Garam Cap Muhammadiyah
Oleh: Aan Ardianto, Kader Muhammadiyah
Judul yang aku pilih bukan bermaksud untuk mengarah pada sebuah gerakan ekonomi Muhammadiyah dengan mendirikan pabrik garam. Melainkan karena teringat dari perkataan yang pernah disampaikan oleh Bung Hatta, supaya Islam menjadi garam bukan gincu. Secara sederhana, aku menerjemahkan perkataan Bung Hatta itu, bahwa Islam itu bisa dirasakan meskipun tidak terlihat bentuknya, dari pada terlihat bentuk tapi tidak ada rasa atau perannya.
Perkataan Bung Hatta itu aku letakkan secara simetris dalam konteks gerakan Muhammadiyah – khususnya gerakan filantropi atau kemanusiaan. Meski sebagai organisasi Islam tertua yang terus tumbuh menjadi besar dan mampu bergerak di atas kakinya sendiri, namun nyatanya Muhammadiyah oleh khalayak masih sering dinomorduakan terkait dengan jumlah pengikutnya. Padahal itu tidak apple to apple, pasalnya jika merujuk pendapat Prof. Munir Mulkhan, Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Dahlan bukan untuk memperbanyak anggota atau jemaah, tapi Muhammadiyah didirikan untuk menjadi garam Islam dalam kehidupan masyarakat masa itu, bahkan sampai sekarang.
Hampir dan nyaris rutin lima tahun sekali muncul hasil survei pemeringkatan jumlah jemaah ormas keagamaan di Indonesia, dan setiap hasil survei itu muncul Muhammadiyah tidak pernah menempatkan diri di nomor satu. Secara subyektif aku menganggap hasil survei itu bukan sebagai masalah berarti – tapi di sisi yang lain juga menjadi masalah, sebab Muhammadiyah hidup di negara yang menganut sistem demokrasi, di mana arah kebijakan ditentukan oleh jumlah banyaknya kepala bukan isi dari kepala.
Meski di level masyarakat akar rumput Muhammadiyah tidak begitu fomo, namun organisasi yang didirikan di Jogja, pada 18 November 1912 ini menyublim menjadi gerakan-gerakan filantropi atau kemanusiaan. Pada level ini masyarakat akar rumput lebih mengenal Muhammadiyah melalui rompi-rompi gerakan seperti Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) organisasi terdepan yang hadir ketika terjadi bencana, terus Lazismu sebagai lembaga zakat yang fomo untuk memberikan bantuan kepada siapa saja yang membutuhkan, dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) yang lebih fomo oleh masyarakat lewat pertaniannya.
Pada Rabu, 6 Maret 2023 aku bersama tim diutus oleh MPM PP Muhammadiyah untuk melakukan Monev ke Penyintas Gempa Cianjur yang menerima Program Pemberdayaan Ekonomi. Kami bertiga, saya memulai titik menuju Bandung dari Jakarta lalu ke Cianjur, dan dua anggota tim lainnya memulai titik yang sama dari Mabes MPM PP Muhammadiyah di Yogyakarta. Kami bertemu di Bandung, bermalam di sana, lalu esok paginya melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Cianjur melakukan monev dengan armada Rush ‘konde’ dengan cover ban serep bertuliskan “Muhammadiyah” dalam aksara arab, dan kami siap.
Monev kita lakukan menyisir kawasan di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur di bawah kaki Gunung Gede Pangrango. Dari ratusan penerima program, kami putuskan untuk mengambil data dengan metode sampling acak. Dari enam kecamatan yang menjadi lokasi pemberdayaan ekonomi penyintas gempa cianjur, kami fokuskan pengambilan data di Kecamatan Cugenang. Di sana ada kelompok dampingan petani singkong dan padi, UMKM makanan dan jasa jahit, dan peternak kambing lokal. Dari ketiga kelompok dampingan tersebut, kami berhasil mendatangi sepuluh titik dengan komposisi sebagai berikut: empat peternak, tiga UMKM, dan tiga petani. Dan semuanya hampir tidak ada yang mengenal Muhammadiyah.
Kenyataan tidak mengenal Muhammadiyah aku dapati salah satunya ketika berkunjung ke rumah Kang Mumuh, petani hortikultura yang berada di Kampung Babakan Sukalaksana, Desa Wangunjaya, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Dalam dialog singkat yang aku lakukan dengan Kang Mumuh dan kelompok petani hortikultura itu, Pak Haris Ketua Tim Rehab dan Rekon dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Cianjur mengkode aku, paha ku ditepuk-tepuk untuk mengingatkan supaya aku tidak terlalu membahas Muhammadiyah dari sisi ideologi, ‘belum waktunya mereka tahu” kata Pak Haris dalam perjalanan meninggalkan Kampung Babakan. Dan aku bersepakat soal itu, sebab pintu masuk kita ke sini adalah kemanusiaan dan dakwah secara universal.
Menurutku itu adalah wajah ikhlas yang dimiliki oleh setiap Warga Muhammadiyah. Mereka rela menjadi garam, tidak terlihat namun kehadirannya mampu dirasakan oleh setiap manusia. Kedatangan kami waktu itu juga tidak dibarengi dengan banner maupun x banner untuk menunjukkan identitas kami, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak gerakan filantropi lain. Waktu itu identitas kami yang paling menonjol adalah Muhammadiyah sebagai pengikut Nabi Muhammad, identitas itu sama juga melekat pada setiap anggota kelompok dampingan yang kita datangi.
Ini yang menjadi menarik, sebab hampir semua kelompok dampingan tidak ada yang mengenal Muhammadiyah tapi mereka merasakan hadirnya Muhammadiyah dengan rompi yang saya sebutkan di atas. Pada masa awal pasca gempa bumi, masyarakat ditolong oleh MDMC. Tenda-tenda disediakan, rumah hunian sementara dibangun, fasilitas kesehatan diadakan, bahkan sampai urusan makan ditanggung oleh MDMC. Bahkan setelah hampir setahun gempa itu terjadi, tenda-tenda dan beberapa fasilitas yang pernah MDMC dirikan masih berdiri dan dapat disaksikan di sana.
Gerakan pertolongan yang diberikan oleh Muhammadiyah dalam rompi-rompi tersebut tidak sekadar datang, memberi, lalu pergi. Melainkan pertolongan diberikan secara berkelanjutan. Pasca pertolongan pertama, Muhammadiyah melalui MPM melakukan pendampingan untuk pemulihan ekonomi. Muhammadiyah memang lebih sering memberi pancing ketimbang ikan untuk mendewasakan dan mengkokohkan ekonomi umat. Modal yang disalurkan tidak hanya berhenti pada serah terima, namun ada pendampingan berkelanjutan. Bibit padi, singkong, modal UMKM, termasuk mesin jahit dan lainnya diberikan dan didampingi.
Tentu gerakan itu tidak bisa mobile tanpa adanya fundraising yang kuat, yang dilakukan oleh Lazismu. Lazismu menjadi penopang utama setiap gerakan ‘penggaraman’ yang dilakukan oleh Muhammadiyah tanpa pandang bulu itu. Selain MDMC, Lazismu, dan MPM, rompi lain yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk memberikan pertolongan di Cianjur adalah rompi pendidikan. Lebih dari lima Perguruan Tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah (PTMA) hadir berkontribusi nyata mulai menyediakan layanan kesehatan, membangun sumur, membuka dapur umum, layanan psikososial, dan seterusnya untuk penyintas Gempa Cianjur.
Bahkan pasca gempa, terdapat beberapa anak-anak dari Kabupaten Cianjur atas rekomendasi dari PDM Cianjur mendapat beasiswa untuk studi lanjut di beberapa PTMA. Seperti yang disampaikan oleh Pak Heru, Wakil Ketua PDM Cianjur. Dia merasa bersyukur, meski Muhammadiyah tidak begitu dikenal tapi ‘garamnya’ dapat dirasakan oleh masyarakat Cianjur. Namun ke depan, setelah ini dia berharap Muhammadiyah akan dikenal sebab itu juga penting. Pak Heru menambahkan, besaran dana yang mengalir untuk respon yang diberikan Muhammadiyah untuk gempa bumi Cianjur mencapai belasan miliar rupiah.