Oleh Mu’arif
Pada mulanya, Muhammadiyah adalah ”organisasi massa” (non government organization) yang dibentuk oleh K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan untuk menghimpun potensi-potensi terbaik pemuda-pemudi muslim di tanah air. Ideologi, paham keagamaan, ataupun kultur organisasi belum terbentuk. Bahkan, institusi yang secara khusus menampung paham keagamaan resmi organisasi (Majelis Tarjih) belum terpikirkan pada masa kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, sehingga pembentukan empat unsur pembantu pimpinan yang pertama kali minus departemen atau bagian keagamaan.
Algemeene Vergadering Muhammadiyah yang digelar pada 17 Juni 1920 pada masa kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan berhasil membentuk empat unsur pembantu pimpinan Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah, yaitu: Bagian Tabligh (Ketua H. Fachrodin), Bagian Pengajaran (Ketua H. Hisyam), Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (Ketua H. Syujak), dan Bagian Taman Poestaka (Ketua H. Mochtar) (Baca Kiyai Suja’, Islam Berkemajuan. Jakarta: al-Wasath, 2009, hal. 103). Artinya, Departemen atau Majelis Tarjih yang mewadahi paham fikih Muhammadiyah belum digagas alias masih mengikuti paham fikih mayoritas umat Islam pada masanya. Unsur pembantu pimpinan di Muhammadiyah yang pertama kali dibentuk oleh organisasi Islam modernis ini bukan bidang fatwa keagamaan, melainkan bidang pendidikan, kepustakaan, syiar Islam, dan kesehatan (Lihat juga Mu’arif, “Dari Pengajian Hingga Pengajaran,” Langkah Baru no. 07/th ke-2/Mei-Juni 2009). Maka muncul pertanyaan, bagaimana konstruksi paham keagamaan atau fikih Muhammadiyah pada periode awal? Adakah kesinambungan antara fikih periode awal dengan paham keagamaan yang diproduksi oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah?
Fikih Muhammadiyah Periode Awal
Karena ruang atau wadah khusus yang menampung pemikiran keagamaan (keislaman) di Muhammadiyah pada masa-masa awal berdiri belum dibentuk, sebagai konsekuensinya, fikih ibadah (kaifiat ibadah) Muhammadiyah masih sama seperti paham fikih ibadah pada umumnya (Mazhab Syafi’i?) Terbukti dengan ditemukan Kitab Fiqh (tiga jilid) yang ditulis menggunakan Arab Pegon diterbitkan oleh Taman Poestaka Muhammadiyah pada tahun 1926 (1343 H).
Dalam Kitab Fiqh ini memang terdapat topik-topik yang dinilai kontroversial seputar paham fiqh ibadah di Muhammadiyah saat ini, yaitu: pertama, dalam kitab ini, pada tulisan pengantar disebutkan kata “sayyidina” ketika menyebut nama Nabi Muhammad SAW—ini dianggap tidak lumrah bagi sebagian besar warga Muhammadiyah meskipun di dalam Kitab Himpunan Putusan Tarjih jilid 1—khususnya dalam teks berbahasa Arab—masih menggunakan kata ”sayyidina” ketika menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Kedua, ketika membahas bab shalat terdapat penjelasan tentang niat yang berbunyi: “Ushalli fardla...”--lagi-lagi ini tidak lumrah karena tidak sejalan dengan paham keagamaan tarjih. Ketiga, terdapat penjelasan setelah takbir membaca “Kabira wal hamdulillahi katsiraa...”—bukan Allahumma ba’id...dst. Keempat, membaca surat Al-Fatihah dalam shalat diawali dengan bacaan basmalah (jahr)—bukan sirr. Kelima, setelah shalat disunatkan wirid dengan bacaan: istighfar, allahumma antassalaam, kemudian baca subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, allahu akbar 33 kali, dan 6) shalat tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam.
Respon yang cukup hebat dari kalangan akar rumput Muhammadiyah yang sampai kini masih sangat sensitif dengan ”fikih tradisional”—bahkan beberapa kalangan menyebut kesamaan fikih Muhammadiyah periode awal sama seperti fikih NU. Di sinilah penulis berusaha mengingatkan dan sekaligus menjelaskan bahwa memahami Muhammadiyah dengan segenap instrumentasinya tidak boleh abai atau malah sengaja melupakan dimensi sejarah. Salah satu instrumen organisasi Muhammadiyah saat ini yang dikenal dengan istilah ”unsur pembantu pimpinan” yang disebut Majelis Tarjih dengan segenap produk keputusan, fatwa, dan wacananya tidak bisa dan tidak boleh dipahami secara taken for granted—seolah-olah ada dengan sendirinya tinggal diambil dan diyakini kebenarannya. Maka janganlah sekali-kali melupakan sejarah!
Sesungguhnya, persoalan ini akan mudah dijelaskan secara jernih dengan menggunakan pendekatan historis. Harus diakui, selama ini warga Muhammadiyah memang a-historis dengan sejarah gerakannya sendiri. Penjelasan historis akan mudah menghubungkan kembali matarantai paham agama dalam Muhammadiyah sejak organisasi ini dirintis hingga terbentuknya Majelis Tarjih yang telah memiliki manhaj istimbath hukum tersendiri saat ini.
Bahwa unsur pembantu pimpinan di Muhammadiyah yang pertama kali dibentuk bukan bidang fatwa keagamaan, melainkan bidang-bidang yang berkaitan dengan dimensi sosial-kemasyarakatan adalah fakta historis yang tidak dapat ditolak. Template organisasi ini ketika pertama kali didirikan belum memberikan ruang atau wadah khusus untuk paham keagamaan adalah fakta historis yang tidak dapat dipungkiri. Gerakan Muhammadiyah periode awal sebenarnya belum menyentuh pada ranah fiqh (paham agama), karena sebagai organisasi massa pada waktu itu lebih fokus pada pembentukan dengan mengakomodasi potensi-potensi kaum muda muslim. Secara otomatis, ketika ranah paham keagamaan (fiqh) belum dirambah, maka praktik fikih di Muhammadiyah pada masa periode awal dapat dikatakan identik dengan fikih keagamaan mayoritas.
K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan sebenarnya sangat terbuka dan akomodatif terhadap paham keagamaan yang berkembang pada waktu itu. Khusus berkaitan dengan topik fikih keagamaan (kaifiat ibadah), K.H. Ahmad Dahlan pernah menjelaskan tentang persoalan-persoalan ibadah, di antaranya adalah pembahasan shalat tarawih 20 rakaat. Artinya, K.H. Ahmad Dahlan mempraktekan shalat tarawih 20 rakaat pada dasarnya karena mengikuti paham agama pada umumnya umat Islam waktu itu. Kemudian, K.H. Ahmad Dahlan juga mempraktikkan bacaan qunut pada shalat subuh (Baca H. Ahmad Dahlan (ditulis dengan inisial H.A.D.), “Agama Islam.” Sworo Moehammadijah, nomor 2 tahun 1915).
Dengan membaca data-data historis tersebut, sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa paham agama Muhammadiyah periode awal memang belum menyentuh pada ranah fiqh. Setelah menyadari perbedaan paham agama semakin tajam di kalangan para ulama di tanah air, Muhammadiyah baru menggagas pentingnya membentuk institusi yang secara khusus membahas persoalan-persoalan agama (fiqh) berdasarkan manhaj istimbath hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Majelis Tarjih resmi dibentuk sebagai institusi yang melahirkan produk-produk keputusan, fatwa, dan wacana keagamaan yang mengikat bagi warga Muhammadiyah. (bersambung)