Wasiat Kematian Kiai

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
262
Kiai Dahlan

Kiai Dahlan

Wasiat Kematian Kiai 

Cerpen Ichsan Nuansa

Beberapa santri telah rampung merapalkan dzikirnya tepat di sudut ruang tunggu instalasi gawat darurat. Sebelumnya, Kiai mereka tiba-tiba pingsan ketika tengah menyampaikan dakwah. Terlihat wajah Kiai tersebut memucat pasi dan napasnya meriap tak menentu. 

Dibawalah ke rumah sakit terdekat. Menelan waktu beberapa jam, Kiai tersebut telah bangun dan dibekam selang oksigen. Mengetahui gurunya telah sadar, santri teladan mengecup mushaf kecilnya, dan mengabarkan rekan-rekan di luar ruangan. 

Keadaan kian membaik, Kiai mulai mendengarkan hasil pemeriksaan dari dokter. Beberapa pertanyaan terus keluar dari tatapan lelaki bersetelan serba putih tersebut. 

“Kiai, ini sudah keempat kali panjenengan di sini.” 

Kiai mengangguk dan mengetahui apa yang dirinya alami. Namun telapak tangan kanannya memberi isyarat agar dokter tidak mengulangi petuahnya. Dokter pun menghela napas dalam-dalam, serta menuliskan resep untuk dibawa pulang. 

“Terima kasih, saya pamit pulang mas Dokter.” 

Hampir keluar dari pintu, dokter tersebut merasa gelisah dan mencoba memberi beberapa kata kepada Kiai. 

“Sudah santer nama Kiai di kota ini, maaf, namun ada waktunya untuk istirahat. Jamaah insyaAllah akan mengerti,” terang dokter tersebut. 

Kiai tersenyum melihat santrinya yang telah tumbuh menjadi dokter. Dipeluknya dokter tersebut dan diusap pundaknya beberapa kali. 

“Kamu sudah tumbuh jadi orang baik.” 

Kiai tersebut telah dijemput oleh para santri, meninggalkan ruang pemeriksaan yang tak pernah sunyi. Dokter duduk serta meletakkan kacamatanya, menatap lampu di atas seraya memikul perasaan yang begitu berderap. 

Sampailah di teras rumah, sang istri menatap para santri yang berpamitan meninggalkan mereka. Kiai tersenyum melihat istrinya mulai mendekat. 

“Masak apa Bu sore ini?” tanya Kiai memulai pembicaraan. Sang istri tidak menjawab pertanyaan itu lantas memberikan minuman jahe kepada suaminya tersebut dan duduk di sampingnya. Matanya menatap cemas tangan kekasih yang terasa dingin, diusap-usap beberapa kali. 

“Tadi Faisal nelpon,” ujar sang istri. 

Mata Kiai seketika terkejut akan hal tersebut. Pantaslah wajah istrinya yang biasanya periang menjadi perenung sedemikan rupa kala itu. 

“Lho... Kok Faisal? Jangan panggil begitu, panggil mas Dokter...” terang Kiai sambil bercanda. 

Sang istri pun tersenyum. Meski demikian, mengetahui bahwa suaminya mengidap penyakit mematikan tidak bisa terelakkan kembali. Mata yang sayup dan badan gemetaran karena menahan sakitnya detak jantung akan menguras umur suaminya tersebut. 

“Sebelum sampai di sini. Rahmi dan Misbah sudah aku hubungi. Mereka berjanji akan pulang lebaran nanti. Bahkan mereka sudah kangen mau sahur dengan kita.” 

“Jangan. Jangan suruh mereka pulang. Biarkan Rahmi menuntaskan pendidikannya, sebentar lagi dia akan sidang. Kasihan pula Misbah, bekerja di lepas pantai berbulan-bulan. Nanti anaknya bakal kangen sama bapaknya. Biarlah mereka menjalani kehidupan masing-masing.” 

Mendengar suaminya berkata demikian, sang istri hanya mampu diam. Tangan yang awalnya dingin mulai hangat perlahan, tetapi gemetar yang dirasa kian terasa di kulitnya. Mata Kiai mulai meneteskan air mata, mimik wajah tenang mulai berubah dengan kesedihan. 

“Kita telah menjalani kehidupan ini berpuluh-puluh tahun Mas. Bagaimana bisa aku berpura-pura tidak mengetahui kecemasanmu itu, berkali-kali lafaz doa di hari tua ini kian panjang. Biarkan aku dan anak-anak menemanimu. Relakah kamu meninggalkan perasaan penyesalan kepada kami di kemudian hari?” 

Mata Kiai diseka beberapa kali. Namun kali ini air mata tersebut kian deras seakan memang itulah yang berasal dari hati terdalam. Kiai menunduk, melihat tubuhnya yang kian menyusut. Sedang tangan istri selalu mencoba menenangkan galau hati yang membuncah. 

“Setiap kali memandang cermin atau hal-hal yang memantulkan wajah ini Bu. Aku merasa takut, apakah rupaku itu layak diterima di sana nantinya. Apakah bumi ini bersedia menerima tubuh ini,” Kiai berjalan ke tepi teras. 

Sang istri mengambil sebuah buku di dalam rumah. Kemudian kembali menemui suaminya yang berdiri mematung, meratapi dedaunan yang memeluk bumi. Dibuka lembaran demi lembaran. Ia membacakan sebuah halaman yang bertuliskan catatan pena milik suaminya di masa silam. Suasana yang kaku mendadak kembali lentur, karena wajah suaminya kembali mendengar hal-hal lucu. 

“Bu, malu aku mendengar catatan itu..” seraya mendekati istrinya untuk menutup buku itu. 

“Kenapa Mas...? Ini ceritamu, ketika kamu jatuh cinta dan berjanji akan menikahiku. Dan Allah menyatukan kita kan Mas?” 

Kiai mendadak terdiam, lantas duduk melamun menghadap halaman kecilnya. 

“Kamu juga menuliskan, kalau ingin punya dua anak. Satu laki-laki dan satu perempuan. Coba lihat Misbah dan Rahmi Mas, mereka ada. Kamu pun juga menuliskan di sini kalau kamu ingin naik haji. Lihat foto di ruang tamu itu Mas, foto ketika kamu di Mekkah.” Jelas sang istri dengan lembut. 

Kiai pun menangis sejadi-jadinya karena telah berburuk sangka. Meragukan Allah Swt, dzat yang selalu ada untuk hamba-hambaNya. Dipeluklah sang istri erat-erat, dan berulang-ulang kali beristighfar. 

“Apakah masih ada halaman yang tersisa di buku catatan itu? Aku ingin menuliskan sesuatu dan doa di sana,” ujar Kiai sambil memegang tangan istrinya. Sang istri pun mengambilkan pena serta turut melihat apa yang dituliskan suaminya, sore itu Kiai membubuhkan doa dan catatan wasiat. 

Tawa anak kecil berseliweran di halaman rumah. Mata Kiai yang terpejam terbuka pelan-pelan. Terlihat anak laki-lakinya bernama Misbah sedang mengangkat beberapa rantang makanan untuk dimasukkan ke dalam mobil. 

“Bapak sudah bangun?” suatu suara menghampirinya. Suara yang begitu tenang dan lembut. 

“Rahmi? Apakah Bapak pingsan lagi?” 

Rahmi tersenyum dan menggelengkan kepala. Diberikan secangkir jahe hangat yang sudah disiapkan, Kiai tersebut minum dengan cukup tergesa-gesa karena kehausan. 

“Tu... Bapak tadi tidak mau minum. Hauskan? Tadi itu Bapak mengantuk. Jadinya ketiduran. Pak nanti siang ikut Rahmi ke studio foto ya. Sudah tak siapkan baju spesial buat Bapak,” terang Rahmi bergembira. 

“Itu Simbah sudah bangun!” teriak salah satu cucu sulung dan diikuti cucu bungsunya. 

“Asik! Simbah kakung! Ayo ikut wisudanya tante Rahmi!” ajak si bungsu. 

Tangannya yang sedang ditarik oleh jemari mungil membuat wajah Kiai yang awalnya bingung mulai tersadar. Senyum tampak melebar dan turut mengusap kepala cucu-cucunya. Ketika berjalan mengikuti ajakan mereka, Kiai menatap sebuah foto di ruang tamu. 

Foto tersebut berisi dirinya bersama istri dan Rahmi ketika wisuda strata satu. Kini istrinya tidak bisa lagi mengantarkan putrinya dalam wisuda strata dua yang telah Rahmi tamatkan. Tiga tahun lalu, sang istri tiba-tiba demam tinggi, batuknya meradang hingga paru-paru. Akhirnya napas terakhir menggema pada suatu malam dan meninggalkan dirinya. Napas yang mendesah tak kuasa ditahan ketika mengingat kematian istri tercintanya. 

Kiai merasa kelelahan. Mendekati meja untuk meminum resep dari dokter Faisal. Resep masih sama seperti kala pertama didiagnosa penyakit mematikan. Namun dirinya masih tetap bernapas di hari tersebut. Sebuah buku catatan terlihat di lemari kaca, buku yang terdapat wasiat Kiai. Dan sebuah tulisan terakhir bersama sang istri, yakni jika aku bertemu kematian kuburkan segera, jika aku terlelap ingatkan secangkir jahe hangat buatan istriku. Kiai pun kembali sadar, akan kuasa Allah di segala kehidupan.•

 

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Oleh: Cristoffer Veron P Hidup ini sarat dengan teka-teki. Tidak ada yang tahu dalam diri setiap in....

Suara Muhammadiyah

20 December 2023

Humaniora

Pagi Ceria di Klinik Aisyiyah "Rahmijah Kaduppa" Gowa Oleh: Haidir Fitra Siagian  Sebenarnya ....

Suara Muhammadiyah

3 August 2024

Humaniora

Malaysia: Menyusuri Jejak Orang Kerinci Oleh: Mahli Zainuddin Tago Hulu Langat-Selangor Malaysia, ....

Suara Muhammadiyah

28 June 2024

Humaniora

Hikmah Ibadah Haji 1445 H / 2024 M Aris Rakhmadi, S.T., M.Eng., Dept of Informatics Engineering, Un....

Suara Muhammadiyah

26 June 2024

Humaniora

Hidup itu misteri. Tak ada seorang pun di persada buana ini dapat membongkar kontak pandora untuk me....

Suara Muhammadiyah

6 July 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah