Agama Membodohi Umat atau Umat yang Merusak Agamanya?

Publish

15 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
53
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Agama Membodohi Umat atau Umat yang Merusak Agamanya?

Oleh: Roehan Usman, Warga Muhammadiyah Gunung Kidul, Yogya

Setiap manusia pasti membutuhkan pedoman atau nilai sebagai dasar pijakan dalam menjalani hidup. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang lemah, rentan terhadap kesalahan, dan selalu mencari arah. Namun, pedoman yang dipilih tidak selalu menjamin kebenaran, sehingga penting bagi manusia untuk benar-benar memperhatikan dari mana sumber pedoman itu berasal. Sayangnya, tidak semua orang mampu melakukannya. Hanya mereka yang berilmu dan benar-benar paham yang bisa memilih dengan bijak.

Banyak orang yang mengaku beragama, namun tetap melakukan berbagai kesalahan. Ini menunjukkan bahwa kehadiran agama dalam hidup seseorang tidak otomatis menjadikannya bijak. Bisa jadi, orang tersebut belum cukup cerdas secara intelektual atau belum memahami ajaran agamanya secara mendalam.

Agama, sejatinya, adalah pedoman hidup yang bersifat mutlak. Namun, ketika daya pikir manusia tumpul dan metode dakwah yang digunakan lebih menekankan pada sentuhan emosional ketimbang logika dan pemahaman rasional, maka agama sering kali diterima secara mentah-mentah. Ajaran-ajaran diserap begitu saja tanpa proses berpikir yang sehat. Akibatnya, atas nama agama, justru muncul perilaku dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar agama itu sendiri.

Dalam situasi semacam ini, umat menjadi pasrah, bukan berserah. Perbedaan ini sangat penting. Pasrah berarti menyerah tanpa usaha dan tanpa pemahaman, sedangkan berserah adalah sikap yang lahir dari kesadaran dan pemahaman yang mendalam terhadap keadaan. 

Umat yang pasrah cenderung tidak berpikir kritis, tidak mempertanyakan, dan hanya ikut arus. Hal ini diperparah dengan metode dakwah yang terlalu mengandalkan cerita atau kisah menyentuh tanpa upaya membangun logika dan nalar yang sehat. Dakwah seperti ini memang dapat menyentuh hati, tetapi tidak membangun akal. Logika tertutup oleh perasaan dan emosi. Akibatnya, banyak umat yang seperti orang buta berjalan di tengah gelap—hanya mengikuti pembimbingnya tanpa tahu arah.

Salah satu akar persoalan terletak pada kecenderungan untuk mengistimewakan orang yang dianggap “beragama”. Masyarakat sering kali menganggap bahwa seseorang yang terlihat religius pasti suci dan benar. Pandangan ini makin diperkuat dengan anggapan bahwa agama hanya mengurusi urusan akhirat, sehingga pengetahuan duniawi dianggap tidak penting. Padahal, dengan cara berpikir seperti ini, pendidikan dan kemampuan berpikir kritis menjadi remeh—dan inilah awal dari kemunduran.

Ketika pemahaman agama tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas intelektual, muncullah berbagai bentuk intoleransi. Ironisnya, masalah bukan terletak pada agama itu sendiri, melainkan pada manusia yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan tertentu. Mereka yang memiliki otoritas, yang seharusnya mendidik dan membimbing umat, justru membentuk persepsi yang keliru. Umat dibodohi oleh orang-orang yang mestinya menjadi penerang, hingga akhirnya agama terlihat sebagai penyebab kebodohan, padahal tidak demikian.

Fenomena ini juga tampak jelas di Indonesia. Polarisasi ekstrem terjadi dalam masyarakat, dan sayangnya, keyakinan sering kali dijadikan alat untuk mengotak-ngotakkan manusia. Agama menjadi garis batas, bukan jembatan yang menghubungkan. Dalam kondisi ini, potensi konflik pun muncul, bahkan bisa mengancam kedamaian sosial. Padahal, solusi dari semua ini sebenarnya sangat sederhana: benahi cara berpikir dan tingkatkan kualitas pemahaman. Agama semestinya mengubah hati dan memperkuat akal sehat, bukan sekadar menjadi hiasan luar yang kehilangan makna sejatinya.

