Sinematografi Kultumsinema: Sebuah Wakaf Literasi
Oleh: Khafid Sirotudin
Seniman dan budayawan termasuk kelompok minoritas di persyarikatan, manakala kita bandingkan dengan profesi guru/dosen/akademisi, mubaligh/ustadz, dokter/tenaga kesehatan, tenaga kependidikan dan relawan sosial kemanusiaan. Setidaknya kondisi ini bisa dirunut dari minimnya pekerja seni, sastrawan, budayawan dan pegiat peradaban pada Lembaga Seni, Budaya dan Olahraga (LSBO), salah satu UPP (Unsur Pembantu Pimpinan). Baik yang berada di struktur kepemimpinan tingkat Pusat, Wilayah, Daerah, Cabang apalagi Ranting. Sebuah realitas sosial yang seiring dan sebangun dengan minimnya mubaligh atau ustadz humoris di Muhammadiyah.
Pada era Orde Lama, kita mengenal beberapa tokoh seniman, budayawan, sastrawan kelas nasional lahir dari lingkungan Ikatan Seniman dan Budayawan Muhammadiyah (ISBM). Di tengah pertentangan ideologis pada masa itu, yaitu antara “art for art’ dengan “art for people”. Diskursus “halal-haram” pun pernah mewarnai kehidupan berorganisasi di masa lalu, terkait pemasangan gambar (seni lukis) wajah pendiri persyarikatan, K.H. Ahmad Dahlan. Tidak terkecuali munculnya gerakan konservatisme Islam yang mengharamkan seni musik dan sempat mengemuka dalam dua dasawarsa terakhir. Bagi warga persyarikatan Muhammadiyah, hukum (fikih) soal seni sudah selesai dan terjawab tuntas di buku Himpunan Putusan Tarjih.
Sejak lama berbagai kegiatan seremonial di lingkungan persyarikatan di setiap level struktural selalu menampilkan aktivitas seni –minimal seni suara– yaitu tilawah al-Quran dan menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Sang Surya dan atau Mars Ortom. Logo dan lagu tema Muktamar diciptakan dan dinyanyikan, meskipun lirik, chord dan string-nya tidak selalu dibuat oleh warga persyarikatan. Ebiet G. Ade pemusik legendaris, alumni SMA Muh1 Yogyakarta, pernah menciptakan satu lagu khusus untuk IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah). Sayangnya saya lupa judul maupun lirik lagunya. Seingat saya lirik dan lagu karya Ebiet G. Ade itu pernah disampaikan Laela Abadiningsih, salah satu instruktur IPMawati Jawa Tengah, saat mengikuti Pelatihan Instruktur (LI-I) IPM.
Sinematografi adalah ilmu dan seni yang mempelajari teknik pengambilan dan penggabungan gambar menjadi serangkaian gambar untuk menyampaikan sebuah cerita atau pesan visual. Sinematografi bisa juga diartikan sebagai proses merekam video dalam pembuatan film. Kata sinematografi sendiri berasal dari bahasa Yunani : kinema (gerakan) dan graphein (merekam). Karya sinematografi merupakan salah satu sub sektor ekonomi kreatif, dimana hasil karyanya dapat berupa film dokumenter, film cerita, reportase, iklan dan konten kreatif lainnya (film kartun, animasi, dsb).
Kultumsinema, sebuah komunitas seniman sinematografi yang berdiri tanggal 6 Desember 2019 di Weleri. Diinisiasi oleh Sani Ar-Rahman, seorang aktivis Pemuda Muhammadiyah yang alumni Madrasah Muallimin Yogyakarta. Markas besarnya ada di lantai 2 Toko Rokhies (Kedai Sedjati) seberang jalan kantor Polsek Weleri. Kultumsinema lahir sebagaimana kelahiran berbagai AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) di lingkungan persyarikatan. Dimana kebanyakan AUM –untuk tidak mengatakan semuanya– digagas, didirikan dan dikembangkan oleh para tokoh kreatif yang tidak memiliki latar belakang keilmuan dan profesi yang sebidang dengan AUM yang didirikan.
Setidaknya saya banyak menjumpai beragam AUM bidang kesehatan dan pendidikan yang ada di daerah Kendal dan Weleri. Kelahirannya tidak diinisiasi oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan guru (IKIP), dokter atau bidang kesehatan lainnya. Misal RSI Muhammadiyah Kendal di Weleri yang diinisiasi dan digerakkan oleh KH. Abdul Barie Shoim dan Haji Muslim. Rumah Bersalin dan Balai Pengobatan (RB/BP) Aisyiyah Truko (sekarang RS PKU Aisyiyah Kendal) yang dirintis oleh Hj. Husnul Khotimah yang bukan seorang dokter, bidan maupun perawat. Begitu juga dengan MWB (Madrasah Wajib Belajar) “MI Klenteng” yang saat ini menjadi SD Muhammadiyah Weleri serta BAKESOS (Balai Kesejahteraan Sosial).
Pada mulanya Kultumsinema menggarap konten dakwah Kultum (Kuliah Tujuh Menit), sebuah “trademark” pengajian singkat ala Muhammadiyah, dalam bentuk audio-visual berdurasi 30 hingga 60 detik. Pemirsa bisa menonton dan menelusuri beberapa karya Kultumsinema ke dalam youtube channel. Kemudian berkembang memproduksi film pendek dan film dokumenter berdurasi cukup panjang. Boleh Koma Jangan Titik (10 menit), Buya Hamka “The Doctor” (16 menit), PKO 1920 (54 menit) dan Titir (61 menit) adalah empat judul film yang telah diproduksi Kultumsinema.
Film Titir bahkan telah dijadikan obyek penelitian oleh beberapa mahasiswa S1 dan S2 menjadi karya Skripsi dan Tesis. Film Titir oleh Lembaga Seni, Budaya dan Olahraga (LSBO) PP Muhammadiyah pernah diusung dalam acara Nonton Bareng dan Diskusi Film di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng Jakarta, Jumat 7 Oktober 2022. Sebuah episode perjalanan kreativitas sinematografi bagi aktivis Kultumsinema yang tidak bakal terlupakan.
Betapapun karya sinematografi yang telah, sedang dan akan dihasilkan oleh Kultumsinema Weleri memberikan sebuah pelajaran penting tentang hakekat dan makna sedekah jariyah. Dimana sebuah karya sinematografi berupa film, animasi dan beragam konten kreatif lainnya dapat menjadi sarana wakaf literasi yang berdimensi jangka panjang. Boleh jadi sutradara, penulis naskah, pengambil gambar, editor, penata musik, pemain film dan para donatur/sponsor yang ikut membiayai produksi film tersebut telah meninggal dunia, Namun jejak digital karya sinematografi yang telah dihasilkan dan tersimpan di “meta data” akan terus menaburkan nilai manfaat dan masih bisa dinikmati oleh generasi Alpha dan Beta di masa mendatang hingga H minus 1 kiamat.
Sebuah wakaf literasi mampu mengalirkan pahala bagi setiap insan yang berkontribusi dan ikut terlibat di dalamnya, sampai di akhirat kelak. Wallahu’alam