YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Induk Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM) secara resmi meluncurkan lembaga pendidikan dan pengembangan microfinance Muhammadiyah bernama BTM Institute, serta dialog nasional dengan tema "Transformasi Membangun Sumber Daya Manusia (SDM) Microfinance Muhammadiyah" pada Senin (23/6). Acara ini disiarkan langsung melalui TVMu Yogyakarta.
Upaya ini dilakukan untuk memperkuat Gerakan Microfinance Muhammadiyah (GMM) dalam mendirikan satu BTM di tiap Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di lingkungan Persyarikatan. Selain itu, kegiatan ini juga untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme para pengelola, pengurus, pengawas serta pengawas syariah BTM dalam mengelola lembaga keuangan mikro syariah secara efektif dan berintegritas.
Ketua Induk BTM, Achmad Su’ud, dalam sambutannya menyampaikan bahwa keberadaan tenaga ahli yang melatih dan mengedukasi di lingkungan BTM selama ini masih belum memadai. Sedangkan perkembangan microfinance Muhammadiyah setiap tahun mengalami peningkatan dari sisi jumlah dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, diperlukan tenaga ahli atau pelatih yang mampu mendorong peningkatkan kualitas dan kompetensi para pengelola, pengurus, pengawas serta dewan pengawas syariah BTM. Untuk mendorong hal tersebut, dibutuhkan program pendidikan dan pelatihan microfinance Muhammadiyah secara terencana dan terukur dengan kurikulum dan silabus yang aplikatif.
Selain itu, kompetensi para calon pengurus, pengawas dan pengawas syariah juga perlu diuji melalui mekanisme fit and proper test. Dengan demikian, kehadiran BTM Institute menjadi kebutuhan nyata yang harus dipenuhi demi pengembangan BTM yang berkelanjutan.
“Melalui BTM Institute ini sekaligus sebagai media dalam literasi, edukasi, advokasi dan konsultasi dalam pengembagan BTM sebagai pusat keuangan Muhammadiyah,” papar Achmad.
Disamping itu, Wakil Ketua I Lembaga Pengambang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (LP UMKM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafrudin Anhar, mendukung adanya BTM Institute. Ia berharap agar keberadaan BTM Institute dapat mengadaptasi peran Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) milik Bank Indonesia di Jakarta. Dengan demikian, BTM Institute diharapkan mampu menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan bagi calon karyawan, pengawas, serta pengawas syariah BTM.
“Selain itu, karena BTM dalam nomenklatur organisasi Persyarikatan yang terbaru BTM berada di bawah koordinasi LP UMKM, saya akan mendorong agar LP UMKM di tingkat wilayah dan daerah menjadikan pendirian BTM sebagai program prioritas, khususnya bagi PDM yang belum memiliki BTM," ujar Syafrudin.
Manajemen Profesional
Dalam mengelola BTM yang memiliki jaringan sangat luas, diperlukan kemampuan manajemen yang profesional, disertai penerapan prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko yang baik. Oleh karena itu, sumber daya manusia (SDM) menjadi garda terdepan dalam menentukan kemajuan atau kemunduran BTM. Apalagi, tantangan dan dinamika microfinance saat ini, seperti isu kepercayaan, regulasi, persaingan, digitalisasi, dan perkembangan teknologi menuntut SDM microfinance, khususnya di lingkungan BTM, untuk mampu bertransformasi dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Direktur BTM Institute, Agus Yuliawan, dalam dialog nasional menegaskan bahwa tantangan kedepan dalam transformasi BTM akan sangat besar, baik internal dan eksternal. Terutama dalam pengembangan pilar ketiga (bidang ekonomi) Muhammadiyah, BTM dapat menjadi cerminan dalam membangun ekosistem ekonomi Muhammadiyah di akar rumput sebagai role model closed loop economy. Oleh karena itu, transformasi SDM menjadi prioritas BTM selama ini untuk menggerakan BTM secara berkelanjutan dan profesional.
Sementara itu, Analis Kebijakan Microfinance dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Iwan Rudi Saktiawan, menambahkan bahwa selama ini terdapat persepsi yang keliru dan menyesatkan dalam memaknai microfinance. Banyak yang beranggapan bahwa institusi keuangan mikro syariah (IKMS) tidak perlu besar karena melayani pelaku usaha mikro. Sebaliknya, karena melayani pengusaha mikro, IKMS seharusnya memiliki kapasitas yang besar. Iwan menilai bahwa BTM telah mengambil langkah positif dalam membangun persepsi yang benar terkait hal ini.
Menurut Iwan, keberadaan BTM Institute sangat relevan untuk mendukung pengembangan BTM, terutama saat masih terdapatc tantangan dalam pengelolaan BTM yang belum sepenuhnya profesional dan masih membutuhkan manajemen SDM yang berkualitas serta tata kelola yang baik.
Sementara itu, Ikhwan A. Basri, dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) memberikan analisis mengenai tantangan dan peluang BTM dari aspek kesyariahan. Ia mengungkapkan bahwa koperasi syariah sebenarnya telah berdiri sebelum Bank Muamalat, namun sayangnya, ketika Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 diterbitkan, regulasi tersebut tidak mencakup koperasi syariah, termasuk BTM. Hal ini menyebabkan isu kesesuaian syariah telah muncul sejak awal berdirinya BTM dan koperasi syariah.
Selain itu, regulasi terkait pengawasan syariah terhadap koperasi juga datang terlambat. Bahkan pada awalnya, koperasi syariah kurang mendapat perhatian dari DSN MUI, Kementerian Agama, dan Kementerian Keuangan. "Realitas inilah yang menjadikan pengembangan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada koperasi atau BTM perlu disempurnakan dengan baik," tegasnya.
Lebih lanjut, Ikhwan menyatakan bahwa DSN MUI siap berkolaborasi dengan BTM Institute dalam menyusun program pelatihan bagi DPS BTM guna meningkatkan kualitas pengawasan kesyariahan sesuai dengan kebutuhan aktual BTM saat ini. (AY/m)