Trade-Off antara Utang dan Dana Sendiri dalam Mengembangkan Amal Usaha Muhammadiyah
Oleh: Amidi
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa suatu negera, lembaga, institusi, persyarikatan dan lainnya hampir dapat dipastikan mempunyai utang dalam mengembangkan diri atau dalam melakukan pembangunan, karena negara, lembaga, isntitusi, persyarikatan dan lainnya tersebut tidak semuanya memliki dana yang cukup untuk melakukan pembangunan/pengembangan tersebut.
Seperti negeri ini, memiliki utang yang sangat spektakuler, karena dana yang dimiliki dari sumber pendapatan (seperti pajak, dan lainnya) tersebut tidak mencukupi, agar tidak membebani masyarakat, diambil langkah untuk memperbesar utang.
Membangun dengan dana sendiri atau kemampuan/kekuatan sendiri tanpa utang memang sangat diharapkan oleh pimpinan suatu negara, lembaga, institusi, persyarikatan dan lainnya. Sekali lagi, karena dana yang dimiliki terbatas/kurang, maka utang merupakan suatu solusi dan dapat mendorong pembangunan dalam kapasitas maksimal dan besar.
Lantas, bagaimana kalau kita, terlebih persyarikatan, bertahan dengan kemampuan/kekuatan atau dana sendiri dalam membangun/pengembangan. Sebenarnya sah-sah saja, asal pembangunan yang akan kita laksaakan tersebut dapat berjalan sesuai harapan. Namun, bersdaarkan pengalaman (berkaca dari suatu unit bisnis pada umumnya), untuk mempercepat dan memperbesar kapasitas pembangunan unit bisnis tersebut, kebanyakan anak negeri ini selaku pimpinan/pemilik unit bisnis tersebut harus “mem-push” nya, harus mendorongnya dengan utang. Rasanya sulit bahkan tidak mungkin jika tidak dengan utang.
Misalnya, PT (UM Palembang) tempat saya mengabdi, dapat dengan cepat melaksanakan dan merampungkan pembangunan gedungnya karena didanai dengan utang. Bahkan dengan utang tersebut, dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, pimpinan (Rektor) berhasil membangun lima unit gedung yang mewah, yang bisa digunakan untuk opersional perkuliahan dan perkantoran sekaligus dapat meningkatkan kridibilitas kampus yang tercinta.
Trade-Off
Secara sederhana, memang membangun tanpa utang lebih aman dan membuat kita (persyarikatan) terhindar dari lilitan utang. Namun, bila kita hanya mengandalkan kemampuan/kekuatan sendiri tanpa utang, biasanya pembangunan akan lamban, kapasitas besar sulit dicapai dan perputaran uang dalam unit bisnis kita menjadi tertatih-tatih (karena digunakan untuk membangun), kita sulit bangkit dan seterusnya.
Seperti negara ini, untuk mempercepat laju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, negara ini pun menagndalkan utang. Dengan utang laju pertumbuhan ekonomi bisa dipacu dan laju pembangunan bisa dipercepat. Utang Luar Negeri Indonesia pada akhir Mei 2023 tecatat sebesar 398,3 miliar dolar AS (bi.go.id, 17 Juli 2023). Utang tersebut digunakan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi agar kembali normal seperti sebelum pandemi dan digunakan untuk membangun insfrastruktur yang spektakuler.
Begitu juga pengalaman seorang Deni Asy’ari selaku Direktur Utama Suara Muhammadiyah (SM) yang sudah bersusah payah membesarkan SM dengan mencari pinjaman/utang sana sini, utang SM hampir Rp 3 miliar, utang terus dicicil hingga lunas bahkan sampai berdirinya SM Tower and Convention (Lihat republika.co,id, 28 Juni 2023)
Namun pada bagian lain, ayahanda Haedar Nashir selaku Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) memberi sinyal agar persyarikatan Muhammadiyah jangan mengandalkan utang besar-besaran, yang disampaikan pada saat peresmian Soft Opening SM Tower and Convention beberapa waktu yang lalu (republika.co.id, 29 Juni 2023).
Bila kita simak, pernyataan ayahanda tersebut dapat diartikan bahwa boleh saja membangun dengan meminjam atau utang asal jangan kebablasan. Artinya persyarikatan Muhammadiyah harus terus memperkuat kemampuan sendiri sembari memperkecil utang.
Disini terjadi trade-off. Disatu sisi bila kita membangun tanpa utang atau utang (tanggung), pembangunan kita akan terhambat dan atau tidak bisa dilakukan dalam kapsitas besar. Disisi lain, bila kita membangun dengan mengandalkan utang, maka kita memiliki beban dan terancam dari lilitan utang.
Mencermati hal ini, dan berkaca dari suatu negara, memang di dunia ini ada beberapa negara yang tidak mengandalkan utang bahkan terbebas dari utang, karena memang negara tersebut memang sudah kuat dari sisi keuangan yang dimiliki. Setidaknya ada lima (5) negara yang memiliki utang sangat minim, dan bahkan tidak memiliki utang sama sekali atau bebas dari lilitan utang, yakni Macau, Liechtenstein, Britis Virgin Island, Niue dan Palau (lebih lengkap lihat, okezone.com, 16 Agustus 2023).
Bagaimana Sebaiknya?
Untuk menghilangkah trade-off tersebut, menurut saya perlu melakukan beberapa langkah berikut ini.
Pertama. Pimpinan amal usaha yang kita miliki, sebelum memutuskan untuk mengusulkan utang kepada lembaga keuangan (bank atau lainnya) perlu melakukan studi kelayakan dan memperhitungkan kemampuan/kekuatan kita dalam mencicil utang bila utang sudah diterima.
Kedua. Setelah ada studi kelayakan dan laporan kemampuan keuangan, pimpinan amal usaha yang ada di negeri ini, harus dan mutlak meminta pertimbangan/rekomendasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah sesuai dengan unitnya (majelis atau lembaga), apakah amal usaha tersebut layak mendapatkan pinjaman atau utang tersebut, dalam jumlah tertentu tersebut. Untuk amal usaha dikawasan Sumatera Selatan sudah melakukannya, bagi yang belum segera dilakukan. Agar utang yang kita terima tersebut dapat dikontrol dan dapat dipertanggung jawabkan secara kelembagaan/persyarikatan.
Ketiga. Setelah utang diterima, apakah utang tersebut untuk membangun atau memperbesar skala amal usaha atau untuk ekspansi amal usaha, atau membuka unit amal usaha baru berupa unit bisnis, maka pemanfaatannya atau pengelolannya harus dimaksimalkan dan dioptimalkan.
Seperti pembangunan gedung, selain untuk operasional amal usaha (PT atau Rumah Sakit atau lainnya), bisa digunakan untuk disewakan. Begitu juga dengan unit amal usaha lain, misalnya PT mendirikan Perseroan terbatas (PT) dengan berbagai unit bisnis, maka unit bisnis tersebut harus dimanfaatkan secara maksimal dan optimal. Memang hal ini sudah dilakukan oleh pimpinan amal usaha tersebut, seperti pimpinan Badan Usaha Milik Universitas (BUMU) pada UMJ di Jogyakarta, namun masih ada juga yang belum melaksanakan-nya. Bagi yang belum, mari melaksanakannya, agar semua penggunaan dana dari unsur utang tersebut akan memberi hasil yang maksimal sehingga utang segera lunas tepat waktu bahkan kurang dari waktu yang telah disepakati.
Trakhir yang tidak kalah pentingnya adalah, memilih lembaga keuangan (bank atau lainnya) yang akan menjadi tempat kita memperoleh pinjaman atau utang tersebut, utamakan lemabaga keuangan yang syar’i, mapan dan terpercaya. Jika utang tersebut terpaksa diperoleh dari lemabaga keuangan konvensional, tetap masih perlu mengkomunikasikannya agar tidak mengaburkan eksistensi amal usaha Muhammadiyah pada khususnya dan persyarikatan Muhammadiyah pada umumnya. Selamat Berjuang !!!!!!!!
Amidi, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Palembang, BPH IkesT Muhamamdiyah Palembang dan Pengamat Ekonomi Sumatera Selatan