Menelisik Makna "Mata Ganti Mata": Keadilan dalam Perspektif Al-Qur'an

Publish

2 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
57
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menelisik Makna "Mata Ganti Mata": Keadilan dalam Perspektif Al-Qur'an

Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Mari kita selami lebih dalam salah satu ayat Al-Qur`an yang seringkali memicu perdebatan: Surah Al-Maidah ayat 45. Ayat ini seolah menyerukan keadilan yang setimpal, “Nyawa dibalas nyawa, mata dibalas mata...” Namun, apakah ini benar-benar seruan untuk pembalasan fisik yang kaku?

Banyak yang terjebak dalam penafsiran harfiah, seolah-olah Al-Qur`an adalah panduan tindakan militer. Padahal, esensi kitab suci ini jauh lebih dalam. Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, menganugerahi kita akal untuk memahami pesan-pesan-Nya, yang seringkali disampaikan melalui metafora dan simbolisme.

Ambil contoh ungkapan "rumahku adalah rumahmu." Apakah ini berarti Anda berhak atas akta kepemilikan rumah orang lain? Tentu tidak. Ini adalah ungkapan keramahan, bukan hukum properti. Ayat tentang "mata ganti mata" memang tampak gamblang. Namun, bayangkan jika diterapkan secara kaku. Apakah luka fisik akan menyembuhkan luka batin? Alih-alih pembalasan, Al-Qur`an justru menyoroti pengampunan dan kompensasi. Keadilan sejati bukan sekadar hukuman, tetapi juga pemulihan.

Dalam konteks modern, kita dapat menafsirkan ayat ini sebagai seruan untuk keadilan yang proporsional. Hukuman, baik denda atau penjara, harus sesuai dengan tingkat kejahatan, mempertimbangkan kondisi pelaku dan korban. Tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis, bukan lingkaran kekerasan. Al-Quran, dalam kebijaksanaannya, memberikan ruang bagi interpretasi. Kita perlu terus berdialog dan merenungkan maknanya agar sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan universal.

Ayat-ayat Al-Quran, khususnya Surah Al-Maidah ayat 45, yang secara eksplisit menyebutkan “mata ganti mata, tangan ganti tangan,” seringkali menjadi pusat perdebatan karena kecenderungan penafsiran harfiah. Kejelasan detail yang disajikan dalam ayat tersebut secara alami mengundang pembaca untuk mengambilnya secara literal. Namun, pendekatan ini, meski tampak sederhana, dapat menimbulkan tantangan signifikan ketika dihadapkan pada realitas kehidupan modern yang kompleks, bahkan dalam konteks pemikiran tradisional sekalipun.

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif, penting untuk melihat ayat-ayat lain yang relevan. Surah Al-Baqarah, misalnya, yang hadir sebelum ayat-ayat tentang puasa, juga membahas tentang hukum Qisas. Namun, surah ini memperkenalkan lapisan kompleksitas dengan membedakan status sosial pelaku dan korban, seperti “orang merdeka untuk orang merdeka, budak untuk budak, dan perempuan untuk perempuan.” 

Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: bagaimana kita menerapkan hukum ini dalam situasi yang lebih rumit, seperti kasus di mana seorang perempuan membunuh seorang laki-laki, atau sebaliknya? Kompleksitas semacam ini menggarisbawahi bahwa penafsiran harfiah semata tidak selalu mampu memberikan solusi yang memadai untuk setiap skenario.

Lebih dari sekadar pembalasan, Al-Qur`an menekankan pentingnya pengampunan dan kompensasi. Ini mengisyaratkan bahwa keadilan sejati tidak selalu berarti pembalasan fisik yang identik dengan kejahatan yang dilakukan. Sebaliknya, keadilan dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk, termasuk pemberian kompensasi yang setara dengan kerugian yang diderita korban. Dalam konteks masyarakat kontemporer, ini dapat diterjemahkan sebagai penerapan denda atau hukuman lain yang proporsional, yang mempertimbangkan kondisi individu dan dampak sosial dari kejahatan tersebut.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa esensi dari ayat-ayat ini terletak pada pencarian keadilan yang proporsional dan bermartabat, bukan pembalasan yang membabi buta. Penerapan hukum haruslah sebuah proses yang cermat dan bijaksana, mempertimbangkan berbagai faktor kontekstual untuk mencapai hasil yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Pendekatan ini tidak hanya meminimalisir potensi konflik yang berkelanjutan, tetapi juga mendorong terciptanya masyarakat yang lebih harmonis dan berkeadilan.

Mari kita selami lebih dalam pertanyaan yang menggelitik ini: Apakah praktik “mata ganti mata” yang tertuang dalam Al-Qur`an sekadar mencerminkan kebiasaan umum pada masa itu? Ataukah ada makna yang lebih dalam yang ingin disampaikan?

Sejarah mencatat bahwa praktik semacam itu bukanlah hal baru. Peradaban Romawi, misalnya, mengenal Lex Talionis, sebuah prinsip hukum yang menjunjung tinggi pembalasan setimpal. Jika demikian, mungkinkah Al-Qur`an sekadar mengadopsi norma yang berlaku pada masa itu, sebagai bahasa yang paling mudah dipahami oleh masyarakat saat itu? Mungkin, pada titik waktu itu, penafsiran harfiah adalah satu-satunya cara untuk menegakkan keadilan di tengah masyarakat yang keras.

Namun, seiring berjalannya waktu, cara pandang kita terhadap keadilan pun berevolusi. Kita mulai merenungkan dampak hukuman bukan hanya pada korban, tetapi juga pada pelaku, dan bahkan pada masyarakat secara keseluruhan. Apakah tujuan kita sebagai masyarakat adalah untuk membalas dendam, atau untuk merehabilitasi pelaku dan mencegah kejahatan serupa di masa depan? Apakah kita ingin menciptakan lingkaran kekerasan yang tak berujung, atau membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab?

Pertanyaan-pertanyaan ini menantang kita untuk melampaui penafsiran harfiah dan menggali makna yang lebih dalam dari ayat-ayat Al-Quran. Apakah "mata ganti mata" harus dipahami sebagai seruan untuk pembalasan fisik yang kaku, atau sebagai prinsip keadilan yang proporsional? Bisakah kita menemukan cara untuk menerapkan prinsip ini dalam konteks modern, di mana kita memiliki pilihan hukuman yang lebih beragam, seperti denda atau penjara?

Penting untuk diingat bahwa Al-Qur`an bukanlah buku panduan hukum yang kaku. Kitab suci ini adalah sumber kebijaksanaan yang kaya, yang mengundang kita untuk merenungkan dan berdialog tentang makna keadilan. Dalam konteks ayat "mata ganti mata", kita mungkin perlu mempertimbangkan faktor-faktor seperti kondisi pelaku dan korban, dampak sosial dari kejahatan, dan tujuan akhir dari sistem peradilan kita. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan yang seimbang dan bermartabat, yang meminimalisir penderitaan dan mendorong terciptanya masyarakat yang lebih harmonis.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ramadhan: Sekolah Spiritual untuk Pembersihan Jiwa Oleh : Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya....

Suara Muhammadiyah

28 February 2025

Wawasan

Oleh: Drh. H. Baskoro Tri Caroko Bekerja adalah suatu keadaan yang diinginkan oleh semua orang. Kar....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Wawasan

Guru yang Tak Dilindungi Oleh: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd., Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (U....

Suara Muhammadiyah

22 November 2024

Wawasan

MPI: Garda Terdepan Wujudkan Visi “Digital Organization” Muhammadiyah  Oleh: Labud....

Suara Muhammadiyah

27 November 2023

Wawasan

Referensi Alkitab Netanyahu dan Konflik Gaza Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univers....

Suara Muhammadiyah

12 March 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah