Riba dalam Al-Qur`an: Penafsiran yang Sering Disalahpahami
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Saya ingin membahas surah Al-Baqarah ayat 278-279, yang membahas tentang riba. Ayat ini berbunyi, "Jika kamu tidak meninggalkan sisa riba yang masih menjadi hakmu dari transaksi riba, maka bersiaplah menghadapi perang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan jika kamu bertobat, maka kamu masih berhak atas pokok pinjamanmu. Tidak berbuat zalim lagi terzalimi."
Terjemahan ini juga mencakup frasa dari ayat sebelumnya, yaitu ayat 278, "Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman." Selanjutnya, ayat 279 memperingatkan, "Jika kamu tidak meninggalkan riba seperti yang diperintahkan, maka bersiaplah menghadapi perang dari Allah dan Rasul-Nya." Ayat ini sebetulnya juga menyuguhan harapan, "Dan jika kamu berhenti (dari praktik riba), maka kamu masih bisa mendapatkan kembali pokok pinjamanmu. Janganlah menindas dan kamu tidak akan ditindas."
Ayat ini meruapakan himbauan keras bagi mereka yang terlibat dalam praktik riba, mengingatkan konsekuensi serius berupa perlawanan dari Allah dan Rasul-Nya jika mereka tidak menyudahi perbuatan tersebut. Pada esensinya, riba adalah wujud penindasan yang membahayakan pihak yang lemah secara ekonomi. Pada masa silam, sesorang yang membutuhkan uang terpaksa meminjam dengan bunga yang tinggi dan terus meningkat, sehingga mereka terjerat dalam lingkaran utang yang tak berkesudahan.
Dalam beberapa hal bahkan mereka bisa menjadi budak bagi pemberi pinjaman karena ketidaksanggupan membayar utang tersebut. Praktik riba tersebut menjadi bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekayaan terhadap mereka yang kekurangan. Oleh karena itu, Allah SWT, dalam keadilan dan rahmat-Nya, berjanji akan membela mereka yang tertindas dengan menentang para pelaku riba yang zalim.
Frasa "Allah dan Rasul-Nya" dalam ayat tersebut bisa dipahami sebagai konfirmasi bahwa pemberangusan riba adalah kebijakan negara, sama halnya dengan hukum modern yang membatasi tingkat bunga dalam transaksi pinjaman. Namun, sebagian orang memahami ayat ini sebagai larangan total terhadap segala bentuk bunga. Meskipun saya sepakat dengan pandangan tersebut, perlu ditegaskan bahwa larangan ini lebih jelas ditegaskan dalam Hadits, bukan dalam Al-Qur`an itu sendiri.
Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW menyebutkan bahwa terdapat lima pihak yang terlibat dalam transaksi riba yang akan mendapatkan laknat, yaitu pemberi pinjaman (kreditur), penerima pinjaman (debitur), dua orang saksi yang menyaksikan transaksi tersebut, serta orang yang menulis kontrak perjanjian riba. Hadits ini menjadi pengingat yang sangat tegas bagi umat Islam untuk menjauhi segala bentuk transaksi yang mengandung unsur riba, baik sebagai pelaku langsung yang memberikan atau menerima riba, maupun sebagai pihak yang mendukung atau memfasilitasi transaksi tersebut.
Sikap tegas ini mencerminkan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan kesejahteraan sosial, serta tidak menoleransi praktik-praktik yang dapat merugikan dan menindas pihak lain. Oleh karena itu, jika ada individu yang melakukan tindakan haram dengan mengambil riba, umat Islam tidak diperbolehkan untuk bekerja sama atau terlibat dalam aktivitas tersebut dalam bentuk apa pun, termasuk menjadi saksi, menulis kontrak, atau memberikan dukungan lainnya yang dapat dianggap melegitimasi praktik riba.
Namun, penting untuk dipahami bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pihak yang memberikan bunga (debitur), yang seringkali berada dalam posisi terdesak dan membutuhkan bantuan finansial, dengan pihak yang menerima bunga (kreditur), yang mendapatkan keuntungan dari pinjaman tersebut. Al-Qur`an tidak memandang kedua pihak ini secara setara. Sebaliknya, Al-Qur`an dengan tegas menyatakan bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya akan membela pihak yang tertindas dalam transaksi riba, yaitu debitur yang terpaksa membayar bunga yang memberatkan. Perlindungan ini akan diberikan dengan cara menentang dan melawan kreditor yang mengambil keuntungan secara tidak adil melalui praktik riba.
Kesalahpahaman yang meluas di kalangan umat Islam muncul ketika ayat Al-Qur`an yang mengecam praktik riba secara umum ditafsirkan bersamaan dengan hadits yang secara tegas melaknat semua pihak yang terlibat dalam transaksi riba, baik sebagai pemberi maupun penerima. Akibatnya, banyak umat Islam yang merasa takut dan diliputi rasa bersalah bahkan ketika mereka terpaksa terlibat dalam transaksi yang mengandung unsur bunga dalam situasi yang mendesak dan tidak terhindarkan, seperti ketika mereka harus membeli rumah dengan menggunakan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) konvensional yang menerapkan sistem bunga. Ketakutan ini muncul karena adanya kekhawatiran bahwa mereka akan mendapatkan murka dan hukuman dari Allah SWT dan Rasul-Nya karena dianggap turut serta dalam praktik riba yang diharamkan.
Kesimpulan bahwa Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW akan memerangi semua pihak yang terlibat dalam transaksi riba, baik pemberi maupun penerima, hanya muncul ketika ayat Al-Qur`an tentang riba diinterpretasikan bersamaan dengan hadits yang melaknat semua pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Namun, jika kita menganalisis ayat Al-Qur`an secara terpisah dan mendalam, tanpa terpengaruh oleh interpretasi dari hadits terkait, maka akan terlihat jelas bahwa ayat tersebut secara khusus mengecam dan memberikan peringatan keras kepada pihak yang menindas, yaitu mereka yang mengambil riba atau keuntungan berlebih dari pinjaman, bukan mereka yang terpaksa meminjam dan membayar bunga karena keadaan yang mendesak.
Oleh karena itu, berdasarkan analisis mendalam terhadap ayat Al-Qur`an tersebut, saya berpendapat bahwa ayat ini seringkali disalahpahami dan disalahgunakan dalam praktiknya, sehingga menimbulkan ketakutan dan kebingungan di kalangan umat Islam yang terpaksa berurusan dengan sistem keuangan konvensional yang menerapkan bunga.