Sumpah Jabatan: Makna Konstitusional dan Spiritual
Oleh: Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum UAD
SUMPAH JABATAN, boleh jadi merupakan bagian ritual dari prosesi pelantikan seorang pejabat yang paling kurang diperhatikan. Apalagi oleh orang lain, sangat boleh jadi, pejabat yang diambil sumpahnya pun hanya memperhatikan saat persiapan pengambilan sumpah dan saat dilakukannya pengambilan sumpah. Sesudah itu, wallahu a’lamu, hanyalah Allah dan mereka yang dilantik dan diambil sumpahnya yang tahu. Apakah mereka menghayati, memahami dan menjaganya secara sungguh-sungguh atau hanya sekadar memenuhi “proses ritual” semata yang tidak membawa makna apapun terhadap mereka, apalagi terhadap rakyat, negara dan bangsa.
Tulisan sederhana ini penulis angkat berkaitan dengan fenomen semakin banyaknya pejabat yang melanggar hukum, baik dalam ujud tindak pidana korupsi, melalaikan tugas, tidak melakukan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat dan kelalaian lainnya. Alih-alih para pejabat publik mau memahami, menghayati dan menjaga sumpah, bahkan umumnya masyarakat menduga pejabat publik secara sengaja tidak mempedulikan makna konstitusional, makna yuridis-formal dan makna sipiritual dari sumpah dan janji mereka. Kiranya tidaklah perlu dilakukan penelitian terlebih dulu untuk menyatakan hal ini. Cukuplah bukti dugaan masyarakat itu denga banyaknya pejabat publik, dari kepala desa, kepala daerah, menteri dan ASN, TNI, Polri dan para pengemban amanat lainnya yang telah diproses di pengadilan dan telah dijatuhi hukuman. Demikian pula mereka yang sedang berdebar-debar tanpa henti karena sedang menantikan hari “pemberian balasan” di meja hijau pengadilan.
Sumpah Jabatan dan Impeachment
Penting kiranya difahami bahwa pelanggaran dari sumpah jabatan dapat bermuara pada pemakzulan (impeachment). Hampir semua negara menerapkan sumpah dan janji bagi para pengemban jabatan publik. Penulis peroleh beberapa contoh dari negara-negara yang telah menerapkan hukuman terhadap pelanggar sumpah jabatan.
Pertama, Amerika Serikat (AS). Dasar Hukum tentang sumpah jabatan adalah Konstitusi AS (Pasal II, Bagian 4). Dalam ketentuan ini juga dimungkinkan adanya pemakzulan Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat sipil lainnya atas tuduhan pengkhianatan, suap, atau kejahatan tinggi lainnya (high crimes and misdemeanors). Makna Sumpah Jabatan Presiden AS adalah bersumpah untuk "menjaga, melindungi, dan mempertahankan Konstitusi AS." Contoh kasusnya adalah Richard Nixon (1974): Proses pemakzulan diawali oleh pelanggaran sumpah jabatan karena penyalahgunaan kekuasaan (skandal Watergate). Nixon mengundurkan diri sebelum pemungutan suara. Demikian juga Donald Trump (2019, 2021): Dua kali dimakzulkan oleh DPR (pertama karena penyalahgunaan kekuasaan dan obstruksi Kongres; kedua karena menghasut yang menimbulkan kerusuhan), Namun demikian Senat AS akhirnya tidak memberhentikan Trump.
Kedua, Brasil. Dasar hukum pengambilan sumpah jabatan adalah Konstitusi Brasil yang memuat ketentuan pemakzulan presiden atas pelanggaran hukum dan sumpah jabatan, terutama tindakan yang merugikan keuangan negara. Adapun contoh kasusnya adalah Dilma Rousseff (2016) yang dimakzulkan karena dugaan manipulasi anggaran negara, yang dianggap sebagai pelanggaran sumpah jabatan.
Ketiga, adalah Korea Selatan. Dasar hukum pengambilan sumpah jabatan adalah Konstitusi Korea Selatan. Dalam kaitan ini Majelis Nasional diberi kewenangan untuk memakzulkan presiden jika terjadi pelanggaran hukum atau penyalahgunaan kekuasaan. Contoh Kasus pemakzulannya adalah Park Geun-hye (2017) yang dimakzulkan oleh Majelis Nasional dan diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi atas tuduhan korupsi dan pelanggaran sumpah jabatan.
Keempat adalah Filipina. Dasar hukum pengambilan sumpah jabatan adalah Konstitusi Filipina. Konstitui Filipina juga memberi kemungkinan pemakzulan terhadap presiden atas tindak pengkhianatan, korupsi, pelanggaran serius terhadap konstitusi, atau pelanggaran sumpah jabatan. Contoh kasusnya Joseph Estrada (2001) yang dipaksa mengundurkan diri setelah proses pemakzulan terkait tuduhan korupsi dan pelanggaran sumpah jabatan.
Adapun yang keenam, adalah Indonesia. Dasar hukum pengambilan sumpah jabatan Preiden dan Wakil Presiden adalah Pasal 9 UUD NRI 1945 yang mengatur tentang sumpah atau janji yang harus diucapkan oleh Preiden dan Wakil Presiden terpilih. Sedangkan Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimakzulkan oleh MPR atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, suap, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela yang mencakup pelanggaran sumpah jabatan. Adapun contoh kasus dari konsekuensi pelanggaran sumpah jabatan adalah peristiwa pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001. Pemakzulan ini didasarkan pada tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun demikian ada pendapat pakar yang beranggapan bahwa pemakzulan itu tidak berdasarkan pada pemahaman konstitusi yang benar. Namun pendapat ini tidak mendapat dukungan dari para pakar hukum lainnya.
Teks Sumpah Jabatan dalam Konteks
Dalam konteks konstitusi dan hukum di Indonesia, makna normatif sumpah jabatan adalah merupakan pernyataan resmi yang diucapkan oleh seseorang yang akan menduduki jabatan publik atau jabatan tertentu, dengan berjanji untuk menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan, etika, dan nilai-nilai moral. Sumpah jabatan dilakukan dalam kesadaran dan dasar keagamaan, yang menggunakan frasa “Demi Allah” atau pernyataan “Berjanji” bagi yang tidak beragama Islam.
Penting kiranya penulis contohkan redaksi dari sumpah atau janji agar masyarakat tidak hanya mengetahui seseorang telah disumpah atau berjanji sebagai pejabat publik namun masyarakat juga harus mengawasi bagaimana pejabat tersebut dalam menjaga sumpah atau janjinya. Sekadar contoh penulis kutipkan Pasal 9 Undang Undang Dasar Negara RI 1945 yang mengatur Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatannya, bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Redaksi Sumpah Presiden dan Wakil Presiden;
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalanan segala Undang-undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa" Ketentuan dalam Pasal 9 UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa jika yang dilantik adalah pejabat non-muslim maka istilah sumpah diganti dengan istilah janji. Dengan mengangkat sumpah yang redaksinya ditentukan oleh Pasal 9UUD NRI 1945.
Sementara itu untuk jabatan Menteri wajib menyatakan sumpah setia dalam pengangkatannya sebagai pejabat public yang dituangkan dalam persyaratan sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 Pasal 22 (yang terakhir diperbaiki dengan UU Nomor 61 Tahun 2024) angka (2) huruf b: “Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita proklamasi kemerdekaan.” Sedangkan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1975 yang redaksi sumpah /janjinya berbunyi; “Demi Allah/Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah/ berjanji: bahwa saya, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah ….. bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara”.
Makna Filosofis dan Spiritual
Sumpah jabatan mengandung dimensi moral dan spiritual, yang bertujuan untuk memastikan bahwa pejabat melaksanakan tugas dengan integritas, keadilan, dan tanggung jawab terhadap rakyat serta negara. Sumpah jabatan sejalan dengan proses pemberian otoritas melalui politik demokrasi maupun melalui politik birokrasi yang harus dipertanggung jawabkan. Intinya adalah “kedaulatan ada di tangan rakyat” maka para pejabat publik yang bersumpah maupun berjanji harus benar-benar mengutamakan kepentingan Bangsa dan Negara serta Rakyat Indonesia. Meskipun demikian pada hakikatnya sumpah dan atau janji adalah juga bersumpah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman. Dalam kaitan Allah Swt berfirman;
وَ اَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَ يْمَا نَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّٰهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ
"Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya, Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (QS. An-Nahl 16: Ayat 91)
Sejauh ini umunya kita memahami sumpah dan atau janji diantaranya didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang intinya bahwa ciri-ciri dari orang munafik adalah jika berkata dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat berkhianat. Artinya, satu saja dari tiga perilaku itu ada pada seseorang maka ia masuk dalam kategori orang munafik. Ada juga hadits lain yang lebih keras peringatannya. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Imam Muslim ini artinya; “Barang siapa tidak menepati janji seorang Muslim, niscaya ia mendapat laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan tebusan.”
Demikian tegas firman Allah dan juga Hadits Nabi Muhammad Saw tersebut diatas. Pertanyaannya: “mengapa sumpah dan janji pejabat publik Indonesia demikian mudah pudar dan dilalaikan, baik oleh pejabatnya itu sendiri maupun oleh masyarakat?” Tentu kita perlu memahami secara baik dalam konteks dampak konstitusional, hukum dan juga makna sipiritual dari sumpah dan janji. Dalam kaitan pertanyaan diatas, situasi sosial politik kita saat ini kurang mendukung dalam menjaga konsistensi sumpah dan janji. Ada pemeo dalam Bahasa Jawa yang mengatakan; “Apik meneng – elek ya meneng.” Dari pemeo ini kita didorong untuk tetap diam dalam hal baik maupun buruk. Lebih dari itu, kadang kita mendengar khutbah atau ceramah yang kurang memberi dukungan kepada masyarakat agar memiliki motivasi dan mau mengawasi sumpah dari para pejabat publik. Diantara pernyataan yang penulis maksud adalah pernyataan; “Janganlah kita mengkritik atau menghina orang, termasuk mengkritik atau menghina pejabat.” Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang motivasinya untuk menagih janji dan sumpah dari para pejabat public lemah, khutbah atau ceramah seperti ini tidaklah bijak.
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Shahabat Ali bin Thalib r.a. pernah menyampaikan sindiran kepada lawan politiknya yang mengajak berdamai --karena beliau tahu motivasinya untuk mengulur-ulur waktu. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata; ; “Kalimatu haqqin uriidu biha baathil” (Kalimat yang haq (sayangnya) digunakan untuk tujuan yang batil.” Jadi, tidak semua kata-kata yang nampak bijak tepat untuk dijadikan dalil bagi kebajikan. Wallahu a’lamu.*