Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Ketua Pimda 225 Tapak Suci Sumenep Madura
Hari itu, datang surat berbentuk pdf dari Pimwil setempat untuk semua Pimda. Surat itu mengundang kepada seluruh Pimda untuk bisa hadir dalam acara Milad dan sosialisasi Ujian Kenaikan Tingkat (UKT). Satu Pimda yang baru dibentuk, setelah sekian lama bubar dan hampir tiada, itu tentu belum memiliki pimpinan cabang yang ada di bawahnya.
Hanya saja, ada beberapa unit sekolah Muhamamdiyah yang mengadakan Latihan Tapak Suci (TS) atas inisiatifnya sendiri.
Setelah dirapatkan, Pimda memutuskan untuk tidak mengirimkan utusan terlebih dahulu, karena belum ada kader TS yang belum memenuhi syarat sebagaimana yang dicantumkan oleh Pimwil. Terlebih lagi, Pimda masih focus dan konsentrasi pada pembenahan struktur internal organisasi. Pun menyelesaikan penyusunan program kerja dan kegiatan selama empat tahun ke depan.
Tetapi, ada salah seorang pelatih TS di sebuah sekolah yang memaksakan ingin ikut kegiatan tersebut. Si pelatih itu pun memaksakan untuk berangkat atas nama Pimda, meski Pimda sendiri tidak memberikan surat mandat kepadanya. Apalagi si pelatih ini belum memenuhi syarat sebagaimana diatur Pimwil. Selain itu, ada pertimbangan etis-akhlaq terkait pada si pelatih tersebut.
Rupanya keputusan dan kebijaksanaan Pimda dianggap tidak memuaskan dirinya, sehingga ia pun tetap berangkat ke acara tersebut dengan mengatasnamakan sebagai wakil Pimda tersebut. Meski tanpa surat mandat, si pelatih itu pun tetap diterima oleh panitia, sebagai bagian dari kebaikan hati Pimwil dan panitia.
Merasa memperoleh kemenangan atas “pertarungan”-nya dengan Pimda yang tidak memberikan surat mandat, si pelatih itu pun berfoto bersama Pimwil dan peserta yang lain. Dengan nada kemenangan si pelatih kemudian memberikan caption pada fotonya, “Inilah motor penggerak Tapak Suci.
Kisah ini hanyalah sebuah gambaran kenyataan yang –bisa jadi—terjadi dan mungkin juga tidak pernah terjadi.
Sebuah hadis dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan “law” (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim: 47-Kitab Al Qodar).
Hadis ini menyiratkan suatu makna bahwa orang mukmin yang kuat secara jasmani dan (bukan hanya) ruhani itu lebih disenangi oleh Allah daripada yang lemah secara jasmani dan (apalagi) ruhani. Sebab, kekuatan jasmani menopang keberlangsungan dan keberlanjutan ibadahnya kepada Allah SWT. Di sinilah letak keunggulan TS sebagai symbol kekuatan jasmani, meskipun TS dibangun di atas landasan kekuatan iman dan akhlak yang kuat.
Dalam berbagai kesempatan, tidak ada yang memungkiri, setiap kader TS meraih kemenangan dalam setiap pertandingan, Pimca, Pimda dan Pimwil akan membuatkan banner atau flyer berisi ucapan selamat dan sukses. Bahkan, kemenangan itulah yang selalu dicari dari setiap event kompetisi, baik internal antar kader TS maupun antar perguruan bela diri. Dan, seakan kemenangan itulah yang menjadi tujuan diadakannya latihan selama ini.
Padahal, sebagaimana Rasulullah, kekuatan dan kemenangan itu belum cukup untuk menjadi mukmin sejati. Suatu hari, Rasulullah menyaksikan adu gulat yang dilakukan oleh para sahabat. Setelah ada seorang pemenang, maka beliau bertanya kepada para sahabatnya, ‘Menurut kalian, siapa yang kalian anggap paling kuat?’ Para sahabat menjawab, ‘orang yang tidak terkalahkan dalam adu gulat.’ Beliau bersabda, ‘bukan itu, orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya saat marahnya.” (HR. Abu Dawud dari Abdullah ibn Mas’ud).
Dalam konteks ini, orang yang paling kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya saat marah. Jadi, pada dasarnya kemenangan itu diraih bukan dengan mengalahkan orang lain, tetapi dengan mampu mengendalikan musuhnya dan dirinya sendiri.
Orang yang hanya bisa mengalahkan dan menang atas orang lain, sangat mungkin ia akan bangga, jumawa dan “merasa lebih baik” daripada orang lain. Jika itu yang terjadi, berarti ia masih belum bisa mengalahkan dirinya sendiri. Sama halnya dengan pelatih di atas yang merasa bangga bisa ikut acara Milad dan sosialisasi UKT tadi. Ia bangga dengan berfoto dan berkomentar di statusnya, karena “merasa bisa mengalahkan Pimda”-nya yang tidak memberinya mandat. Padahal, ia telah melupakan ikrar kader Tapak Suci yang kelima, “Patuh dan taat para peraturan-peraturan serta percaya kepada kebijaksanaan Pimpinan.”
Orang yang menganggap pertandingan sebagai ajang mengendalikan diri tidak akan menyakiti musuhnya, meski ia juga tersakiti fisiknya. Ia akan merangkul lawan tandingnya dan menghargainya sebagai seorang teman. Persis seperti Rasulullah yang diejek, disakiti dan diejek oleh raja gulat kafir Qurasiy. Setelah mengalahkannya, Rasulullah tidak membalas mengejek dan menyakitinya. Sebaliknya, beliau justru memaafkan dan mengajaknya bersahabat. Wallahu a’lam.