Sering kali kita temui realitas yang menyedihkan. Banyak orang berdoa hanya karena kewajiban rutin, bukan sebagai bentuk relasi personal dengan Tuhan. Doa dilakukan karena “sudah waktunya”, bukan karena kerinduan untuk berbicara dengan Sang Pencipta. Bibir bergerak, tapi hati tidak hadir.

Ibadah pun kadang dijalankan demi pencitraan sosial. Kehadiran di rumah ibadah dimaksudkan untuk menjaga reputasi, bukan memperdalam iman. Ibadah menjadi panggung sosial, bukan ruang perjumpaan batiniah dengan Tuhan.

Lebih jauh, banyak yang hafal ayat-ayat suci, tetapi tidak memahami maknanya. Ayat dikutip untuk membenarkan pendapat sendiri, bukan untuk koreksi diri. Kitab suci dijadikan alat debat, bukan cermin pertobatan.

Kita juga melihat banyak orang menjaga simbol-simbol keagamaan seperti pakaian dan jargon, namun melupakan substansi seperti kasih sayang, kejujuran, dan kerendahan hati. Agama dijadikan seragam, bukan pedoman hidup.

Ada pula mereka yang aktif dalam kegiatan rohani tetapi pasif terhadap keadilan sosial. Mereka rajin melayani, namun menutup mata terhadap penderitaan orang lain. Ketidakadilan dianggap bukan urusan agama.

Sikap menghakimi terhadap yang berbeda pandangan juga menjadi persoalan serius. Bukannya merangkul, umat justru memusuhi mereka yang tidak sejalan. Alih-alih menjadi terang dan membawa ketenteraman, agama justru menjadi alat pembatas yang memecah-belah.

Ketaatan pun sering kali dinilai hanya dari kepatuhan terhadap aturan formal, bukan dari kedalaman kasih kepada Tuhan dan sesama. Manusia lebih takut melanggar aturan daripada kehilangan cinta.

Dan yang paling menyedihkan, agama hanya dijadikan identitas sosial atau warisan keluarga. Ia hanya menjadi label, bukan kekuatan transformatif yang mengubah cara berpikir, merasa, dan bertindak.

Dari semua fenomena ini, muncul pertanyaan besar: benarkah agama yang membodohi umatnya, atau justru umat yang merendahkan dan merusak keagungan agamanya? Agama, sejatinya, adalah rahmat. Ia adalah cahaya yang menghidupkan dan membimbing manusia menuju kehidupan yang bermakna. Namun, ketika akal sehat tidak diasah dan metode penyampaian agama hanya menyentuh emosi tanpa logika, agama bisa berubah menjadi alat yang menyimpang dari tujuan aslinya. Ia bisa membelenggu, bukan membebaskan.

Oleh karena itu, yang paling dibutuhkan hari ini bukanlah lebih banyak simbol keagamaan, tetapi peningkatan kapasitas berpikir, keikhlasan hati, dan pemahaman mendalam atas ajaran agama. Dengan itu, agama bisa menjadi sumber kedamaian dan kebijaksanaan, bukan pemicu konflik dan kebingungan.

Semoga kita semua bisa melangkah bersama dalam cahaya ilmu dan kasih. Jadikanlah agama bukan hanya sebagai simbol luar, tetapi sebagai kekuatan yang benar-benar menguatkan jiwa, menjernihkan pikiran, dan menyatukan perbedaan. Karena pada akhirnya, agama seharusnya menjadi rahmat yang menghidupkan—bukan beban yang membelenggu.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Penuturan Al-Qur’an tentang Takwa Oleh: Suko Wahyudi. PRM Timuran Yogyakarta  Takwa mer....

Suara Muhammadiyah

23 July 2025

Wawasan

Oleh: Tri Ermayani, M.Ag, Dosen Al-Islam & Kemuhammadiyahan UM Purworejo Dalam kehidupan sehari....

Suara Muhammadiyah

30 January 2024

Wawasan

Oleh: Wakhidah Noor Agustina, S.Si. (Ketua Cabang ‘Aisyiyah Kota 3 Kudus dan Pengajar Biologi....

Suara Muhammadiyah

2 October 2024

Wawasan

Hijrah Kontemporer, Hijrah Transformatif (2): Meneladani Jejak Informatika Muhammad saw Oleh: Sonny....

Suara Muhammadiyah

17 September 2024

Wawasan

Oleh: Tito Yuwono, MSc., PhD Dosen Jurusan Teknik Elektro-Universitas Islam Indonesia Yogyakarta S....

Suara Muhammadiyah

18 May 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah