Who Is Jesus? Mengungkap Yesus Historis
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Bayangkan, kita bisa menelusuri jejak Yesus, sang tokoh sentral dalam Kekristenan, melalui perspektif sejarah! John Dominic Crossan, seorang ahli Alkitab, bersama Pendeta Richard G. Watts, mengajak kita dalam sebuah penjelajahan menarik lewat buku mereka, Who Is Jesus? (1999). Buku ini membuka tabir kehidupan, karya, dan pesan Yesus yang berasal dari Galilea.
Mengapa judulnya Who Is Jesus? Bukankah lebih umum menggunakan Who Is Jesus Christ? Apakah ada alasan khusus di balik pemilihan judul tersebut? Ternyata, buku ini sengaja ditulis dengan gaya yang mudah dipahami oleh kalangan awam. Ini adalah versi ringkas dari karya Crossan sebelumnya yang lebih akademis, Jesus: A Revolutionary Biography (1994).
Namun, pertanyaan mendasarnya tetap sama: Siapakah Yesus secara historis? Bagaimana kita bisa mengenalnya lepas dari interpretasi teologis? Menariknya, menurut Crossan, menyebut Yesus sebagai "Kristus" justru mengaburkan pencarian sosok historisnya. Gelar "Kristus" penuh muatan keyakinan, sementara kita ingin menemukan Yesus sebagai manusia biasa yang pernah hidup di Palestina.
Buku ini mengungkapkan bahwa Injil sebenarnya merupakan konstruksi teologis yang disusun dengan tujuan tertentu. Para penulis Injil memilih kisah-kisah yang mendukung pesan yang ingin mereka sampaikan. Maka, ketika membaca Injil, kita perlu memahami dua dimensi: dimensi teologis dan dimensi historis.
Yang lebih mencengangkan lagi, ternyata ada banyak versi Injil yang beredar pada masa itu! Para penulis Injil harus menyeleksi dari sekian banyak narasi dan cerita tentang Yesus. Mereka terbatas oleh media penulisan (perkamen atau gulungan) dan juga oleh pesan yang ingin mereka sampaikan. Sebagai contoh, Markus menyajikan semua mukjizat Yesus dalam satu bagian. Hal ini menunjukkan adanya maksud tertentu di balik penyusunan Injilnya.
Siapakah Yesus yang sesungguhnya, di balik kisah-kisah dan keyakinan yang berkembang selama ini? Bagaimana kita bisa mengenalnya secara akurat melalui kacamata sejarah? Pertanyaan ini menuntun kita pada sebuah pemahaman yang menarik. Ternyata, menyebut Yesus sebagai "Kristus" justru menjauhkan kita dari sosok historisnya. "Kristus" adalah sebuah gelar keimanan, sementara yang kita cari adalah Yesus sebagai manusia yang pernah hidup dan bernapas di tanah Palestina.
Injil, sebagai sumber utama kisah Yesus, sebenarnya merupakan interpretasi teologis dari para penulisnya. Mereka memiliki pesan yang ingin disampaikan dan menyeleksi kisah-kisah yang sesuai dengan tujuan tersebut. Oleh karena itu, ketika membaca Injil, kita perlu cermat memilah dua lapis makna: makna teologis dan makna historis yang tersembunyi di baliknya.
Menariknya, pada masa itu, terdapat banyak versi Injil yang beredar! Para penulis Injil yang kita kenal harus memilih di antara berbagai narasi dan cerita tentang Yesus. Keterbatasan media penulisan (perkamen atau gulungan) dan pesan yang ingin disampaikan membuat mereka harus selektif. Markus, misalnya, mengumpulkan semua mukjizat Yesus dalam satu bagian. Ini menunjukkan bahwa ia memiliki agenda tertentu dalam menyusun Injilnya.
Lalu, bagaimana caranya kita menyingkap Yesus historis dengan akurat? Salah satu metode yang digunakan para sejarawan adalah membaca Injil secara paralel. Mereka membandingkan keempat Injil secara bersamaan, bukan membacanya satu per satu dari awal hingga akhir.
Dengan cara ini, mereka bisa menemukan perbedaan dan persamaan dalam menceritakan satu peristiwa yang sama. Misalnya, ketika Yesus berkhotbah di Kapernaum, apa yang dikatakannya menurut Matius? Apakah sama dengan yang ditulis Markus atau Lukas? Metode ini membantu kita memahami konteks sejarah dan menemukan benang merah di balik berbagai versi cerita tentang Yesus.
John Dominic Crossan mencetuskan banyak gagasan baru dan menarik dalam bukunya. Sebagai seorang sejarawan dan Kristen, ia berani mempertanyakan beberapa keyakinan tradisional, seperti mukjizat dan kebangkitan Yesus. Tentu saja, hal ini menuai beragam tanggapan, terutama dari kalangan Kristen konservatif.
Namun, Crossan tidak sekedar mempertanyakan, ia juga menawarkan interpretasi baru yang menyegarkan. Misalnya, dalam kisah Yesus menyembuhkan orang sakit, Crossan menekankan aspek penyembuhan holistik, bukan hanya fisik, tetapi juga mental dan sosial.
Pada masa itu, orang sakit sering dikucilkan dari masyarakat. Yesus, menurut Crossan, melakukan sesuatu yang revolusioner dengan menerima dan merangkul mereka kembali ke dalam komunitas. Inilah esensi sesungguhnya dari "penyembuhan" yang dilakukan Yesus. Yang lebih menarik lagi, Crossan menyoroti sisi Yesus sebagai pejuang keadilan sosial. Ia menantang tatanan sosial yang ada dengan mempraktikkan apa yang disebutnya "komensalitas terbuka".
Bayangkan, pada masa itu, ada sekat-sekat sosial yang kaku antara kelompok yang berbeda, misalnya antara Yahudi dan non-Yahudi. Yesus meruntuhkan tembok pemisah ini dengan mengajak semua orang, tanpa terkecuali, untuk makan bersama di meja yang sama. Ia menciptakan ruang inklusif di mana semua orang diterima dan diperlakukan setara.
Tindakan Yesus yang merangkul semua orang tanpa pandang bulu jelas merupakan sebuah gebrakan yang menantang otoritas pada masanya. Namun, menurut saya, Crossan agak berlebihan dalam menafsirkan dampak dari tindakan Yesus ini. Ia mengatakan bahwa Yesus dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan Romawi hingga mereka ingin menghukum mati Yesus.
Meskipun terkesan dipaksakan, tetap menarik untuk menyimak argumen Crossan. Ia berpendapat bahwa dengan mempraktikkan "komensalitas terbuka", Yesus sebenarnya meruntuhkan struktur sosial yang menopang kekuasaan Romawi. Tindakan Yesus ini dianggap sebagai bentuk pemberontakan yang mengancam stabilitas politik.
Lalu, apa relevansi buku ini bagi umat Islam? Meskipun umat Islam memiliki keyakinan sendiri tentang Yesus, mempelajari perspektif sejarah tetaplah penting. Keyakinan haruslah didasari oleh pemahaman historis yang kokoh.
Dengan membaca buku ini, umat Islam dapat memperluas wawasan mereka tentang Yesus dan menemukan titik temu antara sejarah dan keyakinan. Ini akan memperkuat fondasi pemahaman kita tentang Yesus dan menghindari kontradiksi antara keyakinan dengan fakta sejarah.