Ada Apa Dengan Ekonomi Hijau?

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
262
Ekonomi Hijau

Ekonomi Hijau

Ada Apa Dengan Ekonomi Hijau?

Oleh: M. Azrul Tanjung

Sejatinya ekonomi hijau bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam. Konsep ini menekankan pada efisiensi penggunaan sumber daya, energi terbarukan, daur ulang, serta meminimalkan emisi dan limbah. Ekonomi hijau semakin menonjol dalam konteks problematika lingkungan yang kita hadapi, seperti pemanasan global, perubahan iklim, polusi udara dan air, serta degradasi lingkungan yang telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.

Krisis iklim dan kelangkaan sumber daya alam telah memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi global. Beberapa dampak utama yang dapat diamati, gangguan terhadap sektor pertanian dan ketahanan pangan, risiko terhadap infrastruktur dan properti, gangguan dalam rantai pasok dan perdagangan, peningkatan biaya energi dan sumber daya, dampak terhadap sektor pariwisata, serta risiko kesehatan dan produktivitas tenaga kerja. Dampak-dampak tersebut dapat mengancam pertumbuhan ekonomi, mengganggu aktivitas bisnis, dan meningkatkan biaya operasional.

Krisis Iklim 

Krisis iklim dipicu beberapa faktor utama, salah satunya adalah emisi gas rumah kaca yang berlebihan. Aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, industri, dan transportasi telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, terutama karbon dioksida (CO2), metana, dan gas-gas lainnya. Deforestasi atau penebangan hutan secara masif juga berkontribusi terhadap krisis iklim. Hutan berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida semakin berkurang, sementara emisi gas rumah kaca terus meningkat.

Peningkatan emisi gas rumah kaca dan deforestasi berdampak krisis iklim. Pemanasan global menjadi salah satu dampak utama, di mana suhu rata-rata bumi terus meningkat. Konsekuensinya, es di kutub mencair dan menyebabkan kenaikan permukaan laut yang mengancam kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, perubahan iklim juga memicu terjadinya cuaca ekstrem seperti gelombang panas, kekeringan, badai, dan banjir yang semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi.

Di samping krisis iklim, kelangkaan sumber daya alam juga menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan hidup manusia. Sumber daya alam seperti air, energi, dan bahan mentah semakin terbatas ketersediaannya akibat eksploitasi yang berlebihan dan kurangnya upaya pelestarian. Populasi penduduk yang terus bertambah serta pola konsumsi dan gaya hidup yang tidak berkelanjutan telah mempercepat kelangkaan sumber daya alam ini.

Ekonomi hijau menawarkan peluang dalam menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Merujuk laporan International Labour Organization (ILO) (2018) memperkirakan, transisi menuju ekonomi hijau dapat menciptakan 24 juta lapangan kerja baru secara global pada 2030. Transisi menuju ekonomi hijau akan membuka peluang bisnis baru dalam sektor-sektor seperti energi terbarukan, teknologi ramah lingkungan, ekowisata, dan pertanian berkelanjutan.

Ekonomi hijau juga dapat diterapkan dalam berbagai sektor, seperti energi, pertanian, transportasi, dan manufaktur. Dalam sektor energi, kita dapat beralih ke sumber energi terbarukan seperti matahari, angin, dan biomassa untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Merujuk data IRENA (2022) menunjukkan, kapasitas energi terbarukan global telah mencapai 3.064 gigawatt (GW). Di sektor pertanian, praktik pertanian berkelanjutan seperti pertanian organik, pengelolaan air yang efisien, dan konservasi tanah dapat diterapkan. 

Meminjam data Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO) (2021), pertanian organik tumbuh rata-rata 12% per tahun secara global sejak 2000. Sektor transportasi juga dapat berkontribusi dengan mengembangkan kendaraan ramah lingkungan dan sistem transportasi massal yang efisien. Data dari International Energy Agency (IEA) (2021) menunjukkan, kendaraan listrik dapat mengurangi emisi karbon dioksida hingga 50% dibandingkan kendaraan konvensional. Sementara itu, dalam sektor manufaktur, penerapan prinsip ekonomi sirkular dengan mendaur ulang dan menggunakan bahan yang dapat didaur ulang dapat meminimalkan limbah dan emisi.

Strategi Ekonomi Hijau

Investasi dalam teknologi ramah lingkungan dan sumber daya terbarukan menjadi kunci dalam mendukung ekonomi hijau. Pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keuangan perlu bekerja sama dalam menyediakan dana investasi dan memfasilitasi penelitian serta pengembangan teknologi hijau, seperti energi terbarukan, kendaraan listrik, bahan bangunan ramah lingkungan, dan sistem pengelolaan limbah. 

Data Bloomberg New Energy Finance menunjukkan nvestasi global dalam energi terbarukan mencapai $366 miliar pada 2021. Investasi dalam energi angin dan surya meningkat masing-masing sebesar 31% dan 25% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, penjualan kendaraan listrik secara global juga meningkat 108% pada 2021, mencapai 6,6 juta unit. Investasi ini akan mendorong inovasi dan menciptakan peluang bisnis baru dalam sektor ekonomi hijau.

Sektor swasta juga memiliki peran penting dalam mempromosikan praktik bisnis yang berkelanjutan dan menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Merujuk United Nations Environment Programme (UNEP), lebih dari 90% perusahaan besar di dunia saat ini telah mengadopsi program CSR terkait lingkungan. Perusahaan-perusahaan seperti Unilever, Ikea, dan Apple telah menerapkan target emisi net-zero dan mendorong praktik ekonomi sirkular dalam operasi mereka. Perusahaan dapat menerapkan prinsip-prinsip ekonomi sirkular, efisiensi sumber daya, pengelolaan limbah yang baik, serta meminimalkan jejak karbon dalam operasi mereka. Selain itu, perusahaan juga dapat berpartisipasi dalam program CSR yang berfokus pada upaya pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.

Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam gaya hidup hijau juga sangat penting. Pemerintah dan organisasi non-pemerintah dapat melakukan kampanye dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya ekonomi hijau dan praktik-praktik ramah lingkungan seperti pengurangan sampah, daur ulang, efisiensi energi, dan konsumsi produk berkelanjutan. Menurut survei yang dilakukan oleh Nielsen (2018), sebanyak 81% responden di seluruh dunia menunjukkan kesediaan untuk membayar lebih untuk produk dan layanan yang ramah lingkungan.

 Di Indonesia, jumlah masyarakat yang memilah sampah meningkat dari 38% pada 2018 menjadi 52% pada 2022 (KLHK, 2022). Partisipasi masyarakat dalam gaya hidup hijau akan menciptakan permintaan yang lebih besar untuk produk dan jasa ramah lingkungan, mendorong sektor swasta untuk beradaptasi dengan ekonomi hijau.

Tantangan 

Laporan OECD, sekitar 80% subsidi global masih mendukung penggunaan bahan bakar fosil dibanding energi terbarukan. Banyak aturan dan insentif yang justru menguntungkan industri konvensional yang tidak ramah lingkungan. Selain itu, tumpang tindih regulasi dan kurangnya harmonisasi kebijakan antar sektor juga menjadi kendala dalam menerapkan ekonomi hijau secara efektif. Data dari World Bank menunjukkan bahwa kurang dari 20% negara di dunia yang telah menerapkan pajak karbon atau skema perdagangan emisi pada 2022.

Biaya transisi ke ekonomi hijau dan kebutuhan investasi awal yang besar juga menjadi tantangan tersendiri. Infrastruktur hijau seperti pembangkit listrik tenaga surya atau angin membutuhkan modal investasi yang besar. Begitu pula dengan penelitian dan pengembangan teknologi ramah lingkungan yang memerlukan dana yang signifikan. Investasi tahunan yang dibutuhkan untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan mencapai $5-7 triliun (UN, 2022). Kedati dalam jangka panjang ekonomi hijau dapat menghemat biaya, namun investasi awal yang dibutuhkan dapat menjadi hambatan bagi banyak negara atau perusahaan. Laporan Energy Transition Commission (2021) memperkirakan biaya transisi ke energi bersih mencapai $1,6-3,8 triliun per tahun hingga 2050.

Resistensi terhadap perubahan dari sektor industri konvensional juga menjadi tantangan dalam transisi menuju ekonomi hijau. Industri yang telah mapan dan terbiasa dengan praktik bisnis tradisional seringkali enggan untuk beradaptasi dan mengubah cara kerja mereka. Mereka khawatir perubahan tersebut akan mengganggu operasional dan menurunkan keuntungan jangka pendek. Data dari IEA (2020) menunjukkan bahwa sektor energi fosil menyumbang 6,3% PDB global pada 2019. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengedukasi dan memberi insentif bagi sektor industri agar mau beralih ke model bisnis yang lebih berkelanjutan.

Kurangnya kesadaran dan edukasi masyarakat tentang ekonomi hijau juga menjadi hambatan. Sebagian besar masyarakat masih belum memahami konsep dan manfaat ekonomi hijau, serta tidak menyadari dampak gaya hidup mereka terhadap lingkungan. Menurut laporan Circularity Gap 2023, hanya 35% konsumen global yang mengenal konsep ekonomi sirkular. Hal ini menyebabkan kurangnya permintaan untuk produk dan jasa ramah lingkungan, sehingga menghambat pertumbuhan sektor ekonomi hijau. 

M. Azrul Tanjung, Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Anak Saleh (14) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui p....

Suara Muhammadiyah

24 October 2024

Wawasan

Oleh: Tito Yuwono, MSc., PhD Dosen Jurusan Teknik Elektro-Universitas Islam Indonesia Yogyakarta S....

Suara Muhammadiyah

18 May 2024

Wawasan

Refleksi 58 Tahun Kokam Oleh: Rumini Zulfikar Setiap tanggal 1 Oktober, kita sebagai warga negara ....

Suara Muhammadiyah

1 October 2023

Wawasan

Palestina selalu di Hati Oleh: Donny Syofyan Seiring dengan genosida yang dilakukan Israel di Gaza....

Suara Muhammadiyah

15 November 2023

Wawasan

Bencana Akhlak Oleh: Mohammad Fakhrudin Di dalam kolom “Resonansi” Republika, Selasa, ....

Suara Muhammadiyah

6 June 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah