Al Baik: Fenomena Kuliner yang Tak Tergoyahkan

Publish

7 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
163
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Al Baik: Fenomena Kuliner yang Tak Tergoyahkan

Oleh: Donny Syofyan,Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Bayangkan sebuah fenomena kuliner yang mengguncang Arab Saudi! Bukan sekadar restoran cepat saji biasa, ini adalah Al Baik, sebuah mahakarya ayam goreng yang mampu membuat antrean mengular hingga polisi turun tangan. Ya, Anda tidak salah dengar! Orang-orang rela menghabiskan berjam-jam, di bawah terik matahari, hanya demi sekotak kenikmatan yang renyah dan gurih ini.

Sejak 1974, Al Baik telah bermetamorfosis dari sebuah toko kecil di Jeddah menjadi kerajaan kuliner dengan lebih dari 120 cabang. Namun, apa rahasia di balik popularitasnya yang tak tertandingi ini? Bagaimana bisa sebuah kedai ayam goreng lokal bertransformasi menjadi obsesi regional yang merasuk ke dalam jiwa setiap penikmatnya? Mengapa orang-orang rela melakukan apa saja demi mendapatkan sejumput cita rasa Al Baik?

Kisah ini berawal dari seorang visioner bernama Shakour Abu Ghazalah. Lahir di Ramla, Palestina pada tahun 1928, perjalanannya tidaklah mudah. Tragedi Nakba pada 1948 merenggut tanah airnya, memaksa Shakour dan ratusan ribu warga Palestina lainnya untuk mencari suaka. Di Arab Saudi, ia memulai babak baru kehidupannya, bekerja keras di Aramco selama 15 tahun.

Namun, panggilan jiwa wirausaha terus bergelora dalam dirinya. Pada 1963, ia mencoba peruntungan di Lebanon, tetapi takdir berkata lain. Bank tempat ia menyimpan seluruh tabungannya bangkrut, meruntuhkan mimpi-mimpinya. Namun, Shakour tidak menyerah. Dengan semangat pantang menyerah, ia kembali ke Arab Saudi dan melihat peluang emas di pasar makanan cepat saji yang masih sepi.

Dengan dukungan sang istri tercinta, ia memberanikan diri membuka sebuah kedai ayam goreng kecil pada 1974. Ia menginvestasikan seluruh tabungannya, bekerja sama dengan perusahaan Prancis untuk mendapatkan resep bumbu rahasia dan peralatan terbaik. Sebuah gudang tua di Jalan Bandara, Jeddah, disulap menjadi restoran ayam broasted pertama di negara itu.

Namun, ketika Al Baik mulai menunjukkan tajinya, takdir kembali menguji. Pada 1976, Shakour berpulang pada usia 48 tahun, meninggalkan warisan yang belum selesai. Kedua putranya, Ihsan dan Rami, dihadapkan pada pilihan sulit. Ihsan, seorang insinyur sipil dengan tawaran karir yang gemilang, dan Rami, mahasiswa teknik sipil di Amerika Serikat, memutuskan untuk meninggalkan impian masing-masing dan kembali ke Jeddah. Misi mereka jelas: menyelamatkan warisan sang ayah dan meneruskan perjuangan Al Baik.

Di usia muda, 22 dan 20 tahun, Ihsan dan Rami terjun ke dalam badai tantangan. Bukan sekadar masalah biasa, tapi krisis besar yang mengancam kehancuran warisan keluarga. Hak keagenan telah lenyap, dan utang sebesar 1,8 juta dolar AS membayangi mereka seperti monster. Situasi genting memaksa keduanya untuk mengambil langkah ekstrem: menjual aset keluarga demi melunasi utang yang menumpuk. Ihsan mengambil alih kendali operasi, sementara Rami, dengan tangan kotor, ikut serta dalam setiap detail bisnis, mulai dari menggoreng ayam hingga melayani pelanggan, bahkan tak segan membersihkan lantai.

Namun, di tengah badai, mereka tak gentar. Ancaman dari para peniru yang menjamur di awal 80-an, dengan 400 restoran cepat saji di Jeddah, tak membuat mereka mundur. Al Baik terpaksa bertarung di ranah hukum, melindungi merek dagang yang telah dibangun susah payah. Di sisi lain, Ihsan bertekad untuk menyempurnakan mahakarya kuliner mereka. Perjalanan ke Paris untuk mendalami teknologi pangan menjadi titik balik. Pada 1984, ia kembali dengan resep ajaib: kombinasi 18 rempah dan bumbu rahasia yang akan mengguncang lidah dunia.

