Boikot: Senjata Kolektif untuk Kemerdekaan Palestina
Oleh: Hilma Fanniar Rohman, Dosen Perbankan Syariah, Universitas Ahmad Dahlan
Meskipun boikot sering kali dianggap sebagai upaya langsung untuk memberikan tekanan ekonomi, pengaruh utamanya mungkin terletak pada kemampuannya untuk meningkatkan kesadaran politik dan memicu aksi kolektif.
Baru-baru ini, pemegang waralaba Starbucks di Timur Tengah, Alshaya Group, mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 2.000 karyawan, atau sekitar 4% dari tenaga kerjanya. Keputusan ini, yang diambil akibat "kondisi perdagangan yang semakin sulit," terjadi setelah boikot regional dan internasional terhadap perusahaan besar seperti McDonald's, Amazon, Coca-Cola, Disney, dan lainnya yang dianggap mendukung Israel atau tentaranya.
Dengan serangan Israel di Gaza, Tepi Barat maupun Rafah, seruan untuk boikot juga semakin kuat di Barat. Teknologi memainkan peran kunci, dengan tagar di platform media sosial seperti X dan TikTok yang mengajak untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Israel. Aplikasi seluler seperti NoThanks dan Buycott juga membantu orang mengidentifikasi merek-merek yang relevan untuk diboikot.
Apakah boikot cukup?
Banyak yang bertanya-tanya: Apakah boikot saja cukup untuk mempengaruhi perusahaan dan menghasilkan perubahan?
Bagi mereka yang berharap boikot dapat membuat perbedaan, ada kabar baik. Penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan politik Harvard, Erica Chenoweth, menunjukkan bahwa hanya sekitar 3,5% dari populasi yang dibutuhkan untuk mendorong perubahan politik. Ini menunjukkan bahwa meskipun suara-suara proaktif adalah minoritas, mereka tetap dapat membuat perubahan.
Sejarah dipenuhi dengan contoh boikot yang berhasil. Contohnya, pada tahun 1791 di Inggris, seruan untuk memboikot gula yang diproduksi oleh pedagang budak menyebabkan penurunan keuntungan dan mengubah opini publik terhadap perdagangan budak transatlantik, yang berakhir beberapa dekade kemudian.
Boikot anti-apartheid di Afrika Selatan juga efektif, mendorong pembeli internasional untuk “Melihat Labelnya.” Dikombinasikan dengan aktivisme internasional dan domestik yang lebih luas serta tekanan terhadap pemerintah Barat, boikot tersebut membantu mengakhiri rezim apartheid secara resmi pada tahun 1994.
Boikot dapat meningkatkan kesadaran politik
Namun, ada catatan penting. Meskipun boikot mungkin sedikit mengurangi keuntungan perusahaan dan ekonomi Israel, boikot juga dapat meningkatkan kesadaran politik. Untuk membuat dampak yang signifikan, boikot harus dikombinasikan dengan perubahan kebijakan pemerintah.
Saat ini, gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS), yang sejak tahun 2005 menyebut dirinya sebagai “gerakan yang dipimpin oleh Palestina untuk kebebasan, keadilan, dan kesetaraan,” bersama dengan organisasi lain, berada di garis depan. Selain menargetkan merek tertentu, gerakan ini juga bertujuan mendorong perusahaan untuk menarik investasinya dari Israel, dan pada akhirnya menekan Israel untuk mengakhiri pendudukan yang berlangsung lama di wilayah Palestina.
Perubahan lain juga sedang terjadi. Sementara Starbucks dan McDonald's baru-baru ini melaporkan penurunan pertumbuhan dalam aktivitas internasional mereka, dana pensiun di seluruh Eropa juga mulai mengubah strategi investasi mereka. Ini termasuk Veilev, salah satu dana terbesar di Denmark, sementara Dana Pensiun Norwegia baru-baru ini menarik seluruh kepemilikan obligasinya dari Israel, senilai $500 juta.
Tekanan dari sektor Universitas
Tekanan dalam sektor pendidikan juga semakin besar. Beberapa universitas di AS dan Eropa telah memilih untuk menarik investasi mereka dari Israel atau perusahaan yang terkait dengan Israel sejak Oktober lalu, dan upaya ini kemungkinan akan terus berlanjut.
Ada pergeseran di kalangan akademisi. Pada bulan Desember, sebuah studi Israel yang dikirim ke parlemen Israel, Knesset, memperingatkan bahwa “boikot tidak resmi” terhadap akademisi Israel telah terjadi di Barat. Studi ini juga menyebutkan potensi bahaya terhadap posisi ilmiah dan ekonomi Israel sebagai akibatnya.
Bahkan sebelum perang saat ini, banyak penyanyi seperti Taylor Swift hingga Beyonce menolak untuk tampil di Israel, sebagian karena tekanan politik. Anggota band seperti Rage Against the Machine, Cypress Hill, dan System of a Down, telah lebih vokal, bergabung dengan ratusan artis lainnya yang berjanji untuk tidak tampil di Israel.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada bentrokan antara aktivisme akar rumput dan pemerintah di Barat. Beberapa pemimpin Barat secara eksplisit mengecam BDS, dan beberapa sekutu utama Israel, termasuk Inggris dan AS, telah mengejar undang-undang untuk membatasi kegiatan boikot domestik terhadap "negara sahabat," yang jelas menghambat upaya untuk memboikot Israel.
Meskipun ini mungkin menjadi hambatan bagi gerakan boikot, keretakan yang lebih luas dalam dukungan Barat mulai muncul.
Ada peningkatan tekanan hukum dan aktivisme atas penjualan senjata, yang merupakan pilar utama dukungan Barat untuk Israel. Tantangan hukum domestik telah terjadi di seluruh Eropa, termasuk baru-baru ini di Belanda, Denmark, Belgia, Spanyol, dan bahkan Inggris.
Dengan semakin memburuknya situasi di Gaza, tekanan dari kelompok hak asasi manusia dan kemanusiaan yang lebih luas telah mendorong para pemimpin untuk menyatakan keprihatinan atas tindakan Israel, meskipun hal ini belum terwujud dalam perubahan kebijakan yang signifikan.
Jelaslah, tekanan kolektif diperlukan untuk mendorong perubahan politik, dan sejarah menunjukkan bahwa respons pemerintah diperlukan untuk menciptakan perubahan tersebut. Boikot mungkin memainkan peran penting dalam hal ini.