WAJO, Suara Muhammadiyah - Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan (PWM) Sulawesi Selatan, Prof Arifuddin Ahmad menyamaikan hikmah Syawalan pada Syawalan 1445 Hijriah yang digelar oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Wajo di Belawa, Ahad (14/4).
Prof Arifuddin menyebut bahwa kegiatan Syawalan sudah menjadi identitas Muhammadiyah dalam konteks Idul Fitri. Walau kata dia, yang umum adalah kegiatan silaturahim, tetapi itu tidak menjadi kegiatan khusus dalam momen tertentu di Muhammadiyah.
"Suasana lebaran oleh bangsa kita banyak istilahnya, ada yang dikenal dengan Halal bi Halal yang konon sejarahnya adalah masa-masa konsolidasi di awal masa kemerdekaan. Ada juga yang disebut open house," kata Guru Besar Ilmu Hadits UIN Alauddin itu.
Menurutnya, kegiatan Syawalan yang setiap tahun dilakukan adalah bagian dari metode dakwah Muhammadiyah untuk menggembirakan umat. Oleh karena itu, kata dia, "Jika ada mubalig Muhammadiyah yang suka marah-marah atau menakut-nakuti orang ini perlu ditinjau," sambungnya.
Ia melanjutkan bahwa makna dari Syawalan adalah peningkatan. Sehingga ia berharap pada bulan Syawal ini ibadah harus meningkat dari sebelumnya.
Sementara dalam konteks halal bi halal, Dosen UIN Alauddin Makassar itu menjelaskan jika dilihat dari segi bahasa, kata halal berasal dari kata "hala" bisa diartikan kebalikan dari kata "har" yang berarti sesuatu yang halal. Tetapi jangan diartikan bahwa yang haram semuanya menjadi halal setelah hahal bi halal.
"Tholabul halal bitaliqul haram. Sesuatu yang kita inginkan halal itu dengan jalan yang halal," katanya.
Ia melanjutkan bahwa sesungguhnya kata hala itu berarti mencairkan yang beku, menyambung yang putus, dan meluruskan yang kusut. "Jadi kalau di Musyda, Musycab masih ada yang kusut, nah, ini momen yang baik untuk bisa dicairkan, diluruskan, disambung," harap Prof Arifuddin.
Di sinilah menjadi titik temu antara silaturahim yang berarti menyambung kekeluargaan. Tetapi bukan berarti tidak dalam makna silaturahmi. Sebab kata dia, di Muhammadiyah lebih dikenal silaturahim sesuai hadis Nabi. Ia juga mengatakan bahwa idulfitri berarti mengembalikan kefitrahan sehingga ketakwaan yang diraih pada bulan Ramadan bisa lebih meningkat.
Tidak hanya itu, Prof Arif juga mengingatkan tiga hal yang dikhawatirkan Nabi Muhammad SAW. Ketiga hal tersebut, menurut dia adalah kecenderungan beragama yang condong ke arah ekstrem, seperti Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
Pertama, Yahudi. Umat Islam harus mewaspadai karakter Yahudi yang sombong dan merasa paling benar. Kecenderungan ini, menurutnya, dapat dilihat dari sikap orang yang merasa benar sendiri dan mudah menghakimi orang lain sebagai bidah, kafir, atau neraka.
"Jadi kalau ada orang beragama diaji yang merasa benar yang lain salah, apalagi suka bilang bidah, kafir, neraka, itu cara beragama yahudi," jelas Guru Besar Ilmu Hadits UIN Alauddin itu.
Kedua, Nasrani. Prof. Arifuddin menyinggung karakter Nasrani yang suka melanggar aturan demi mencapai kedamaian. Kecenderungan ini, menurutnya, dapat dilihat dari orang yang mudah mengubah aturan agama untuk kepentingan pribadi dan menganut liberalisme.
"Jadi kalau ada orang yang suka mengubah aturan untuk kepentingannya, itu adalah karakter orang nasrani. Karena itu mereka disebut cara agama yang liberal," ujarnya.
Ketiga, Majusi. Prof. Arifuddin menjelaskan bahwa Majusi adalah penyembah berhala yang menjadikan pengalaman hidup atau pemikiran sebagai dasar keyakinan, bukan wahyu. Kecenderungan ini, menurutnya, dapat dilihat dari orang yang menjadikan harta, kekuasaan, atau hal lain di luar Allah sebagai pusat hidupnya.
"Kalau orang yang mempengaruhi hidupnya lebih utama menurut keyakinannya, maka orang yang disembah. Maka firaun itu menganggap dirinya alarabuukamula'ala. Karena orang-orang yang di sekitarnya itu merasa bahwa dirinyalah yang menentukan hidupnya. Kalau sudah mati bikin patungnya. Baru disembah lagi," terang Prof Arifuddin.
Prof Arifuddin menegaskan bahwa Islam Wasatiyah yang diajarkan Muhammadiyah adalah solusi untuk terhindar dari kecenderungan ekstrem tersebut. Islam Wasatiyah, menurutnya, mengajarkan keseimbangan antara akidah, syariah, dan akhlak, serta menjunjung tinggi toleransi dan persaudaraan. (Haris/Cris)