Al Ghazali dan Inkoherensi (Bagian ke-2)
Oleh: Donny Syofyan
Pada hari pertempuran, para bangsawan Turki terpana melihat 60.000 pasukan Salib yang kuat dan lengkap. Hasilnya adalah kekalahan dinasti lokal Seljuk di Pertempuran Dorylaeum yang memuluskan langkah Tentara Salib untuk berparade dari Anatolia ke Levant. Para penguasa dan pasukan Muslim di Damaskus, Antiokhia, Aleppo dan Mosul bersiap untuk menghadang Tentara Salib, sayangnya justru mereka yang bertarung satu sama lain. Sementara itu pasukan Kristen menaklukkan kota demi kota, tetapi pertempuran di wilayah asing dan aneh tidak selalu berjalan sesuai rencana. Di kota Maarat di Suriah, pertempuran panjang berakhir ketika pasukan Perancis mengakhiri pengepungan kota. Ketika Tentara Salib Perancis yang kelaparan memasuki kota yang kekurangan makanan, mereka melakukan kanibalisme, memakan mayat orang dan juga hewan agar bertahan. Rumor bahwa pasukan penyerang yang barbar dan kanibalistik segera menyebar di seluruh wilayah.
Kata Perancis secara harfiah berarti kanibal dalam bahasa Arab, yang menggambarkan bagaimana penduduk setempat memandang Tentara Salib. Jauh di selatan Mesir, pejabat Fatimiyah yang bersaing dengan Seljuk dan bersekutu dengan Bizantium percaya bahwa Tentara Salib mewakili bala bantuan Bizantium. Karena itu, tatkala Tentara Salib menaklukkan penguasa Antiokhia, pasukan Fatimiyah bergerak untuk menundukkan Yerusalem dan menegaskan kendali mereka atas kota. Tak butuh waktu lama akhirnya penguasa Fatimiyah, dan itu sudah terlambat, bahwa pasukan Kristen bukan sekutu mereka dan sama sekali tidak tertarik dengan aliansi.
Pada pergantian abad pada tahun 1099, Tentara Salib tiba di gerbang Yerusalem dan memulai serangan mereka. Akhirnya kira-kira sebulan kemudian tembok kota roboh dan Tentara Salib menyapu Yerusalem. Mereka mengamuk dan membantai tentara dan warga sipil. Tidak ada komunitas agama kota yang bernasib baik. Sebagian besar Muslim dibunuh secara langsung, sedangkan warga Yahudi berupaya berlindung di sebuah sinagog besar yang juga dibakar. Bahkan sebagian besar kelompok Kristen Yerusalem dihukum dan dikirim ke pengasingan karena Tentara Salib yang beragama Katolik menilai penganut Kristen Ortodoks sesat.
Kejutan dan brutalitas dari Perang Salib Pertama dan lanskap politik yang terfragmentasi dari Dunia Islam membuat masyarakat Muslim di seluruh kawasan sangat tertekan. Umat membutuhkan sebuah resolusi ilahiyah. Untuk tujuan itu, seorang tokoh Asy`ariyah Al-Ghazali tampil ke fron depan. Aliran teologi Asy`ariyah percaya bahwa akal atau rasio tunduk pada wahyu, sementara kelompok Mu`tazilah menganut rasionalisme absolut. Beberapa dekade sebelumnya aliran Mu`tazilah dilarang karena alasan politik, tetapi kantong-kantong simpatisan Mu`tazilah tetap hidup di seluruh Dunia Islam. Al-Ghazali percaya bahwa cara-cara kekerasan tidak dapat menaklukkan aliran Mu`tazilah. Yang dibutuhkan adalah perang intelektualitas.
Dengan demikian dalam salah satu karyanya yang paling terkenal, "Incoherence of Philosophers" (تهافت الفلاسفة Tahāfut al-Falāsifah), dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "Kerancuan Para Filsuf,” Al-Ghazali menyerang para sarjana pemikiran rasional dan berpendapat bahwa filsafat rasional tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ia membagi ilmu menjadi tiga kategori. Yang pertama adalah ilmu agama, yang meliputi yurisprudensi, teologi, tata bahasa Arab, dll. Kategori kedua termasuk ilmu-ilmu sains tradisional seperti astronomi, kedokteran, matematika, kimia dan lainnya. Kategori akhir terkait ilmu-ilmu spiritual dan budaya, seperti astrologi, esoterisme, dan palmistri. Al-Ghazali menolak ilmu-ilmu spiritual dan budaya, tapi menilai studi tentang sains berguna selama dijalankan untuk tujuan-tujuan keagamaan. Kategori pertama, yaitu ilmu-ilmu agama, dianggap sebagai kategori terbaik sebab ia membawa orang lebih dekat kepada Tuhan.
Meskipun beberapa sejarawan mengatakan bahwa Al-Ghazali membela rasio, tapi sebetulnya dia melakukannya sejauh itu dapat digunakan sebagai instrumen untuk melemahkan lawan-lawannya. Sumbangan besar Al-Ghazali ditekankan oleh fakta bahwa banyak akademisi menganggapnya sebagai sosok tunggal paling berpengaruh dalam Islam setelah Nabi Muhammad. Karya Al-Ghazali dianggap telah menyegel sikap Muslim terhadap sains. Para elit politik dan masyarkat awam mendukung Al-Ghazali sebagai Mujaddid, yang menurut tradisi adalah orang yang muncul pada saat-saat keputusasaan demi memperbaharui Islam.
Al-Ghazali telah menumbuhkan doktrin Asy`ariyah ke dalam arus utama umat Islam. Meskipun Al-Ghazali menekankan kecerdasan dan mengecam kekerasan, tetap para pendukungnya mengutuk para pemikir hebat seperti Al Farabi, Al Biruni, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Kajian dan kekayaan mereka disita, ajaran mereka dianggap bid`ah, prestasi mereka dipelintir dan karya-karya mereka dibakar.
Siapa pun yang menyatakan simpati dengan Mu`tazilah dipenjara, disiksa atau dibuang. Berabad-abad sebelumnya, Mu`tazilah telah menyalakan api pencerahan dan membuka jalan bagi komunitas para sarjana yang penuh semangat dan inovatif. Beberapa pemikir terbesar di dunia berasal dari gerakan ini. Tetapi di abad ke -11 Mu`tazilah memudar di halaman sejarah yang tidak jelas. Ibn Rusyd dalam salah satu bukunya yang hancur menyatakan bahwa ide-ide memiliki sayap, tidak ada yang bisa menghentikannya untuk terbang.
Saat nyala pencerahan mulai padam di dunia Islam, universitas-universitas Eropa mendirikan fakultas yang berfokus pada terjemahan teks-teks Arab yang akan membantu mereka mempercepat temuan ilmiah selama Renaissans. Sementara itu, manakala dogma Asy`ariyah menggeser pola pikir Muslim Sunni, pengetahuan hanya dilihat melalui prisma wahyu dan banyak yang berpaling dari filsafat dan sains. Tapi perubahan ini tidak tiba-tiba. Dibutuhkan waktu berabad-abad bagi doktrin untuk meresap di kalangan Muslim, tetapi prosesnya dipercepat oleh runtuhnya Jalur Sutra dan datangnya ancaman baru dari Timur Jauh.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas