Shalat dan Ketenangan Jiwa

Publish

28 May 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
430
Doc. Istimewa

Doc. Istimewa

Oleh: Suko Wahyudi

Islam adalah agama dan shalat adalah tiangnya. Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Allah SwT serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Sebagai tiang agama, shalat merupakan ajaran yang di dalamnya menyimpan unsur keimanan dan ibadah kepada Allah SwT.

Allah SwT telah mengagungkan kedudukan shalat di dalam Al-Qur'an, menjadikannya sebagai ibadah yang sangat istimewa dan memuliakan orang-orang yang bersemangat untuk melaksanakannya. Karena keagungannya, shalat merupakan amalan yang pertama kali akan dipertanyakan Allah SwT kepada hamba-Nya di akhirat kelak.

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya amal hamba yang paling pertama sekali diperhitungkan pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika didapati shalatnya sempurna, maka dicatat sebagai shalat yang sempurna. Tetapi jika kurang daripadanya sesuatu. (Allah) bertitah, “Lihatlah apakah kalian mendapatkan baginya suatu amalan sunnah untuk melengkapi apa-apa yang kurang dari fardhu itu dari amalan sunnahnya itu. Kemudian semua perbuatan diperlakukannya seperti itu.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah)

Shalat adalah cermin amal perbuatan seorang muslim. Jika shalatnya baik, maka baik pula seluruh amal perbuatannya. Dan jika shalatnya buruk, maka buruk pula seluruh amal perbuatannya.

Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Bagian seseorang di dalam Islam adalah sesuai dengan kadar bagian dari shalatnya. Kecintaannya kepada Islam sesuai dengan kadar kecintaannya kepada shalat. Oleh sebab itu kenalilah dirimu wahai hamba Allah! Dan takutlah ketika engkau akan menjumpai Allah ternyata kondisimu tidak memiliki kadar Islam. Sebab kadar Islam di dalam hatimu layaknya seperti kadar shalat yang ada di dalam hatimu.” (Thabaqat Al-Hanabilah, 1/354)

Shalat adalah sarana penghubung antara seorang hamba dengan Allah SwT. Shalat merupakan kesenangan bagi para pecinta Allah, kelezatan bagi jiwa-jiwa yang beriman, tolok ukur keadaan orang-orang yang beriman dengan sebenarnya, dan neraca keadaan bagi para penempuh jalan menuju Allah SwT. Dengan shalat, jiwa akan merasakan mendapatkan bekal yang sangat bernilai dibandingkan dengan segala materi duniawi. Shalat adalah penolong yang tak pernah mengeluh, bekal yang tidak akan pernah habis, penolong yang selalu memiliki kekuatan baru, bekal bagi hati, kunci ketenangan yang akan memberi kebahagiaan dan kecukupan.

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. (Al-Baqarah [2]: 45).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar (Al-Baqarah [2]: 153).

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa, “Apabila Rasulullah SaW dirundung suatu permasalahan, maka beliau akan segera bangkit untuk mengerjakan shalat. ” (HR. Abu Daud)

Shalat menjadi sarana terbaik menghadirkan solusi. Shalat piranti bagi seorang muslim dalam meminta perlindungan dan mengadu kepada Allah SwT dari berbagai macam kesulitan dan kesedihan, permasalahan dan kepenatan. Dia tidak akan merasa sendirian, tetapi mendapatkan dukungan dari Allah, Pemilik langit dan bumi.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan faedah shalat: “Shalat termasuk faktor dominan dalam mendatangkan maslahat dunia dan akhirat, dan menyingkirkan keburukan dunia dan akhirat. Ia menghalangi dari dosa, menolak penyakit hati, mengusir keluhan fisik, menerangi kalbu, mencerahkan wajah, menyegarkan anggota tubuh dan jiwa, memelihara kenikmatan, menepis siksa, menurunkan rahmat dan menyibak tabir permasalahan.” (Zadul Ma’ad, 4/120).

Shalat adalah menghadapnya hamba secara langsung kepada Allah SwT dan Dia juga menghadap kepada hamba-Nya, dan inilah inti shalat. Dengan menghadapkan diri kepada Allah SwT tidak sepantasnya memalingkan wajah dari Kiblat Allah, baik ke kanan maupun ke kiri, maka demikian pula tidak sepantasnya hatinya berpaling dari Tuhannya kepada selain-Nya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi Muhammad SaW shalat bersama para sahabatnya, kemudian ketika telah melakukan salam beliau memanggil seseorang yang berada di shaf akhir, kemudian beliau bersabda, “Hai Fulan, tidakkah kamu takut kepada Allah, tidakkah kamu memperhatikan bagaimana kamu mengerjakan shalat? Sesungguhnya apabila salah seorang dari kalian melaksanakan shalat, sesungguhnya saat itu ia sedang berdiri bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia memperhatikan bagaimana seharusnya ia bermunajat kepada-Nya.” (HR. Ibnu Khuzaimah) 

Sesuai dengan kadar menghadapnya seorang hamba kepada Allah dalam shalatnya, maka seperti itu pula Allah menghadap kepada hamba-Nya. Apabila ia berpaling maka Allah pun berpaling darinya. Adil Abdusy Syakur dalam karyanya Dzauqu Ash-Shalati Inda Al Imam Ibnul Qayyim menyebutkan tiga tingkatan sikap manusia menghadap Allah di dalam shalat,

1. Menghadap kepada Allah dengan hati, maka Dia menjaganya dari gangguan-gangguan dan bisikan-bisikan yang membatalkan atau mengurangi pahala shalat.

