YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Program Ramadhan di Kampus (RDK) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) 1446 H kembali menghadirkan sesi ceramah tarawih yang inspiratif. Pada ceramah tarawih ke-11 yang berlangsung di Masjid Islamic Center UAD pada Senin (11/03/2025), H. Hendra Darmawan, S.Pd., M.A., yang merupakan Anggota Majelis Tabligh PWM DIY serta Dosen Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) UAD, Ia menyampaikan kajian bertajuk Puasa sebagai Spiritual Retreat.
Dalam ceramahnya, Hendra menyoroti makna puasa sebagai sebuah proses retreat atau pengasingan diri sementara demi peningkatan spiritualitas. Ia merujuk pada pemikiran Profesor Ismail Raji Al-Faruqi yang menjelaskan bahwa retreat dalam konteks Islam berarti mengasingkan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan ketahanan spiritual.
Menurut Hendra, praktik puasa telah ada dalam berbagai agama dan tradisi sebelum Islam. Dalam budaya Arab pra-Islam, bulan Ramadan sudah dianggap sebagai waktu jeda dari konflik dan peperangan. Masyarakat saat itu menghormati bulan Ramadan dengan tidak menumpahkan darah, menghindari konflik, serta memastikan keamanan hasil panen dari perampasan.
Selain itu, Ia juga mengingatkan bagaimana Rasulullah SAW melakukan uzlah atau pengasingan diri di Gua Hira sebelum menerima wahyu pertama. Menurutnya, tindakan tersebut menunjukkan bahwa kesunyian dan perenungan merupakan bagian dari perjalanan spiritual menuju kesadaran yang lebih tinggi.
Hendra menjelaskan bahwa puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga merupakan latihan self-discipline dan self-awareness. Ia mengutip pandangan Al-Faruqi yang menyebutkan bahwa menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri selama Ramadan adalah cara untuk melatih kontrol diri terhadap dua kebutuhan dasar manusia yang sering kali menjadi pintu masuk menuju kemaksiatan.
Ia juga menyinggung fenomena sosial saat ini, di mana gaya hidup konsumtif dan pamer kemewahan kerap menjadi tren. “Hari ini kita melihat bagaimana orang berlomba-lomba menunjukkan apa yang mereka makan dan minum, bahkan ada pejabat yang terang-terangan memamerkan minuman mahal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam,” ujarnya. Dalam konteks ini, puasa menjadi latihan untuk meredam hawa nafsu dan membangun empati terhadap mereka yang kelaparan.
Salah satu poin penting dalam ceramah ini adalah bagaimana puasa dapat membangun kesadaran akan kefanaan hidup. Hendra mengutip ayat dalam Al-Qur’an: Qul innal mautalladzi tafirruna minhu fa-innahu mulaqikum (Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya, pasti akan menemui kalian). Menurutnya, melalui puasa, seseorang dapat lebih memahami keterbatasan fisiknya dan menjadi lebih siap menghadapi realitas kehidupan yang tidak abadi.
Ia menekankan bahwa berpuasa mengajarkan umat Islam untuk menghadapi perubahan dan ketidakpastian dengan lebih siap. “Hari ini mungkin kita dalam keadaan cukup, tetapi bagaimana jika keadaan berubah? Maka latihan melalui puasa ini menjadikan kita lebih tangguh dalam menghadapi segala kondisi,” jelasnya.
Sebagai penutup, Hendra mengutip pemikiran Said Nursi tentang tingkatan ketakwaan, yaitu: Pertama, Takwa dari kesyirikan yaitu Menjaga keimanan yang murni tanpa menyekutukan Allah. Kedua, Takwa dari dosa besar yaitu Menjauhi perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti durhaka kepada orang tua. Ketiga, Takwa dengan menjaga hati yaitu Mengisi hati dengan kecintaan hanya kepada Allah. Keempat, Takwa karena takut akan azab yaitu Beribadah sebagai bentuk perlindungan dari siksa neraka. Kelima, Takwa dengan mengendalikan kemarahan yaitu Tidak mudah terpancing emosi dan selalu menjaga ketenangan. (Fina Dwi/N)