Al Ghazali dan Inkoherensi (Bagian ke-1)
Oleh: Donny Syofyan
Kata-kata seperti aljabar, algoritma, kimia, alkohol, kopi dan lainnya banyak berasal dari bahasa Arab dan merupakan kontribusi Islam kepada Barat. Namun di zaman modern ini sains dan pendidikan di negara-negara mayoritas Muslim berada pada titik terendah sepanjang masa. Ini terutama berlaku untuk negara-negara Arab. Antara tahun 1980 dan 2009 negara -negara Arab termasuk Mesir dan Arab Saudi menyumbang total 370 paten dibandingkan dengan 16.320 oleh Korea Selatan. Untuk menjelaskan anomali ini kita harus mengeksplorasi masa lalu, meriset sejarah.
Pada pertengahan abad ke-11, Sultan Alp Arslan naik tahta. Di bawah kepemimpinannya, pemerintahan Seljuk secara signifikan berkembang di seluruh wilayah, sehingga Alp Arslan mau tidak mau harus berhadapan dengan Romanos (Romanos IV Diogenes), kaisar Bizantium. Pada tahun 1071, dua kekuatan ini terlibat konflik atas nama Tuhan di Timur Tengah. Romanos mengumpulkan pasukan dan berpawai untuk memerangi orang-orang Turki. Ketika sampai di daerah Manzikert mereka beroleh kejutan besar. Pasukan Arslan meremukkan Bizantium dan kekalahan memalukan ini tidak hanya menghancurkan pasukan Bizantium (yang setidaknya dua kali ukuran pasukan Turki) tetapi juga menangkap hidup-hidup penguasa Bizantium, orang paling kuat di dunia Kristen.
Arslan meletakkan kakinya di leher Romanos dan mempermalukannya, lalu dia mengangkat Romanos dari tanah dan memperlakukannya seperti tamu. Akhirnya setelah delapan hari, penguasa Seljuk itu membebaskan rivalnya. Titik dalam sejarah ini menggambarkan seberapa baik Arslan memahami dinamika politik dengan melepaskan Romanos. Sang kaisar dipermalukan di Konstantinopel. Kekuasaannya berkurang, meredup dan memicu serangkaian perang saudara di Bizantium. Akibatnya sebagian besar dari Anatolia jatuh di bawah kendali Turki dan selama berabad-abad populasi Anatolia berasimilasi ke dalam identitas Turki.
Selanjutnya Arslan memberi wewenang kepada para jenderalnya untuk membentuk kerajaan-kerajaan kecil sendiri di seluruh kawasan kekaisaran. Terlepas dari kehebatan militernya, pemerintahan Arslan berakhir dengan tiba-tiba ketika dia dibunuh. Kematiannya memicu krisis suksesi. Dinastik Seljuk lebih fokus ke dalam negeri. Pada periode inilah kerajaan-kerajaan kecil di semua kawasan nyaris independen. Banyak dari mereka mulai menjalankan kedaulatan masing-masing dengan saling menyerang serta melecehkan peziarah Kristen. Sebagai latar belakang krisis Seljuk, sebagian besar urusan domestik diserahkan kepada penasihat politik lokal.
Ketika Arslan wafat, penasihat terdekatnya adalah Nizam al-Mulk. Ia adalah seorang tokoh brilian yang menulis Siyasatnama (Kitab Pemerintah), yang sebanding dengan Prince oleh Machiavelli. Penasihat yang akhirnya menjadi penguasa Seljuk secara de-facto ini - didukung oleh dinasti dan bangsawan lokal - mendirikan lembaga Nizamiah yang merupakan lembaga pendidikan yang sebanding dengan universitas-universitas Eropa. Nizamiah mewakili kualitas pendidikan terbaik di dunia Islam dan akademinya paling terkenal adalah al-Nizamiyya Baghdad. Nizam al-Mulk kemudian dibunuh oleh seorang anggota komplotan rahasia yang merupakan cabang Ismail Syiah lewat tipu muslihat, infiltrasi dan pembunuhan politik untuk melakukan perang asimetris terhadap para penguasa Sunni. Bagi para pembunuh, kematian Nizam al-Mulk menandai kisah pertama dari sekian banyak pembunuhan politik.
Namun sang penasihat itu meninggal, dia menunjuk seorang ulama Asy`ariya terkemuka, Al-Ghazali, untuk mengawasi akademi di Baghdad. Tak ada bayangan bahwa pada saatnya tokoh ini akan mengubah keyakinan fundamental peradaban Islam. Namun ketika Al-Ghazali disibukkan dengan memberikan kuliah, peristiwa besar lainnya akan menerpa Timur Tengah. Pada tahun 1095 Bizantium melihat peluang dalam krisis suksesi Seljuk. Kaisar baru Alexios (Alexios I Komnenos) ingin menyerang Turki, tetapi wilayahnya masih dalam pemulihan. Jadi, dia meminta bantuan kepada kerajaan-kerajaan Eropa Barat. Pada saat itu feodalisme di Eropa Barat telah menciptakan distribusi kekayaan, kekuasaan, dan ksatria yang tidak proporsional.
Bagi Paus Urbanus II, ekspedisi militer ke Tanah Suci memberikan kesempatan untuk memperkuat otoritasnya atas raja-raja, para bangsawan dan baron Eropa Barat yang feodal. Layaknya jihad sebagai cara untuk menyatukan Dunia Islam, demikian pula Perang Salib adalah cara untuk menyatukan orang-orang Kristen dan mengerahkan kekuatan internal ke dunia luar. Dengan demikian pada tahun 1095 Paus Urbanus II selama khotbah di Claremont meyakinkan kaum istana Prancis, Inggris dan Kekaisaran Romawi Suci untuk mengangkat senjata dan memulai ekspedisi ke Yerusalem. Paus menjanjikan keselamatan dan pengampunan bagi mereka yang ikut dan khotbah itu memicu gelombang semangat keagamaan. Ksatria dan bangsawan yang terinspirasi mengambil salib sebagai lambang mereka dan kemudian dikenal sebagai Tentara Salib. Namun sebelum para bangsawan dapat mengumpulkan jumlah dan kekuatan mereka, para petani dan rakyat jelata di Eropa menjalankan ekspedisi sendiri dan berbaris menuju Tanah Suci.
Upaya yang ceroboh dari pasukan petani ini membuat mereka tidak siap untuk mengadakan perjalanan ke timur. Selama ekspedisi -- yang kemudian dikenal sebagai Pasukan Salib Rakyat (People's Crusade ) -- mereka menjarah dan mengobrak-abrik pemukiman Yahudi-Kristen dan bahkan Bizantium yang seharusnya sekutu mereka. Pada saat 20.000 Pasukan Salib Rakyat ini mencapai Anatolia, mereka dengan cepat dihancurkan oleh para bangsawan Turki setempat. Cepatnya para tentara petani ini dikalahkan mengejutkan penguasa Seljuk setempat yang secara keliru percaya bahwa Pasukan Salib Rakyat adalah kekuatan tempur utama Eropa. Tahun berikutnya desas-desus menyebar bahwa pasukan Kristen dengan jumlah lebih banyak bakal datang, tetapi para penguasa Seljuk di pelbagai kawasan tidak terkesan. Mereka menduga pasukan yang akan datang seperti halnya pasukan petani sebelumnya. Karenanya para penguasa Seljuk tersebut tidak membuat persiapan yang serius.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas