Regenerasi Kepemimpinan Muhammadiyah di Tengah Krisis Keteladanan

Publish

19 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
122
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Regenerasi Kepemimpinan Muhammadiyah di Tengah Krisis Keteladanan

Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif, Ketua PDM Jakarta Timur/ Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Di tengah kehidupan publik yang kian hiruk-pikuk, kata kepemimpinan sering terdengar nyaring, tetapi keteladanan justru terasa semakin langka. Kita menyaksikan bagaimana figur-figur yang berada di posisi strategis baik di ranah politik, birokrasi, ekonomi, maupun ruang sosial kerap gagal menunjukkan keselarasan antara ucapan dan tindakan. 

Kekuasaan mudah tergelincir menjadi transaksi, jabatan kehilangan makna pengabdian, dan etika sering kali dikalahkan oleh kepentingan sesaat. Inilah yang kerap disebut sebagai krisis keteladanan, sebuah krisis sunyi yang dampaknya merembes ke mana-mana, merusak kepercayaan publik, dan meninggalkan skeptisisme yang mendalam.

Dalam situasi seperti ini, organisasi keagamaan tidak bisa sekadar berdiri sebagai penonton. Organisasi keagamaan dituntut menjadi sumber nilai, jangkar moral, sekaligus penuntun etika sosial. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia, memiliki tanggung jawab historis dan moral untuk menjawab tantangan tersebut. Justru di tengah krisis keteladanan inilah, isu regenerasi kepemimpinan Muhammadiyah menemukan urgensinya yang paling mendasar.

Muhammadiyah dikenal memiliki tradisi kepemimpinan yang relatif bersih, sederhana, dan berorientasi pada pengabdian. Sejak awal berdirinya, kepemimpinan dalam Muhammadiyah tidak dibangun di atas kultus individu, melainkan di atas kesadaran kolektif bahwa kepemimpinan adalah amanah. 

Namun sejarah, betapapun agungnya, tidak pernah cukup untuk menjamin masa depan. Nilai-nilai kepemimpinan tidak diwariskan secara otomatis karena harus terus dirawat, dipraktikkan, dan direproduksi melalui proses regenerasi yang sadar dan berkelanjutan. Tanpa itu, krisis keteladanan yang melanda ruang publik berpotensi merembes ke dalam tubuh persyarikatan.

Krisis keteladanan hari ini bukanlah fenomena yang lahir dalam ruang hampa. Perubahan sosial yang cepat, kompetisi politik yang keras, serta penetrasi media digital telah mengubah wajah kepemimpinan. Figur publik tidak lagi dinilai dari integritas jangka panjang, melainkan dari popularitas sesaat. Kepemimpinan cenderung dipersempit menjadi soal citra, bukan karakter. Dalam lanskap seperti ini, keteladanan sering kali kalah oleh pencitraan.

Bagi Muhammadiyah, tantangan ini bersifat ganda. Di satu sisi, persyarikatan dituntut tetap menjadi teladan moral di tengah masyarakat yang semakin permisif. Di sisi lain, Muhammadiyah juga harus memastikan bahwa kepemimpinan internalnya tidak terjebak pada rutinitas struktural, formalitas organisasi, atau sekadar manajemen administrasi. Regenerasi kepemimpinan menjadi titik temu dari dua tuntutan tersebut.

Sejarah Muhammadiyah menunjukkan bahwa kepemimpinan sejatinya lahir dari keteladanan. KH Ahmad Dahlan tidak membangun Muhammadiyah melalui pidato yang menggelegar atau simbol-simbol kekuasaan, melainkan melalui tindakan nyata seperti mengajar, melayani, dan membebaskan umat dari kebodohan serta kemiskinan. 

Kepemimpinan yang ditampilkan oleh Kyai Ahmad Dahlan bukan kepemimpinan simbolik, melainkan kepemimpinan moral yang hidup dalam keseharian. Tradisi inilah yang kemudian diwarisi oleh generasi-generasi berikutnya.

Para tokoh Muhammadiyah lintas zaman, dengan segala keterbatasannya, relatif berhasil menjaga jarak dari gemerlap kekuasaan. Kesederhanaan gaya hidup, keberanian bersikap, dan konsistensi nilai menjadi ciri kepemimpinan yang membedakan Muhammadiyah dari banyak organisasi lain. Namun, seiring membesarnya organisasi dan meluasnya amal usaha, tantangan kepemimpinan pun menjadi semakin kompleks.

Amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial kini menjadi salah satu kekuatan utama persyarikatan. Ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, dan rumah sakit tersebar di seluruh Indonesia. Di satu sisi, ini adalah prestasi luar biasa. Namun di sisi lain, skala yang besar menuntut tata kelola modern dan profesional. 

Profesionalisme adalah keniscayaan, tetapi di sinilah ujian keteladanan sering muncul. Ketika kepemimpinan lebih sibuk mengelola sistem daripada merawat nilai, ketika ukuran keberhasilan direduksi menjadi angka dan laporan, ruh kepemimpinan Muhammadiyah berisiko memudar.

Regenerasi kepemimpinan dalam Muhammadiyah karenanya tidak boleh dimaknai sekadar sebagai pergantian kepengurusan atau peremajaan usia pimpinan. Regenerasi adalah proses ideologis dan kultural yaitu suatu proses panjang menanamkan nilai, membentuk karakter, dan mengasah kepekaan sosial. Proses regenerasi menuntut kesadaran bahwa kepemimpinan bukanlah suatu keistimewaan yang diberikan, melainkan amanah yang sarat tanggung jawab moral.

Di titik inilah kaderisasi memegang peran kunci. Muhammadiyah memiliki tradisi kaderisasi yang relatif mapan melalui berbagai jalur, mulai dari organisasi otonom hingga amal usaha. Namun tantangan kekinian menuntut evaluasi yang jujur dan terbuka yaitu sejauh mana kaderisasi benar-benar melahirkan pemimpin teladan, bukan sekadar pelaksana struktur? Apakah proses kaderisasi telah cukup membekali kader dengan keberanian moral untuk bersikap tegas di tengah godaan pragmatisme dan kenyamanan posisi?

Krisis keteladanan justru menjadi cermin bagi efektivitas kaderisasi. Ketika ruang publik dipenuhi oleh contoh-contoh kepemimpinan yang problematik, Muhammadiyah semestinya mampu menghadirkan lingkungan internal yang menumbuhkan budaya keteladanan. Di sinilah peran pimpinan senior menjadi sangat penting. Keteladanan tidak bisa diajarkan hanya melalui modul atau pelatihan; ia harus ditunjukkan melalui sikap, keputusan, dan konsistensi hidup.

Persoalan regenerasi kepemimpinan juga tidak bisa dilepaskan dari perubahan generasi. Generasi muda Muhammadiyah tumbuh dalam konteks sosial yang sangat berbeda dengan generasi pendahulunya. Mereka hidup di era digital, terbiasa dengan arus informasi yang cepat, terbuka, dan sering kali tanpa sekat. Mereka lebih kritis, egaliter, dan tidak mudah menerima otoritas hanya karena jabatan atau senioritas.

Generasi ini mencari keteladanan yang autentik yaitu pemimpin yang konsisten antara nilai yang diucapkan dan praktik yang dijalankan. Mereka ingin melihat transparansi dalam pengambilan keputusan, keadilan dalam distribusi peran, dan keberanian moral dalam menghadapi persoalan. Jika Muhammadiyah gagal menjawab ekspektasi ini, regenerasi kepemimpinan berisiko mengalami stagnasi, bahkan keterputusan.

Karena itu, regenerasi kepemimpinan Muhammadiyah harus memberi ruang yang lebih luas bagi generasi muda untuk terlibat secara substantif. Bukan sekadar menjadi pelengkap struktur atau penonton proses pengambilan keputusan, tetapi menjadi bagian dari dinamika kepemimpinan itu sendiri. Dialog antar generasi perlu dibangun di atas rasa saling percaya, bukan kecurigaan. Senioritas semestinya menjadi sumber kebijaksanaan, bukan penghalang inovasi.

Dalam konteks ini, kepemimpinan kolektif yang menjadi ciri Muhammadiyah perlu terus diperkuat. Kepemimpinan kolektif bukan sekadar pembagian jabatan, melainkan mekanisme kontrol moral dan etika. Kepemimpinan kolektif mencegah konsentrasi kekuasaan pada satu figur, sekaligus membuka ruang musyawarah yang sehat. Namun kepemimpinan kolektif hanya akan bermakna jika ditopang oleh etika bersama yang kuat dan kesediaan untuk saling mengingatkan.

Etika kepemimpinan Muhammadiyah harus terus diteguhkan sebagai fondasi regenerasi. Kejujuran, amanah, kesederhanaan, keberanian moral, dan keberpihakan pada yang lemah bukan sekadar slogan, tetapi nilai yang harus tampak dalam kebijakan dan keputusan organisasi. Pemimpin yang teladan bukanlah mereka yang tanpa cela, melainkan mereka yang berani mengakui kesalahan dan belajar darinya.

Dalam konteks amal usaha, regenerasi kepemimpinan menuntut keseimbangan yang cermat antara profesionalisme dan ideologi. Amal usaha Muhammadiyah bukan entitas netral melainkan suatu bagian dari dakwah dan tajdid. Karena itu, pemimpin amal usaha harus menjadi teladan bukan hanya dalam kinerja dan efisiensi, tetapi juga dalam integritas dan keberpihakan sosial. Tanpa keteladanan, amal usaha berisiko kehilangan ruh gerakannya dan terjebak dalam logika pasar semata.

Krisis keteladanan yang melanda ruang publik sesungguhnya membuka peluang bagi Muhammadiyah untuk kembali menegaskan perannya. Ketika banyak institusi kehilangan kepercayaan masyarakat, Muhammadiyah justru dapat tampil sebagai oase keteladanan selama berani melakukan pembenahan internal secara jujur dan berkelanjutan. Regenerasi kepemimpinan adalah pintu masuk terpenting untuk pembenahan tersebut.

Pada akhirnya, regenerasi kepemimpinan Muhammadiyah bukan sekadar agenda organisatoris, melainkan tanggung jawab moral terhadap umat dan bangsa. Di tengah kegamangan publik mencari figur teladan, Muhammadiyah ditantang untuk menghadirkan kepemimpinan yang tidak hanya cakap secara manajerial, tetapi juga layak diteladani secara etis.

Jika regenerasi kepemimpinan dijalankan dengan kesadaran ideologis, keteguhan nilai, dan keberanian moral, Muhammadiyah tidak hanya akan mampu bertahan di tengah krisis keteladanan, tetapi juga memberi arah bagi masa depan. Sebab dalam sejarah gerakan ini, kepemimpinan sejati selalu lahir dari keteladanan dan dari sanalah perubahan yang bermakna bermula.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ibrah dari Perang Badar (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Ma....

Suara Muhammadiyah

4 September 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Saya ingin membahas salah satu ....

Suara Muhammadiyah

30 June 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Kita adalah manusia. Kita tinggal di bumi yang sangat berharga bagi kita. Karen....

Suara Muhammadiyah

30 October 2023

Wawasan

SM Layak Menjadi Cagar Budaya Oleh: Affan Safani Adham  Sekarang ini media satu persatu hilan....

Suara Muhammadiyah

12 August 2025

Wawasan

Pemakmuran Masjid dan Musala dengan Moderasi dalam BerislamOleh: Mohammad Fakhrudin Boleh jadi fakt....

Suara Muhammadiyah

16 October 2025