Bangunan Figuratif Muhammadiyah dalam Cahaya Al-Qur’an: Meneguhkan Amal di Atas Fondasi Takwa dan Keteraturan
Oleh: Dr. Edy Nurcahyo, S.H., M.H. Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton, Kota Baubau
Ketika sebuah bangunan megah runtuh oleh gempa, kita diingatkan bahwa kekokohan sejati tidak hanya bergantung pada beton dan baja, tetapi pada fondasi yang tak terlihat, yakni fondasi nilai, iman, dan keikhlasan. begitu pula dalam kehidupan berorganisasi. kekuatan sejati tidak diukur dari besar kecilnya aset, melainkan dari seberapa kokoh dasar spiritual yang menopangnya. Dalam konteks ini, Muhammadiyah dapat dipandang sebagai sebuah bangunan figuratif, yakni bangunan nilai, amal, dan peradaban yang berdiri dalam cahaya petunjuk Al-Qur’an.
Allah berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 109:
“Apakah orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-Nya lebih baik, ataukah orang yang mendirikan bangunan di tepi jurang yang hampir runtuh, lalu bangunan itu pun jatuh bersama dia ke dalam neraka Jahannam? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS At-Taubah [9]: 109)
Ayat ini mengajarkan bahwa segala amal akan rapuh bila tidak berlandaskan takwa. Bangunan yang kokoh bukan karena megahnya wujud, melainkan karena niat yang lurus dan keikhlasan yang murni.
Sejak berdirinya pada tahun 1912, Muhammadiyah menegakkan amal-amal kebajikan, yakni pendidikan, kesehatan, sosial, dan dakwah diatas dasar takwa dan keridaan Allah. Setiap sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan yang dikelola bukan sekadar lembaga sosial, tetapi tiang-tiang peradaban Islam yang dibangun dengan ruh keikhlasan. Sebagaimana rumah di tepi jurang mudah runtuh, amal yang tidak dilandasi ketulusan pun mudah rapuh oleh ujian.
Maka keikhlasan adalah semen yang menyatukan setiap batu bata amal Muhammadiyah.
Selama fondasi takwa ini terjaga, Insya Allah bangunan amal Muhammadiyah akan tetap berdiri kokoh di tengah guncangan zaman.
Selain fondasi takwa, Al-Qur’an juga menggambarkan pentingnya keteraturan dalam bekerja. Allah berfirman dalam Surat As-Shoff ayat 4:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As-Shaff [61]:4)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah mencintai keteraturan dan kekompakan. Perjuangan akan kuat jika dijalankan dalam kesatuan barisan. Muhammadiyah meneladani prinsip ini dalam sistem organisasinya: dari Pimpinan Pusat hingga ranting, semua bergerak dalam satu visi dan tertib struktur.
Setiap anggota ibarat batu bata dalam bangunan dasar dakwah. Mungkin bentuk dan ukurannya berbeda, semisal ada yang mengajar, ada yang melayani pasien, ada yang menulis, dan ada yang meneliti, tetapi semuanya saling menopang. Inilah ruh jamaah dan kolegialitas yang membuat Muhammadiyah kokoh: tidak bergantung pada satu figur, tetapi pada nilai bersama.
Tertib organisasi bukan sekadar formalitas administrasi, tetapi bagian dari ibadah. Sebab melalui disiplin dan barisan rapi, kita menunjukkan ketaatan kepada Allah yang mencintai keteraturan dalam amal.
Jika Muhammadiyah kita pandang sebagai bangunan figuratif, maka:
- Fondasinya adalah tauhid dan takwa, sehingga tumbuh keyakinan yang melahirkan keikhlasan
- Pilar-pilarnya adalah amal usaha, seperti sekolah, universitas, rumah sakit, lembaga sosial, dan dakwah
- Dindingnya adalah akhlak dan budaya kerja: amanah, tanggung jawab, profesionalitas.
- atapnya adalah tujuan besar Muhammadiyah: terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
- Dan penghuninya adalah warga Muhammadiyah: kader, guru, dosen, tenaga medis, mahasiswa, serta relawan yang menghidupi ruh organisasi.
Setiap kader memiliki ruang pengabdian di dalam bangunan ini. Tidak semua berada di puncak pimpinan, namun semua memiliki peran penting dalam menopang bangunan peradaban Islam yang berkemajuan.
Zaman terus berubah. Teknologi, budaya, dan nilai sosial mengalami pergeseran cepat. Namun bangunan figuratif Muhammadiyah harus tetap berdiri di atas fondasi yang sama: Takwa, Keikhlasan, dan Keteraturan.
Tantangan hari ini bukan hanya membangun gedung baru, tetapi menjaga ruh lama agar tetap hidup di tubuh modern. Keikhlasan, kerja kolektif, dan semangat fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan) harus menjadi arsitektur moral bagi generasi muda Muhammadiyah.
Sebagaimana bangunan membutuhkan perawatan, organisasi juga memerlukan tazkiyah, seperti penyucian niat dan pembaharuan semangat. Tanpa itu, bangunan nilai bisa retak oleh ego dan kepentingan pribadi. Karena itu, tajdid (pembaharuan) yang menjadi ciri khas Muhammadiyah bukan hanya pembaharuan pemikiran, melainkan juga pembaharuan keikhlasan.
Dari ayat Al-Qur’an, At-Taubat: 109 dan As-Shaff: 4, mengajarkan keseimbangan antara spiritualitas dan sistem. Yang pertama meneguhkan fondasi takwa, dan yang kedua menuntun pada keteraturan amal.
Bangunan figuratif Muhammadiyah akan tetap kokoh selama fondasinya dijaga dan barisannya rapi. Sebaliknya, jika fondasi mulai retak oleh ambisi dan barisan terpecah oleh ego, maka bangunan itu akan melemah.
Maka marilah kita, warga Muhammadiyah di setiap tingkatan, menjadi penjaga bangunan ini:
Menjaga fondasinya dengan takwa, memperkuat pilarnya dengan amal nyata, merapikan dindingnya dengan akhlak, dan memperindah atapnya dengan cita-cita peradaban Islam yang mencerahkan.
Sebab sesungguhnya, bangunan sejati Muhammadiyah bukan pada megahnya gedung, tetapi pada tegaknya nilai dan luasnya manfaat bagi umat serta kemanusiaan.
Wallahu a’lam bish-shawab.


