Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Apakah larangan Taliban terhadap pendidikan tinggi perempuan didasarkan pada ajaran Islam yang sejati, atau lebih pada pertimbangan budaya, politik, atau bahkan interpretasi sempit terhadap tradisi masa lalu?
Memang, budaya, politik, dan norma-norma tradisional mungkin berperan dalam keputusan ini. Namun, kita tidak boleh mengabaikan pesan utama Al-Qur`an yang secara eksplisit mendorong pencarian ilmu pengetahuan. Melarang anak perempuan dari pendidikan adalah sebuah kemunduran yang tragis di era modern ini.
Meskipun mungkin ada masa ketika peran gender lebih kaku, dengan perempuan lebih banyak berada di ranah domestik, masyarakat telah berevolusi. Al-Qur`an tidak hanya mengakomodasi perubahan ini, tetapi juga mendorongnya. Pada masa Nabi Muhammad, perempuan Muslim, termasuk istri beliau, aktif di berbagai bidang kehidupan. Mereka hadir di medan perang, berdagang di pasar, dan berkontribusi pada masyarakat secara luas.
Ketika pendidikan mulai berkembang pesat, sesuai dengan semangat Al-Quran, perempuan Muslim juga ikut serta. Sejarah Islam kaya akan tokoh-tokoh cendekiawan perempuan yang berperan sebagai guru dan ulama. Banyak ulama besar pria bahkan secara terbuka mengakui peran penting guru perempuan mereka dalam perjalanan intelektual mereka.
Singkatnya, larangan Taliban terhadap pendidikan tinggi perempuan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam yang mendorong kemajuan dan kesetaraan dalam mencari ilmu.
Islam sejak awal sangat menekankan pentingnya pendidikan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Perempuan di masa awal Islam juga aktif berkontribusi dalam masyarakat, meskipun dalam batasan budaya patriarki pada saat itu. Namun, seiring waktu, muncul larangan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan. Pertanyaannya, dari mana asal larangan ini?
Sebagian besar larangan ini muncul dari ketakutan akan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Pria dan wanita dianggap memiliki daya tarik alami satu sama lain, baik dalam konteks pernikahan maupun di luar nikah. Islam sangat melarang perzinahan, dan Al-Qur`an secara tegas mengutuknya. Para ulama mulai berpendapat bahwa segala hal yang berpotensi menjerumuskan seseorang pada dosa harus dihindari atau dibatasi. Jadi, jika laki-laki dan perempuan bercampur, mereka berpikir itu bisa mengarah pada perzinahan. Untuk mencegah dosa ini, mereka merasa perlu membatasi pergaulan bebas antara kedua gender sejak awal.
Pemikiran ini kemudian diperluas ke dunia kerja, di mana dianggap tidak praktis bagi pria dan wanita untuk bekerja bersama karena dikhawatirkan dapat memicu godaan. Solusinya, laki-laki diizinkan untuk bekerja di luar rumah, sementara perempuan didorong untuk tetap di rumah demi menjaga "kesucian" masyarakat. Pola pikir serupa juga diterapkan di dunia pendidikan. Para ulama merasa bahwa jika pria dan wanita belajar bersama, mereka rentan terjerumus dalam kesalahan. Oleh karena itu, lebih baik hanya laki-laki yang mendapatkan akses ke pendidikan formal, sementara perempuan tetap di rumah. Meskipun keputusan ini mengorbankan akses perempuan terhadap pendidikan, logikanya adalah bahwa setidaknya mereka akan terhindar dari dosa. Inilah dasar pemikiran yang membentuk kebijakan pemisahan gender dalam pendidikan dan pekerjaan di banyak komunitas Muslim.
Agama mengajarkan keseimbangan, bukan kesempurnaan. Islam mengakui bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Tuhan, yang Maha Pengasih dan Penyayang, memberikan ruang bagi kita untuk belajar dan berkembang. Al-Qur`an bahkan menggambarkan Tuhan sebagai Al-Halim, Yang Maha Penyantun. Dia melihat kesalahan kita, namun tetap memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Masalah larangan wanita di masjid menunjukkan kompleksitas ini. Di satu sisi, memisahkan laki-laki dan perempuan mungkin terlihat sebagai cara untuk menjaga fokus ibadah dan menghindari gangguan. Namun, di sisi lain, hal ini merampas hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan agama dan pengalaman spiritual yang sama.
Keseimbangan adalah kunci. Kita tidak boleh terjebak dalam aturan kaku yang mengorbankan nilai-nilai penting seperti kesetaraan dan keadilan. Masjid seharusnya menjadi tempat yang inklusif, di mana semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, bisa merasakan kehadiran Tuhan dan memperdalam pemahaman agama.
Mari kita ingat bahwa Islam adalah agama yang penuh kasih dan kebijaksanaan. Mari kita berusaha menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan spiritual bagi semua umat, sambil tetap menghormati nilai-nilai luhur agama.