Selama tiga tahun berikutnya, mereka meramu resep rahasia tersebut di lokasi tersembunyi, di balik tirai malam, sebelum mengirimkannya ke dapur pusat. Upaya keras mereka membuahkan hasil. Bisnis mulai bangkit dari keterpurukan, dan pada 1986, mereka melakukan transformasi besar: mengubah merek menjadi Al Baik, sebuah nama yang berarti "yang terpenting" dalam bahasa Turki.

Dua tahun berselang, Al Baik mengambil langkah besar dengan membuka restoran musiman di Mina, khusus untuk melayani lonjakan jamaah haji. Langkah ini, yang sebenarnya dipicu permintaan pemerintah Saudi, menjadi berkah terselubung. Al Baik menjelma menjadi pusat kuliner vital bagi ratusan ribu jamaah, bahkan mencetak rekor sebagai salah satu gerai makanan cepat saji tersibuk di dunia, melayani hingga 250.000 porsi dalam sehari selama puncak musim haji.

Ekspansi berlanjut ke Madinah, kota suci lainnya bagi umat Muslim, semakin mempererat hubungan Al Baik dengan ritual haji. Bagi banyak jamaah, mencicipi Al Baik menjadi tradisi wajib, sebuah "hadiah dari Tuhan" setelah menunaikan ibadah. Koneksi emosional dengan Mekah dan Madinah ini membuat Al Baik bukan sekadar merek, tetapi bagian tak terpisahkan dari identitas dan budaya Saudi, bahkan menjadi kebanggaan umat Islam di seluruh dunia.

Fenomena ini paling nyata terlihat dari antrean mengular di setiap cabang Al Baik. Di kota-kota yang memiliki gerainya, orang-orang rela berjam-jam berdiri di bawah terik matahari, demi seporsi ayam legendaris itu. Di Riyadh, yang lama dahaga akan Al Baik, para pedagang kreatif rela menempuh perjalanan 9 jam dari Jeddah, membawa bagasi mobil penuh ayam Al Baik, untuk dijual dengan harga berkali-kali lipat. Demam Al Baik bahkan menembus batas negara, mencapai Indonesia dan Pakistan, di mana para jamaah haji menjadi duta rasa, dan orang-orang rela membayar mahal untuk ayam Al Baik yang dibawa sebagai oleh-oleh.

Namun, Al Baik tak hanya soal rasa. Mereka juga menanamkan nilai-nilai luhur dalam bisnisnya. Tradisi menyumbangkan satu riyal dari setiap penjualan untuk amal, yang diinisiasi sang pendiri, terus mereka jaga. Di masa pandemi, mereka mendistribusikan 10.000 porsi makanan setiap hari bagi mereka yang membutuhkan.

Sering dijuluki "KFC Timur Tengah," Al Baik awalnya hanya menguasai wilayah barat Arab Saudi. Namun, ekspansi nasional dan internasional mereka terus bergulir. Bahrain menjadi negara pertama yang mencicipi Al Baik pada 2020, disusul Uni Emirat Arab pada 2021 dengan gerai ikonik di Dubai Mall. Pada Piala Dunia FIFA 2022, Al Baik hadir di Qatar, memperkenalkan rasa unik mereka kepada dunia. Di dalam Arab Saudi sendiri, Riyadh dan Provinsi Timur menjadi wilayah baru penaklukan rasa, disambut antusiasme luar biasa.

Al Baik, dengan caranya sendiri, mengikuti jejak KFC, menjadi ikon global dengan tetap setia pada akar budaya mereka sambil beradaptasi dengan pasar baru. Pertanyaan besar yang muncul: kapan Al Baik akan menaklukkan Barat? Dengan popularitas yang terus meroket dan basis penggemar yang solid, akankah Barat siap menyambut fenomena Al Baik? Atau justru, pertanyaannya adalah, apakah Barat pantas untuk Al Baik?


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

 KPI Digital Microfinance Muhammadiyah  Oleh : Putro Prihatmanto, S.H Dalam mengelo....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Wawasan

Oleh: Mohammad Fakhrudin Di dalam “Anak Saleh” (AS) 8 telah diuraikan keteladanan dalam....

Suara Muhammadiyah

19 September 2024

Wawasan

Oleh: Racha Julian Chairurrizal Dalam sejarahnya, manusia adalah makhluk yang selalu bisa beradapta....

Suara Muhammadiyah

2 December 2023

Wawasan

Cinta dalam Lensa Ibnu Hazm: Perjalanan Melalui Hati dan Pikiran Oleh: Dwi Kurniadi, Kader IMM Pond....

Suara Muhammadiyah

11 April 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Para pemimpin Makkah khawatir b....

Suara Muhammadiyah

20 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah