Oleh: Isngadi
Beberapa catatan dan arsip Suara Muhammadiyah memberi informasi kalau mengadakan peringatan Maulid Nabi dan menggeser tanggal peringatannya sudah menjadi tradisi Muhammadiyah.
Sama halnya dengan nama bulan puasa yang lebih dikenal daripada bulan ramadhan yang merupakan nama resmi bulan kesembilan dalam hitungan almanak hijriyah, banyak pula masyarakat Islam Indonesia yang lebih kenal bulan mulud (Maulud) daripada bulan bulan Rabiul Awal. Mengapa demikian? Mungkin karena ada kegiatan puasa di bulan Ramadhan dan ada kegiatan peringatan milad nabi (muludan-maulidan) di bulan Rabiul Awal.
Dua jenis kegiatan ini memang sudah nyaris menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan dengan syiar Islam di bumi Indonesia. Jauh sebelum gagasan tentang NKRI terpikirkan oleh siapapun. Kedua kegiatan biasanya dirayakan dengan penuh kegembiraan oleh semua ummat Islam. Termasuk oleh Muhammadiyah.
Majalah Suara Muhammadiyah nomor 11 tahun 1921 yang terbit di bulan Rabiul Awal, secara khusus dicetak melebihi oplagh biasanya. Yakni 5.000 eksemplar. Pencetakan yang lebih banyak ini dimaksudkan agar kisah nabi Muhammad yang ada di dalam majalah tersebut dapat tersebar secara lebih merata dan bisa terdistribusikan ke lebih banyak sasaran. Harapannya agar lebih banyak warga Muhammadiyah yang semakin paham tentang kisah Nabi Muhammad. Selain itu agar paham pula asal mula perayaan sekatenan. Tradisi hasil kreasi para leluhur yang dalam rancangannya tidak dapat dipisahkan dengan peringatan maulid nabi yang diklaim sudah dimulai sejak zaman Demak pada tahun 1477 M.
Pada tahun-tahun setelah tahun 1921, Suara Muhamadiyah juga memuat reportase peringatan Maulid Nabi dari berbagai daerah di Indonesia. Peringatan itu rata-rata dihadiri ratusan hingga ribuan warga.
Dengan kata lain, sama halnya dengan umat Islam lain di Indonesia, Muhammadiyah juga terbiasa mengadakan peringatan maulid Nabi. Dapat pula dikatakan, peringatan maulid Nabi sudah menjadi tradisi Muhammadiyah. Bahkan risalah maulid nabi yang beberapa kali dibaca saat puncak acara sekaten kraton Yogyakarta adalah risalah maulid nabi yang dihimpun oleh RH Wardan Diponingrat (Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah 1959-1985).
Maulid Nabi Haram?
Walaupun sudah menjadi tradisi mayoritas ummat Islam Indonesia (dan Muhammadiyah), pada masa lalu juga ada sebagain ummat Islam yang melarang peringatan Maulid Nabi. Setidaknya hal ini dapat kita baca dalam tulisan Mas Mansur (Ketua Majelis Tarjih 1928-1936 dan ketua PP Muhammadiyah 1937-1941) di dalam Panji Islam 25 Mei 1937 dan di Pedoman Masyarakat Nomor 16/1940. Kedua tulisan itu dapat dibaca di buku mas Mansur “Karangan Yang Tersebar” yang disunting Amir Hamzah Wirjosukarto.
Dua tulisan itu pertama tentang Hukum Memperingati Maulid Nabi dan yang kedua tentang Kedudukan Maulud dalam Islam. Pada tulisan pertama Mas Mansur mengemukakan polemik tentang hukum peringatan Maulid Nabi dan pendapat yang berkembang. Sedang tulisan kedua memuat pendapat Mas Mansur tentang Maulud Nabi. Di sini Mas Mansur menulis sebagai berikut:
“Sekarang mari kita selidiki dengan seksama, bagaimanakah sebenarnya kedudukan maulud itu dalam Islam, agar hal ini hendaknya jangan meragukan bagi umat Islam tentang mendudukkannya. Terutama sekali hal ini, sudah berabad-abad dijalankan oleh umat Islam,sehingga pada masa sekarang ini dia dibuat sebagai adat kebiasaan, dikerjakan di mana-mana tempat, istimewa di tanah air kita Indonesia ini.
Cuma yang tinggal menjadi buah perbincangan kita, ialah: Apakah maulud itu termasuk perkara agama, ataukah dia hanya ada kebiasaan bagi umat Islam, untuk menghidupkan semangat dan perasaannya, menyadarkan jiwa raganya kepada jasa dan pengorbanan yang telah ditumpahkan oleh Nabi besar SAW. Itu, artinya bukan tergolong perkara agama?
Sedangkan di bagian paling akhir mas Mansur menulis, “Di samping kita menghormati hari maulud itu, janganlah kita anggap bahwa pekerjaan kita yang demikian itu termasuk suruhan agama, karena kalau demikian, nyatalah pekerjaan kita itu “bid’ah dhalalah” karena suruhan dari Rasul tidak ada. Hanya hal itu semata-mata timbul dari hati yang suci, hati yang rindukan turut mengagungkan hari maulud penghulunya …. kalau umpamanya ada orang yang berkata: kenapa dilakukan pada bulan maulud saja, tidak dilakukan pada lain waktu. Kita jawab dengan ringkas: Sebabnya, ialah karena pada ketika itu, adalah sebaik-baiknya waktu, (psychologisch moment), sedang sesuatu barang yang dikerjakan pada yang bertepatan dengan waktunya itu, lebih utama dari sesuatu yang tak dikerjakan pada yang bukan waktunya yang asli.”
Pendapat mas mansur ini tampaknya segaris dengan fatwa Majeis Tarjih Muhammadiyah tahun 2009 : https://web.suaramuhammadiyah.id/2020/10/28/fatwa-tarjih-hukum-mengadakan-peringatan-maulid-nabi-muhammad-saw/.
Instruksi PP Muhammadiyah
Bagi Muhammadiyah peringatan maulid nabi merupakan hal yang penting untuk dilakukan (sekali lagi bukan untuk ditinggalkan). Sedemikian pentingnya peringatan itu bagi Muhammadiyah, pada tahun 1976, Pimpinan Pusat Muhammadiyah merasa perlu untuk mengeluarkan instruksi agar Pimpinan Muhammadiyah, terutama Pimpinan Muhammadiyah Daerah dan Pimpinan Muhammadiyah Cabang mengadakan peringatan maulid nabi Muhammad. Berita tentang instruksi tertanggal 8 Muharram 1936/10 Januari 1976 ini dapat dibaca di Suara Muhammadiyah nomor 4 tahun 1976.
Dalam instruksi yang ditandatangani oleh Wakil Ketua II, HM Djindar Tamimiy dan Seketaris I, H Djarnawi Hadikusuma itu disebutkan kalau tanggal (pelaksanaan) peringatan maulid nabi itu diserahkan kepada PMD (sekarang PDM) dan PMC (PCM) masing-masing. Tidak harus tanggal 12 Rabiul Awal, boleh dilaksanakan (digeser) ke tanggal berapapun.
Tidak cukup sekedar instruksi, Ketua PP Muhammadiyah kala itu, KH AR Fachruddin (Ketua PP Muhammadiyah 1968-1990) juga menulis di Suara Muhammadiyah nomor 5 tahun 1976 yang pada intinya mengingatkan ulang arti penting peringatan maulid nabi bagi dakwah Islam dan syiar Muhammadiyah. Di tulisan ini Pak AR juga mengingatkan bahwa dalam memperingati maulid nabi, warga tidak terikat ketat oleh tanggal dua belas Rabiul Awwal dan tidak pula terikat dengan ritual upacaranya. Tulisan pak AR itu dapat dibaca di https://web.suaramuhammadiyah.id/2020/10/29/pak-ar-memanfaatkan-hari-maulid-nabi-muhammad-saw/.
Dari beberapa dokumen di atas dapat disimpulkan bahwa mengadakan peringatan Maulid Nabi dan menggeser tanggal peringatannya sudah menjadi tradisi Muhammadiyah.
Walahu a’lam bishawab
Isngadi, Direktur Pusat Data Suara Muhammadiyah