Memisahkan laki-laki dan perempuan di universitas mungkin terlihat sebagai cara untuk menghindari "gangguan" dan menjaga fokus pada studi. Namun, dampak negatifnya jauh lebih besar. Pendidikan tinggi bagi perempuan membuka pintu bagi mereka untuk menjadi pemimpin, inovator, dan pemikir kritis. Tanpa partisipasi penuh perempuan, masyarakat tidak akan mencapai potensi maksimalnya.
Agama kita tidak menuntut kesempurnaan, tetapi mendorong kita untuk mempertimbangkan manfaat jangka panjang dan dampak sosial dari setiap tindakan. Mari kita hindari pemahaman agama yang dangkal dan kaku. Aturan agama dirancang untuk membimbing kita, bukan membatasi kita. Fleksibilitas dan nuansa abu-abu adalah bagian penting dari penerapan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kebijaksanaan dan pemahaman yang mendalam, kita dapat menciptakan masyarakat yang inklusif dan maju, di mana semua orang memiliki kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi. Contohnya, saat berpuasa di bulan Ramadhan, kita tahu bahwa makan atau minum akan membatalkan puasa. Namun, apa yang sebenarnya dianggap sebagai makan atau minum? Seberapa banyak yang harus kita konsumsi agar puasa benar-benar batal? Secara umum, bahkan seteguk air yang diminum dengan sengaja sudah cukup untuk membatalkan puasa. Tetapi, ada situasi yang menarik di sini.
Kita diwajibkan berwudhu sebelum shalat, dan salah satu langkah dalam wudhu adalah memasukkan air ke dalam mulut. Biasanya, kita akan berkumur-kumur dengan intens untuk membersihkan bagian belakang tenggorokan. Namun, ketika berpuasa, kita disarankan untuk berkumur secara ringan saja, cukup membilas mulut tanpa berlebihan agar tidak ada risiko menelan air. Meskipun begitu, sensasi menyegarkan dari air yang masuk ke dalam mulut tetap ada, dan sedikit air mungkin saja terserap tanpa kita sadari, namun hal ini diperbolehkan selama tidak disengaja.
Lebih jauh lagi, kitab-kitab fikih klasik menyebutkan bahwa jika Anda perlu mencicipi sesuatu, seperti saat membeli makanan untuk memastikan rasanya, Anda diperbolehkan melakukannya meskipun sedang berpuasa. Kuncinya adalah tidak menelan apa pun. Intinya, batas pembatalan puasa adalah saat makanan atau minuman benar-benar masuk ke dalam perut, bukan sekadar proses mencicipinya.
Biasanya, saat berpuasa, Anda tidak akan merasa perlu mencicipi apa pun, kan? Namun, terkadang kita perlu mencicipi sesuatu, misalnya saat membeli makanan untuk memastikan kualitasnya. Bagi mereka yang ingin menekankan kesalehan dan ketakwaan, mungkin akan berkata, “Saya sedang berpuasa dan tetap akan membeli barang ini tanpa mencicipinya. Entah rasanya enak atau tidak, saya akan menerimanya karena saya berpuasa demi Tuhan. Saya tidak ingin membahayakan puasa saya dengan cara apa pun.”
Tentu saja, jika seseorang memilih jalan yang lebih ketat seperti itu, itu adalah hak dan pilihan mereka sendiri, dan kita harus menghargainya. Namun, kita tidak bisa memaksakan standar ini kepada orang lain. Misalnya, Anda tidak bisa berkata kepada orang lain, “Hei, kamu sedang berpuasa, mengapa kamu mencicipi minuman itu?” Setiap orang punya kebebasan untuk menjalankan puasanya dengan cara yang mereka yakini benar, selama mereka tidak melanggar aturan dasar.
Anda bisa menetapkan standar kesalehan yang tinggi untuk diri sendiri, tetapi tidak dapat memaksakannya pada orang lain. Misalnya, jika seseorang memutuskan, "Saya tidak ingin keluar dan terpapar kejahatan apa pun—tidak melihat, mendengar, atau melakukan perbuatan buruk. Saya akan mengisolasi diri di rumah," itu adalah pilihan pribadi yang sah. Namun, kewajiban agama seperti sholat Jumat tetap harus dijalankan karena itu adalah perintah Tuhan. Meskipun Anda bisa memberi nasihat kepada orang lain untuk berhati-hati terhadap pengaruh buruk di luar sana, Anda tidak bisa memaksa mereka untuk bersembunyi dari dunia hanya karena kejahatan mungkin ada.
Islam memberikan fleksibilitas dalam praktiknya. Ada ruang untuk pendekatan yang berbeda dalam menjalankan keyakinan. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa interaksi antara pria dan wanita pada masa awal Islam telah diubah atau dihapus kemudian. Namun, asumsi ini keliru. Pemahaman bahwa sesuatu telah dibatalkan dalam ajaran agama harus dipertimbangkan dengan cermat, dan bukan hanya berdasarkan interpretasi pribadi.