2. Menghadap kepada Allah dengan senantiasa merasa dalam pengawasan-Nya, sehingga seakan-akan ia melihat-Nya.

3. Menghadap kepada Allah dengan memfokuskan pada makna-makna firman-Nya dan perincian-perincian ritual ibadah shalat, sehingga dapat memberikan haknya. 

Dengan menyempurnakan ketiga tingkatan ini, maka mendirikan shalat itu akan benar-benar terwujud, dan kesempurnaan sikap seorang hamba dalam menghadap kepada Allah adalah tergantung kepada hal tersebut.

Kesenangan dan Istirahat

Buah dari shalat adalah menghadapnya jiwa dengan sepenuh hati kepada Allah SwT dan Dia juga menghadap kepada hamba-Nya. Perumpamaan orang yang menoleh dalam shalatnya dengan mata atau hatinya layaknya seperti seseorang yang dipanggil untuk menghadap penguasa dan diminta berdiri di hadapan penguasa tersebut. 

Penguasa itu kemudian menghadap kepada orang tersebut, memanggil namanya dan mengajaknya bicara. Namun pada saat yang sama, orang itu malah memalingkan pandangannya dari penguasa itu. Sikap ini akan membuat hatinya berpaling dari konsentrasi terhadap ucapan sang penguasa dan membuatnya tidak mengerti topik yang dibicarakan kepadanya. 

Al-Harits Al-Asyari meriwayatkan, bahwa Rasulullah SaW bersabda, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk shalat. Apabila kalian shalat janganlah menoleh, sebab Allah akan mengarahkan wajah-Nya kepada wajah hamba-Nya di dalam shalatnya, selama ia tidak menoleh. (HR. Tirmidzi).

Ibnul Qayyim mengatakan, “Menoleh yang dilarang dalam shalat itu ada dua macam: Pertama, menolehnya hati dari Allah SwT kepada selain Dia. Kedua, menolehnya mata. Kedua-duanya dilarang. Karena Allah akan tetap menghadap kepada hamba-Nya selama hamba itu menghadapkan diri dalam shalatnya. Apabila ia telah menoleh dengan hatinya atau dengan matanya, maka Allah pun akan berpaling darinya.”

Orang yang menoleh memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri di dalam shalatnya, seperti orang yang tidak menghadirkan hatinya dalam shalat. Sehingga ia akan berdiri dalam shalatnya tanpa hati dan Allah SwT akan berpaling darinya. Orang seperti ini jelas berbeda dengan orang yang menghadapkan hati dan jiwanya sepenuh hati kepada Allah SwT dalam shalatnya. Hatinya akan penuh dengan kekaguman kepada-Nya, jasadnya akan tunduk kepada-Nya, dan ia akan merasa malu jika berpaling dari Tuhan selain-Nya.

Maka, shalatnya orang yang suka menoleh-noleh dengan shalatnya orang yang khusyuk memiliki perbedaan yang besar. Karena salah satu dari keduanya menghadap dengan kelalaian hati sedangkan yang lainnya menghadap dengan sepenuh hati. Orang yang hadir sepenuh hati dalam shalatnya akan mendapatkan keringanan beban jiwanya, dan merasakan berkurangnya beban beratnya, ia akan mendapatkan semangat, ketenangan dan motivasi, bahkan, ia akan selalu rindu untuk melaksanakan sholat. Sebab, sholat baginya telah menjadi kesenangan, kenikmatan jiwa, dan tempat peristirahatan yang nyaman dari penatnya hiruk pikuk dunia. Rasulullah SaW bersabda,

Dijadikan kesenangan bagi diriku pada saat shalat. (HR. Nasa’i).

Melalui hadits ini Rasulullah SaW bahwa kesenangan yang membuat hati beliau tentram adalah shalat. Dengan masuknya beliau ke dalam ritual shalat hati beliau merasa tenteram. Dari hadits ini pula dapat diketahui bahwa shalat merupakan kesenangan, sekaligus peristirahatan jiwa. Bahkan ketika beliau datang menuju peristirahatan hati dari penatnya dunia, beliau bersabda,

Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat. (HR. Ahmad).

Maksudnya adalah iqamahlah, agar kita dapat merasakan istirahat dengannya dari kerasnya kesibukan, sebagaimana orang yang sedang kelelahan merasakan ketenangan ketika telah sampai di rumahnya dan beristirahat di dalamnya. Mereka akan mendapatkan kesejukan, jiwanya tentram, hati dan anggota badannya khusyu, dan ia menyembah Allah SwT seakan-akan ia melihat-Nya dan menampakkan Diri melalui firman-Nya.

Ketenangan Jiwa

Shalat merupakan kesempatan berdialog dengan Allah SwT. Makin intensif shalat yang dikerjakan, semakin intensif pula dialog itu. Dialog yang intensif dengan Allah ini akan menimbulkan kenikmatan spiritual berupa ketenangan batin dan kebahagiaan, yang kemudian berdampak positif pada kehidupan manusia.

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya. (Al-Mukminun [23]: 1-2).

Melalui ayat ini Allah SwT menyanjung hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah SwT menyebutkan keberuntungan dan kebahagiaan mereka, dengan amalan yang mereka kerjakan berupa kekhusyukan dalam shalatnya yaitu dengan menghadirkan hati di hadapan Allah SwT dan meresapi kedekatan-Nya, karena itu hatinya menjadi tentram dan jiwanya menjadi damai. 

Ketika melaksanakan shalat maka ketika itu pula manusia melepaskan segala kesibukan dan problematika dunia serta tidak memikirkan apa-apa selain Allah SwT dan ayat-ayat Al-Qur’an yang diulang-ulangnya. Pelepasan total dari segala problematika dan kegundahan hidup, tidak memikirkannya ketika melaksanakan shalat serta berdiri di hadapan Rabb-na dengan penuh kekhusyukan pada gilirannya akan melahirkan keadaan relaksasi total, kelegaan jiwa, dan ketenangan pikiran.

Menurut dr. Thomas H., shalat merupakan sarana paling penting yang dapat menyisakan ketentraman dalam jiwa dan menebarkan relaksasi pada saraf-saraf.

Relaksasi sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Usman Najati merupakan sarana yang dipergunakan oleh bagian psikoterapis modern dalam menyembuhkan berbagai gangguan kejiwaan. Biasanya relaksasi dapat dipelajari seseorang dengan latihan. Shalat lima waktu dalam sehari memberi kita sebaik-baik cara dalam latihan dan belajar relaksasi. Ketika seorang belajar relaksasi, biasanya ia mampu melepaskan diri dari tekanan saraf yang ditimbulkan oleh tekanan dan kecemasan hidup.

Rasulullah SaW berkata kepada Bilal ketika datang waktu shalat, Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat. Dalam hadits lain disebutkan bahwa bila menghadapi satu persoalan, biasanya beliau shalat. Beliau bersabda, Dijadikan kesenangan bagi diriku pada saat sholat.

Kondisi relaksasi dan ketenangan jiwa yang ditimbulkan shalat juga membantu melepaskan kegelisahan yang menjadi keluhan orang-orang yang menderita gangguan kejiwaan. Biasanya, kondisi relaksasi dan ketenangan jiwa yang ditimbulkan shalat akan berlangsung seusai melaksanakan shalat. Kadang, dalam kondisi relaksasi dan ketenangan jiwa itu, seseorang menghadapi beberapa persoalan atau situasi yang menimbulkan kegelisahan.

Berulangnya individu dihadapkan pada persoalan dan situasi yang menimbulkan kegelisahan pada saat munculnya kondisi relaksasi dan ketenangan jiwa seusai shalat sesungguhnya mengarah pada sirnanya kegelisahan itu secara bertahap. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Usman Najati hal tersebut akan mengarah pada keterkaitan persoalan atau situasi yang menimbulkan kegelisahan itu dengan kondisi relaksasi dan ketenangan jiwa. Inilah yang akan melepaskan individu dari kegelisahannya. Wallahu A'lam.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Gerakan IMM dalam Lintasan Peradaban (1) Oleh: Hilma Fanniar Rohman, Dosen Perbankan Syariah, Unive....

Suara Muhammadiyah

8 May 2024

Wawasan

Beridul Fitri untuk Menjadi Muslim yang Lebih Baik Oleh: Mohammad Fakhrudin Idul Fitri satu ra....

Suara Muhammadiyah

8 April 2024

Wawasan

Iktikaf, Masa Lalu dan Masa Kini Oleh: Al-Faiz MR Tarman, Dosen Universitas Muhammadiyah Klaten Ap....

Suara Muhammadiyah

5 April 2024

Wawasan

Menyambut Ramadhan Oleh: Saidun Derani Kedatangan bulan Ramadhan sangat ditunggu-tunggu oleh orang....

Suara Muhammadiyah

8 February 2024

Wawasan

Bermuhammadiyah Ala Abdul Mu’ti Oleh: Saidun Derani Pada kesempatan Silaturahmi dan Halal Bi....

Suara Muhammadiyah

24 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah