PACITAN, Suara Muhammadiyah - Angin Kencang disertai hujan ekstrem yang dipicu siklon tropis menerjang tiga provinsi di Sumatera Utara, dan Sumatra Barat. Bencana ini menyebabkan dampak yang sangat luas berupa banjir besar, tanah longsor, serta kerusakan parah pada jaringan listirik dan komunikasi di wilayah tersebut.
Di tengah kepanikan warga yang berhamburan mencari titik aman, para relawan menjadi orang pertama yang hadir, membentangkan tangan sebagai penopang harapan. Momen bencana serentak ini menjadi pengingat kuat bahwa meskipun ancaman datang kapan pun, kepedulian manusia selalu hadir sebagai cahaya awal penyelamatan.
Kesamaan jenis, waktu, dan kronologi kejadian membuat tantangan penanganan menjadi sangat besar. Namun, penanganan serentak ini dijawab melalui pembentukan posko komando terpadu yang langsung menghubungkan BNPB, BPBD tiga provinsi, TNI–Polri, Basarnas, dan instansi sosial. Posko gabungan ini berfungsi sebagai pusat pengendalian bagi semua kegiatan penyelamatan dan distribusi bantuan.
Menurut Bambang Setyo Utomo, SPd., MMB., Fasilitator Nasional SPAB, penanganan serentak hanya mungkin dilakukan dengan kedisiplinan komando. “Koordinasi bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan. Satu instruksi harus diikuti serentak agar tidak ada wilayah yang tertinggal,” tegasnya.
Setiap menit menjadi penting. Informasi mengenai intensitas hujan, potensi longsor, hingga estimasi dampak dikumpulkan secara nyata time melalui teknologi early warning system dan peta risiko. Dengan koordinasi yang menyatu, ketiga provinsi dapat ditangani tanpa adanya tumpang tindih perintah atau keterlambatan bantuan.
Relawan yang bekerja di lapangan memastikan evakuasi dilakukan tepat sasaran. Lansia digendong, anak-anak diarahkan dengan tenang, dan para ibu hamil mendapatkan akses prioritas. Empati menjadi sebuah bahasa yang menguatkan setiap langkah penanganan psikososial di tengah kecemasan para korban.
Bambang Setyo Utomo juga mengamati peran sekolah. Sekolah-sekolah di daerah terdampak menjadi titik penting penyelamatan karena sebagian dijadikan lokasi pengungsian. Penguatan pemahaman Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) dianggap krusial agar warga sekolah mampu melakukan evakuasi mandiri sebelum bantuan tiba.
Menghadapi bencana berskala lintas-provinsi ini, perubahan perilaku menjadi hal penting bagi relawan dan masyarakat. Relawan dituntut semakin cepat membaca data cuaca, lebih sigap memetakan titik rawan, serta lebih peka terhadap kebutuhan kelompok rentan. Sementara itu, masyarakat diharapkan membangun perilaku baru yang lebih siap menghadapi bencana: kepatuhan terhadap instruksi evakuasi, menjaga akses informasi resmi, serta mulai menyusun tas siaga menjadi kebiasaan yang harus tumbuh.
Ketua MDMC Kabupaten Pacitan, Jemi Darmawan, SSos., menyatakan bahwa kekuatan terbesar penanganan bencana bukan pada jumlah tenaga, tetapi pada semangat kebersamaan. "Ketika relawan dan masyarakat bergerak bersama, penanganan menjadi lebih cepat," katanya.
Jemi juga menekankan perlunya peningkatan kapasitas relawan di skala nasional, mencakup pelatihan tanggap darurat, kemampuan komunikasi lapangan, dan penguasaan prosedur evakuasi.
Penanganan evakuasi, pemulihan pelayanan dasar, dan perbaikan infrastruktur dipastikan memerlukan durasi yang masuk kategori "cukup lama." Di antara reruntuhan rumah dan lumpur, relawan juga menjalankan peran penting dalam penanganan psikososial, menjadi tempat warga mencurahkan ketakutan.
Pada momen Hari Relawan Internasional yang diperingati setiap 5 Desember, bencana di Aceh dan Sumatera menjadi cermin bahwa relawan bukan sekadar tenaga tambahan, melainkan tulang punggung solidaritas bangsa.
Kisah perjuangan mereka menunjukkan keberanian menghadapi risiko, keikhlasan meninggalkan keluarga, serta keteguhan untuk terus menolong. Melalui peristiwa ini, masyarakat Indonesia kembali diajak menyadari pentingnya kesiapsiagaan dan peningkatan kapasitas relawan, karena selama kepedulian manusia terus menyala, harapan selalu menemukan jalannya pulang. (Ahyar/Noor)


