Refleksi Miladiah ke-116 Muhammadiyah: Bara yang Tak Boleh Padam
Oleh: Agus setiyono, Aktivis Persyarikatan dan pegiat dakwah Online, Jambi
Tulisan ini dimuat dalam rangka Milad ke-116 Muhammadiyah, sebagai refleksi gerakan Islam berkemajuan di tengah tantangan zaman.
Sudah 116 tahun usia Muhammadiyah. Sebuah bilangan yang jika diterjemahkan dalam bahasa sejarah, bukan hanya menunjukkan panjangnya waktu, tetapi juga dalamnya makna. Muhammadiyah bukan sekadar organisasi Islam. Ia adalah jalan panjang pencerahan. Ia adalah gema ijtihad yang tak pernah berhenti memanggil nalar dan nurani umat.
Banyak yang telah berubah sejak Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan gerakan ini di Yogyakarta tahun 1912. Kolonialisme telah tumbang, republik telah berdiri, dan teknologi kini hadir dalam genggaman. Namun satu hal yang tak boleh berubah: semangat tajdid, semangat membaru yang menjadi napas Muhammadiyah sejak awal.
Tapi mari kita jujur dalam perayaan ini. Di usia yang matang ini, jangan-jangan kita mulai terjebak dalam nostalgia. Kita bangga dengan amal usaha yang membentang dari Sabang hingga Merauke—lebih dari 160 perguruan tinggi, 400-an rumah sakit dan klinik, ribuan sekolah dan lembaga sosial. Namun apakah semua itu masih membakar semangat dakwah transformatif? Atau mulai menjadi menara gading yang nyaman, tapi asing dari denyut kehidupan umat?
Bukan Seratus Enam Belas untuk Berhenti
Milad bukan pesta. Ia adalah cermin. Dan dalam cermin itu, kita mesti bertanya dengan jujur: Apakah Muhammadiyah hari ini masih menjadi kekuatan moral yang bersuara untuk kaum lemah? Ataukah telah menjadi institusi besar yang terlalu sibuk mengurus dirinya sendiri?
Kita mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar, tapi terkadang terlalu berhati-hati ketika “munkar” itu berasal dari elit. Kita bicara keadilan sosial, tapi masih ada yang merasa aman berada di ruang-ruang kekuasaan yang membungkam. Kita mengklaim sebagai gerakan berkemajuan, tetapi berapa banyak inovasi sosial yang benar-benar menyentuh akar kehidupan rakyat—bukan hanya inovasi administrasi?
Di sini satire perlu disisipkan, bukan untuk menghina, tapi sebagai alarm yang membangunkan. Bukankah banyak yang mulai lebih bangga dengan “branding” Muhammadiyah ketimbang dengan kerja-kerja membebaskan ala Dahlan? Bukankah kita kadang lebih sibuk mencetak baliho milad daripada mencetak solusi bagi kemiskinan, perusakan alam, dan ketimpangan pendidikan?
Bara yang Tak Boleh Padam
Kita tidak bisa hidup dari kejayaan masa lalu. Bara perjuangan harus terus dijaga. Sebab dakwah bukanlah perayaan, ia adalah perjuangan. Dan perjuangan tidak selalu megah, tidak selalu viral. Ia kadang sunyi, ia kadang membuat kita tak populer. Tapi justru di situlah letak keagungannya.
Tugas Muhammadiyah hari ini bukan hanya menjaga eksistensi lembaga, tetapi menyuntikkan kembali ruh pembebasan ke dalam amal usaha. Muhammadiyah harus tetap berdiri di tengah rakyat. Menyuarakan suara yang dibungkam. Menawarkan akal sehat di tengah fanatisme. Menjadi jembatan antara iman dan ilmu, antara langit dan bumi.
Kita mesti kembali pada kesadaran awal: bahwa Islam adalah agama yang membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan kezaliman. Maka Muhammadiyah harus terus menjadi bagian dari gerakan itu—bukan sekadar penonton dari perubahan zaman.
Penutup: Jangan Puas, Jangan Padam
Di usia 116 ini, Muhammadiyah layak bersyukur. Tapi syukur yang sejati bukan hanya lewat pidato atau potong tumpeng. Syukur adalah kerja. Syukur adalah evaluasi. Syukur adalah keberanian untuk membongkar kemapanan dan membangun kembali jalan yang lebih tajdid.
Sebagaimana pesan langit yang kita warisi:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Kita telah menjadi besar. Tapi lebih penting dari besar adalah menjadi bermakna. Dan makna hanya lahir dari keberanian untuk terus bergerak, terus mengabdi, dan terus memperbarui diri.
Selamat Milad ke-116 Muhammadiyah. Jangan puas. Jangan padam. Bara itu masih harus kita jaga—demi umat, demi bangsa, demi kemanusiaan semesta.