dakwah Kokam yang tidak sejalan dengan persyarikatan segera diluruskan. Namun demikian, jika kedua langkah itu, terasa abai, maka tinggal satu langkah lagi, yaitu Bubarkan Kokam. Sebagai penutup, penulis sampaikan Selamat Milad 59 Kokam.